Oleh Aqwam Fiazmi Hanifan* Puluhan ribu penonton pertandingan PSMS Medan dan Persib Bandung saling menggerutu. Gagal menyaksikan terciptanya gol, sebagian dari mereka para pendukung Persib dan PSMS berteriak-teriak memaki kesebelasan yang mereka cintai, beberapa saat setelah wasit meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan. "PSMS ompong! Ayam Kinantan digoreng saja!" ejekan suporter Medan kepada timnya. Sementara itu, Persib pun juga dapat bagian dimaki pendukungnya sendiri. "Dasar peuyeum, Oncom lembek, ngerakeun wae Jawa Barat! (malu-maluin Jawa Barat!)" teriak penonton lain tampak geram. Koor-koor kompak ribuan orang serempak memaki tim mereka sendiri. Beberapa penonton Medan malah menyerbu dan melempari rombongan bus tim PSMS Medan saat mereka akan meninggalkan Senayan. Hal serupa dilakukan pendukung Persib. Hasil seri 0-0 agaknya tak mereka harapkan, kans kedua klub untuk lolos ke final menjadi menipis. Beberapa hari kemudian saat Persija Jakarta melawan Persib Bandung. Persib menang telak 4-0. Giliran fans Persija yang marah mencemooh dan melempari pemainnya sendiri. Salah seorang penonton di atas tribun yang merupakan penggemar Persija maju lantang menerobos pagar dan mendekati pemain serta offisial di bench. Ia kecewa dengan para pemain Persija yang tak memiliki semangat kedaerahan seperti klub-klub lain. "Ganti saja Persija jadi Persibet (Persatuan Sepakbola Betawi) biar punya fanatisme betawi," makinya di depan pemain yang tak berani berkutik. Saya sengaja mengawali esai ini dengan cerita-cerita di atas. Kisah tadi saya kutip dari majalah Tempo dan Koran Pikiran Rakyat edisi bulan Maret tahun 1986 saat kompetisi Perserikatan sedang memasuki babak sengit 8 Besar. Ada yang aneh dari cerita di atas? Itu adalah kisah nyata bentuk agresifitas suporter ketika kesebelasan kesayangannya kalah atau bermain buruk. Sebuah sikap kritis yang dilakukan suporter. Secara harfiah suporter memang berasal dari kata "support" alias mendukung. Jika ditelusuri dari sisi antropologi dan sejarah sepakbola kita, tak selamanya mengaitkan dukungan itu dengan meluapkan secara verbal, memuji, menyoraki lewat yel-yel penambah semangat dari atas tribun. Lantas ketika dukungan itu berbalik jadi sikap agresif mencaci, mengkritisi dan mencemooh, orang selalu berpikir hal itu sudah keluar dari jalur seorang suporter. Tentu saja itu hanya sebuah tafsir, dan sebuah tafsir tak akan pernah bisa membatalkan keberadaan tafsir yang lain bahkan walau menggunakan kekerasan sekali pun. Budaya Otokritik yang Dipupuk Sejak Zaman Kolonial Apa yang dilakukan suporter Persib, PSMS Medan dan Persija Jakarta di atas adalah bentuk otokritik yang memang sudah mengakar kuat dalam sepakbola kita. Jika suka katakan suka, iya katakan iya, tidak katakan tidak. Tak ada zona abu-abu. Itulah ciri khas ketegasan sepakbola kita dulu tapi ya tentu saja itu terjadi dulu. Lihat bagaimana Soeratin yang mencak-mencak memaki NIVU lewat naluri kebangsaan yang semua itu tak hanya dilakukan lewat pidato saja, tapi juga lewat propaganda di media cetak. Soeratin dan PSSI tak segan untuk menyatakan ketidaksukaan kepada Belanda lewat sepakbola. Dan itu terbuka dilakukan, bukan kasak-kusuk di belakang. Pada zaman itu segalak apapun kritik yang diajukan ke federasi sepakbola Belanda, PSSI masih tetap mampu menjalankan organisasi mereka. Sepakbola dijadikan sebagai alat politik membawa paham nasionalisme oleh PSSI ya karena sepakbola tak pernah dibungkam, malah cenderung dibiarkan -- mirip-mirip yang dilakukan rezim Franco kepada bangsa Catalan. Karena itu budaya kritis sepakbola kita tak pernah terkekang walau lewat represifitas Belanda sekalipun. Budaya kritis inilah yang kemudian selalu dipupuk dan ditularkan hingga generasi selanjutnya, termasuk cara pandang suporter terhadap pemain atau klub idolanya dalam menyikapi kekalahan dengan cara yang kritis. Satu hal yang perlu digarisbawahi: Bersikap kritis, atau mengeluarkan otokritik terhadap kesebelasan sendiri, saat menghadapi kekalahan tak sama dengan sikap tidak menerima kekalahan.
Inggris dan Italia punya kontras yang agak tajam terkait kultur suporter dalam menyikapi kekalahan. Jika di Inggris, tendangan jarak jauh yang melenceng 20 meter pun bisa diberi tepuk tangan, jangan harap hal demikian terjadi di Italia. Simak ulasan lengkapnya: Mencaci dan Memuji ala Suporter Inggris dan Italia.
Membudayakan Rasa Malu Ketika Kalah Tak percaya? Lihat saja saat majalah Olahraga milik PSSI memberitakan betapa kesalnya pendukung Persitas Tasikmalaya yang menyerbu ke lapangan dan menyerang pemain mereka sendiri setelah Persitas gagal lolos ke kejuaraan nasional. Tahukah anda kejadian itu terjadi tahun berapa? Tahun 1937. Ya saat sepakbola pribumi masih tertatih-tatih. Di tahun yang sama, Persis Solo mengalami hal serupa saat ditaklukan Persib Bandung di Lapangan Sriwedari dalam final kejuaraan PSSI. Berdasarkan pengamatan wartawan koran Sipatahoenan yaitu Kurdi, pendukung Persis menghampiri para pemain mereka ketika laga usai. Fans kecewa karena Persis yang sudah unggul 1-0, malah dibalikan menjadi 2-1. Tak terima dengan hasil itu, pendukung Persis menuduh dan memaki pemain bahwa mereka terlibat bandar suap di depan hidung pemain itu sendiri. Menjadikan kekalahan sebagai aib adalah budaya sepakbola kita. Dari sanalah muncul budaya malu yang kadang jadi beban bagi para pemain, klub ataupun pengurus federasi. Legenda Timnas tahun 1950-an Rukma Sudjana bercerita bahwa usai gagal di Asian Games tahun 1954 dan 1958, saat pulang ke Indonesia selalu ada beban dalam diri pemain. Selain mendapat cemooh publik, terkadang Presiden Sukarno pun geram dan memanggil ketua PSSI Maladi ke Istana Negara, amukan Sukarno diteruskan oleh Maladi kepada seluruh pemain. Padahal di turnamen Asian Games itu kita mendapat medali perunggu. Tapi ya tetap saja Sukarno kecewa kenapa kita tak bisa dapat medali emas. Dan itu dikatakan dengan terang benderang. Tidak ada sok-sok berpura bahagia dan ikhlas kekalahan. Tidak ada sikap "mereka sudah berjuang semaksimal mungkin". Buruk ya buruk. Jelek ya jelek. Busuk ya busuk. Tanpa tedeng aling-aling. Budaya malu akan muncul saat budaya kritik tak dibungkam. Adanya kritik membuat proses intropeksi dan pembenahan untuk menghindari agar kekalahan tak kembali terjadi. Dalam dunia sepakbola memang betul kita harus siap menang dan siap kalah, tapi bukan berarti hal itu membuka lebar pembiaraan saat terus dan terus mengalami kekalahan. Budaya kritis suporter kita yang kritis ini bahkan dipuji oleh Otto Iskandardinata. Dalam buku Otto Iskandar Dinata: the Untold Stories karangan Iid D. Yahya, pahlawan berjuluk Si Jalak Harupat ini bahkan memaklumi dan mendukung kritik bobotoh Persib yang diajukan kepada dirinya. Otista yang waktu itu menjadi pengurus Persib memang mendapat cacian kelewat pedas yang diberikan oleh bobotoh lewat koran Sipatahoenan. Kini? Jika ada suporter yang galak kepada manajemen, suporter yang lainnya dengan cepat membela manajemen seraya membentak si pengkritik dengan kalimat semacam: "Sok tau", "tidak tahu terimakasih", "memangnya apa yang sudah kamu perbuat untuk tim?", dll., dkk. Menyedihkan sekali, kekuatan masyarakat sipil justru dilemahkan oleh masyarakat sipil itu sendiri. Sikap kritis suporter juga dikerdilkan oleh suporter sendiri. Berikutnya: Budaya Kritik Suporter Indonesia di Era Modern
Lanjutan dari halaman sebelumnya: Budaya Kritik Suporter Indonesia di Era-Modern Pada 2014 lalu pendukung Persegres Gresik United melakukan aksi protes di Stadion Tri Darma dengan menyalakan flare membuat stadion pengap dan laga melawan Persib ditunda beberapa menit. Beberapa hari sebelumnya pendukung Persik Kediri mengepung ruang ganti pemain usai Persik kalah dari Semen Padang di Stadion Brawijaya. Fans menuntut pelatih Aris Budi Sulityo mundur dari jabatannya. Dua sikap yang dilakukan Ultras Gresik dan Persikmania didasari kekecewaan akibat kekalahan yang terus menerpa Persegres dan Persik di musim ini. Beberapa tahun sebelumnya pendukung Arema Malang, Persija Jakarta dan Persib Bandung pun melakukan hal yang serupa. Saat Arema ditekuk Persela Lamongan pada final Piala Gubernur tahun 2012 lalu, Aremania menginvasi lapang. Kerusuhan sempat terjadi. Spanduk "Tak Lagi Edan" mereka bentangkan didepan hidung skuat Arema. Tuntutan mereka jelas menuntut Rachmad Darmawan untuk mundur sebelum ISL musim 2013 digelar. Lain hal dengan pendukung Persib. Usai kalah tipis dari Persipura, ratusan bobotoh mencegah pemain keluar dari Stadion Siliwangi padahal kala itu area Stadion siliwangi harus steril akibat tak diizinkan disaksikan oleh penonton. Bendera hitam mereka acungkan tinggi-tinggi tanda Bandung sedang berduka. Kericuhan pun terjadi. Tuntutan mereka diperuntukan untuk Manajer Umuh Muchtar yang dinilai jadi biang kerok gagalnya Persib meraih gelar juara. Tak berhenti hanya di sana, aksi vandal poster-poster anti-Umuh pun tertempel di seluruh penjuru kota. Tindakan berbeda dilakukan salah satu kelompok pendukung Persija. Konflik yang terjadi di antara manajemen Persija dan ketidakbecusan Ferry Paulus mengurus tim membuat faksi ini memutuskan untuk sementara waktu memboikot laga-laga Persija. Dalam budaya suporter, boikot adalah salah satu cara untuk menyampaikan aspirasi. Dan itu tidak ada urusannya dengan kadar fanatisme atau kecintaan. Menggelikan ketika sikap tegas dan keras, yang sesungguhnya demi kebaikan kesebelasan sendiri, "dihabisi" dengan kata-kata atau tuduhan: "tidak loyal", "tidak cinta", atau sejenis itu. Ada satu korelasi dari apa yang dilakukan fans di negeri ini. Aksi protes yang mereka lakukan terjadi di Stadion. Jika ingin aspirasi didengar oleh mereka yang berkuasa maka menggelar perlawanan di stadion adalah salah satu cara yang efektif dan tentu saja menempatkan suatu hal sesuai dengan tempatnya. Budaya Malu yang menghasilkan Budaya Sadar Diri Budaya kritik saat kalah akan memunculkan budaya malu, dan dari budaya malu maka akan muncul budaya sadar diri. Sadar bahwa dirinya salah, maka tak segan ia akan meminta maaf. Lihatlah saat legenda PSM Makassar Ramang tersangkut kasus pengaturan skor, seluruh rakyat Makassar membencinya padahal kala itu Ramang sedang membawa PSM Makassar sedang jaya-jayanya - Juara Kejuaraan Nasional 2 kali berturut-turut. Ulahnya itu tak hanya berbuah kritik, Ramang tak tahan dengan cercaaan publik yang terkadang berujung kontak fisik. Ia pun menangis terisak-isak meminta maaf kepada seluruh fans PSM lewat media. Ramang sadar bahwa dirinya salah. Ia tak bebal dan beralasan mencari pembelaan. Budaya sadar diri ini juga yang terpaku dalam diri pemain, pelatih atau federasi saat prestasi sepakbola kita tak kunjung ada. Sadar kapabilitas tak mampu, maka dia akan memilih mundur daripada memaksakan kehendak pribadinya. Sampai era 90-an sering kita dapati dengan legowo entah itu pelatih, manajer ataupun pengurus federasi memilih mundur saat kekalahan terus menerus menerpa. Dari jabatan ketua PSSI saja sejarah mencatat ada Bardosono (1975-1977), Ali Sadikin (1977-1980), Syarnoebi Said (1982-1983), dan Azwar Anas (1991-1998) yang memutuskan mundur sebelum masa jabatannya usai. "Sayalah yang bertanggung jawab atas semua kegagalan itu, bukan orang lain." ucap Ali Sadikin pada Kongres Ke-27 PSSI Desember 1981 kepada Kompas. Syarnoebi Said mundur karena timnas gagal masuk Final Sea Games 1983, sedangkan Azwar Anas mundur karena kasus sepakbola gajah saat Indonesia bermain mata dengan Thailand pada Piala tiger 1998. Rezim Nurdin Halid muncul karena budaya kritik kita perlahan mulai terkikis, lantas berimbas pada urat malu yang putus dan kesadaran yang entah lenyap kemana. Masuk penjara, dan memimpin PSSI dari balik penjara, tak membuatnya malu sama sekali. Kediktatoran lahir saat publik mulai lupa pentingnya kritik, dan hal yang terkecil adalah mengkritik saat mengalami kekalahan. Kultur fans Inggris yang selalu loyal dan anti kritik, bahkan tendangan melenceng sejauh 20 meter pun tetap diberi tempik sorak, bukan satu-satunya cara bersikap dan menyikapi kenyataan di lapangan. Kalimat seperti "jika tak mendukung saat kalah, maka kau tak berhak bersorak saat menang" adalah sebentuk penyederhanaan yang bisa membutakan. Kalimat macam itu sering digunakan untuk membantah suporter yang marah, kecewa dan jengkel dengan penampilan kesebelasannya. Seakan marah, jengkel dan kecewa itu adalah bukti bahwa suporter yang bersangkutan sudah tak lagi mendukung atau mencintai kesebelasannya. Lebih menjengkelkan lagi kalau kritik kemudian dibungkam dengan kata-kata: "Solusinya apa? Kritik itu harus bertanggungjawab dan ada solusinya!" Bah! Kritik, ya, kritik saja. Sebagaimana jelek ya jelek saja. Butut ya butut saja. Setiap orang harus berani mengatakan sesuatu yang buruk sebagai buruk bahkan walau tidak atau belum tahu solusinya seperti apa. Sebab mendiamkan sesuatu yang buruk, seakan semuanya baik-baik saja, adalah sejenis keburukan yang lain. Di Bandung, salah satu kutipan yang paling sering diulang adalah pernyataan Si Bengal Adjat Sudrajat. Ia pernah bilang: "Persib besar oleh cacian, pujian adalah racun." Jika ingin, tentu saja anda bisa mengganti kata "Persib" di atas dengan nama kesebelasan masing-masing. Sumber ilustrasi: http://www.theemotionmachine.com/quotes-on-criticism
Esai ini ditulis pada 2014, saat Aqwam masih bekerja di Pandit Football Indonesia. Esai ini terselip di tumpukan draft naskah dan baru tayang hari ini.