Kompetisi Indonesian Championship Soccer (ISC) 2016 sudah sampai putaran pertama atau tengah musim pada 29 Agustus lalu. Kemudian putaran kedua ISC 2016 akan mulai digulirkan lagi pada 4 September mendatang. Namun, masih ada yang perlu dibenahi bagi BOPI, GTS sebagai penyelenggara, dan setiap kesebelasan sebelum putaran kedua bergulir. Sebab hasil survei Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) dari pihak Save Our Soccer (SOS) sampai 30 Agustus 2016, menjelaskan bahwa semua pelatih/pemain asing ISC 2016 tidak memiliki Kartu Izin Tinggal Sementara/Terbatas (KITAS).
Pada survei yang dimiliki SOS, ditinjau ada 81 pemain dan pelatih asing yang keluar masuk di ISC. Total ada 64 pemain atau pelatih asing yang hanya menggunakan visa on arrival dan 16 pemain yang memakai visa kunjungan usaha. Sementara satu pemain lagi tidak diketahui jenis visanya. Masalahnya visa-visa tersebut tidak bisa digunakan untuk bekerja untuk jangka panjang di Indonesia.
Visa on arrival berlaku 30 hari yang biasa dipakai turis. Sementara visa kunjungan usaha itu cuma berlaku dua bulan dan hanya bisa diperpanjang tiga kali. Dan visa yang dianjurkan untuk pesepakbola adalah visa kerja. Sebab visa kerja terdiri dari dua, yaitu semi permanen dan permanen, tergantung dengan lamanya pekerjaan di negara tersebut. Dan visa kerja sekaligus bisa menjadi izin tinggal yang berkaitan dengan KITAS, mengingat jangka waktu pekerjaan bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Berdasarkan aturan ketenagakerjaan, setiap bulannya pekerja asing harus membayar kompensasi senilai 100 dolar AS (1,32 juta rupiah) untuk satu jabatan pekerjaan yang dilakoninya di Indonesia. Artinya, bila total ada 81 pemain dan pelatih asing keluar masuk di ISC tanpa KITAS yang jelas, kerugian negara yang dialami cukup besar. Jika dibiarkan, seyogyanya izin usaha penyelenggara, pengelola atau peserta, bisa dicabut jika mengacu pada Permenakertrans nomor 12 Tahun 2013. Yaitu tentang persyaratan formal bagi tenaga kerja asing (TKA) dan dokumen yang diwajibkan, seperti Paspor, KITAS dan kontrak kerja pemain asing.
Jika para pelatih/pemain asing di ISC 2016 tidak memiliki KITAS, maka mereka telah melakukan suatu tindak pidana. Sanksi pidana bisa dikenakan kepada pelatih/pemain asing tersebut, maupun kepada pihak perusahaan yang telah memperkerjakan pelatih/pemain tersebut.
Dalam artian, pihak GTS atau klub yang memperkerjakan pelatih/pemain tersebut bisa mendapatkan hukuman. Sesuai dengan pidana Keimigrasian pada pada Pasal 122 UU No.6 tahun 2011, hukumannya yaitu penjara paling lama lima tahun dan pidana denda paling banyak 500 juta rupiah:
"Dimana setiap Orang Asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian Izin Tinggal yang diberikan kepadanya. Bagi setiap orang yang menyuruh atau memberikan kesempatan kepada Orang Asing menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud atau tujuan pemberian Izin Tinggal yang diberikan kepadanya."
Serta Pasal 124 UU No. 6 tahun 2011 yang bisa menjerat pihak yang menampung pelatih/pemain ilegal itu, dalam artian GTS atau klub yang bersangkutan:
"Setiap orang yang dengan sengaja menyembunyikan atau melindungi atau memberi pemondokan atau memberikan penghidupan atau memberikan pekerjaan kepada Orang Asing yang diketahui atau patut diduga, berada di Wilayah Indonesia secara tidak sah dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).Izin Tinggalnya habis berlaku dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluhlima juta rupiah)."
Maka dari itu seharusnya GTS melakukan verifikasi terhadap dokumen yang dipersyaratkan terhadap proses pendaftaran pelatih/pemain asing di ISC. Dan tidak lengkapnya dokumen dari pelatih/pemain asing tersebut, seharusnya tidak bisa disahkan.
Akmal Marhali selaku Koordinator SOS pun menegaskan bahwa BOPI dan GTS harus tegas untuk tidak memperbolehkan pemain atau pelatih asing tanpa KITAS yang jelas untuk berkiprah di ISC putaran kedua. Mengingat kecenderungan pemain asing baru yang akan datang cukup besar pada putaran dua nanti. Apalagi soal ini sudah pernah diperingatkan sebelum ISC 2016 bergulir.
"Artinya, jika tidak memiliki KITAS, ya, mereka tidak diizinkan untuk bermain sampai urusan KITAS-nya selesai. Harusnya tidak ada toleransi. Kalau saya jadi operator (GTS) itu tidak bisa dibiarkan. Kalau terjadi pembiaran, ini bisa jadi kebiasaan. Menurut hemat kita, ya, GTS harus tegas," ujar Akmal.
Sementara Joko Driyono mengatakan jika verifikasi soal KITAS memang harus dijalankan. Sebab pemain atau pelatih asing tidak boleh berkiprah dengan KITAS yang mati. Namun Joko tidak bisa langsung menghukum pihak yang belum menyelesaikan KITAS itu begitu saja, "Posisi kita ini harus mengadvokasi klub. Jadi harus kita advokasi, apa kendalanya, apa masalahnya," ujarnya ketika dihubungi lewat telepon.
Tapi pada intinya, Joko berpikir bahwa para pemain dan pelatih asing akan dicabut pengesahannya pada putaran kedua nanti sampai urusan KITAS sudah diselesaikan. Apalagi ia tidak memungkiri bisa saja pemain atau pelatih asing yang bermasalah itu bisa dideportasi, "Di keimigrasian, itu pemain bisa dideportasi," cetusnya.
Soal deportasi, Akmal berujar bahwa hal itu merupakan salah satu sikap kongkrit untuk pelatih dan pemain asing yang masih belum menyelesaikan KITAS. Sebab seharusnya ada hukuman berupa denda atau bersifat pengadilan, kendati pihak SOS tidak melihat masalah ini akan sejauh itu, "Pilihan yang paling gampang adalah pihak imigrasi turun ke lapangan dan mendeportasi orang-orang asing yang tidak memiliki izin kerja," tegas Akmal.
Sebelumnya pun pernah ada pemain asing yang dideportasi dari Indonesia. Pada Juni 2014, pemain asing asal Rusia bernama Sergei Litvinov harus dideportasi pihak Keimigrasiaon Solo. Sergei dideportasi karena izin tinggal overstay-nya selama hampir satu tahun sudah tidak berlaku.
Senada dengan pernyataan di atas, Eko Noer Kristiyanto sebagai pegiat Hukum Olahraga, menduga jika berbagai kendala bisa terjadi ketika pemain atau pelatih mengurus KITAS. Apalagi sebelumnya GTS pernah menggelar Piala Bhayangkara yang cakupan waktunya cukup singkat, sehingga ada kecenderungan pelatih atau pemain asing hanya menyelesaikan visa on arrival atau kunjungan saja. Sementara ISC 2016 merupakan kompetisi berjangka panjang yang memakan waktu sedikitnya sembilan bulan.
Oleh sebab itu, kelengahan soal KITAS pemain dan pelatih asing tidak bisa dibiarkan karena sudah melanggar soal hukum negara. Dan berbicara soal kompetisi, ia menyarankan agar pemain dan pelatih asing tanpa KITAS yang jelas harus diberhentikan pada putaran kedua nanti, tanpa mengungkit lagi hasil putaran pertama.
"Masalahnya ini, kan, hukum negara ada yang dilanggar. Kita ngga ngomongin main bola, lah. Ini sudah ada orang asing yang ilegal saja. Ini sudah pelanggaran administrasi," papar Eko melalui sambungan telepon.
Sementara KITAS untuk pelatih dan pemain asing harus mendapatkan rekomendasi dari BOPI, kemudian diproses ke Departemen Ketenagakerjaan (Depnaker) dan seterusnya. Pada dasarnya diperlukan evaluasi menyeluruh soal ini oleh BOPI dan GTS. Apalagi cita-cita mereka adalah melakukan reformasi di sepakbola Indonesia. Bukan masalah yang harus ditutup-tutupi atau dibiarkan.
Halaman selanjutnya, daftar pemain dan pelatih:
Komentar