Font size:
Di sepakbola, kita mengenal sejumlah karakter yang benar-benar berbeda. Misalnya, Ricardo Kaka dengan tipe yang tenang dan setia, Roy Keane yang terkadang sulit menyembunyikan amarahnya, hingga Zlatan Ibrahimovic yang narsis juga humoris.
Dari sepakbola, kita juga tahu mana yang setia, mana yang gemar gonta-ganti pasangan. Hal ini memberi pemahaman di alam bawah sadar bahwa seorang pemain lekat dengan karakter yang ia bangun sendiri. Benarkah demikian? Michael Austin, Profesor Filsafat dari Universitas Eastern Kentucky berharap bahwa keterlibatan anak-anak di sepakbola dan olahraga lain, dapat membantu membangun karekter mereka dalam cara yang positif. Ini ditunjukkan dalam bentuk bekerjasama dengan orang lain, bekerjasa untuk tujuan yang sama, merespons kekalahan dan kemenangan dengan tepat, dan tumbuh dalam kebajikan seperti keberanian, kerendahan hati, kesabaran, dan ketekunan. Namun, sepakbola juga terkadang menghadirkan jalan lain yang dipandang negatif. Saat ini, sering terdengar bintang yang terlibat dalam obat-obatan terlarang, penyerangan seksual, menggunakan doping, hingga perangai buruk kepada pelatih dan orang tua. “Partisipasi di olahraga bisa membangun karakter. Namun, itu tidak begitu saja terjadi. Kita harus meniatkannya. Orang tua dan pelatih perlu mendemonstrasikan lewat perkataan dan perilaku dari nilai-nilai olahraga yang diterjemahkan dengan baik dalam kehidupan sehari-hari, termasuk menghargai satu sama lain, keadilan, rendah hati dalam kemenangan,” tulis Austin dalam kolomnya di Psychology Today. Olahraga memang membangun karakter meskipun potensinya bisa dicapai lebih atau kurang. Apakah kita akan mencapai potensi tersebut, atau malah tidak mencapainya sama sekali, pada akhirnya adalah terserah kita. Karakter dan Moral [caption id="" align="alignnone" width="1614"]