Cerita-cerita Mengejutkan dari Otobiografi Roy Keane

Cerita-cerita Mengejutkan dari Otobiografi Roy Keane
Font size:
Roy Keane barangkali bisa disebut sebagai salah satu pemain paling "mengerikan" dalam sejarah Liga Primer Inggris. Simaklah kesaksian Gerard Pique ini: “Aku ingat kami berada di ruang ganti di Old Trafford dan telepon genggam saya mulai bergetar di dalam kantung celanaku. Keano dapat mendengar getarannya dan berusaha mencari tahu siapa pemilik telepon genggam itu,” ujar Gerard Pique, bek tangguh FC Barcelona, kepada FourFourTwo. “Itulah dirinya,” lanjut Pique. “Sebelum kami mengalahkan Celtic 1-0 musim lalu, aku menyadari kehadirannya di pinggir lapangan sebagai seorang pundit ketika kami bersiap untuk melakukan pemanasan. Aku berusia 26 tahun dan aku (masih juga) ketakutan.” Testimoni dari Pique, yang masih sangat muda ketika berada di dalam satu tim yang sama dengan Roy Keane, sedikit banyak menggambarkan bagaimana Keane begitu menakutkan di mata lawan maupun kawan. Walaupun dikenal luas sebagai eks kapten Manchester United, tentu saja tidak semua hal tentang Keane diketahui oleh dunia. Pengetahuan banyak orang mengenai Keane, bagaimanapun, akan bertambah dalam waktu dekat. Di sela-sela kesibukannya sebagai asisten manajer Aston Villa dan tim nasional Republik Irlandia, Keane sempat meluncurkan autobiografi yang ia beri judul The Second Half. Dalam sebuah wawancara bersama The Guardian, Keane mengungkap sebagian isi bukunya: pandangan mengenai Manchester United era Louis Van Gaal, cerita di balik terjangan brutal kepada Alf-Inge Haaland, pertengkaran yang membuat dirinya meninggalkan United, dan bagaimana dirinya meninggalkan lebam di mata Peter Schmeichel. Inilah beberapa petikan otobiografi Roy Keane yang menyodorkan kisah-kisah yang sebelum ini tidak pernah diungkap oleh pemain Irlandia ini. Halaman Berikutnya: Isi Pertengkaran Keane dengan Ferguson dan Queiroz Komentar atas United pasca-Ferguson “Aku bertanya-tanya mengenai ruang ganti United saat ini. Ketika seorang manajer seperti Sir Alex Ferguson digantikan oleh seseorang yang baru, orang tersebut memerlukan bantuan. Apakah itu berarti bahwa semua pemain harus menyukai orang baru ini? Tidak,” ujar Keane. Keane merasa bahwa kebobrokan United di era Moyes (serta buruknya performa awal musim United bersama Louis van Gaal) bukanlah semata-mata kesalahan para manajer yang tidak kompeten mengisi posisi yang ditinggalkan oleh Ferguson. Menurunnya performa United adalah sesuatu yang terjadi karena para pemain sendiri. “Namun aku melihat para pemain yang ada saat ini dan merasa bahwa mereka seharusnya mampu melakukan sesuatu yang lebih baik. Rasa tidak suka kepada manajer tidak pernah dapat menjadi alasan untuk bermain dan melakukan hal terbaik. “Melihat apa yang terjadi kepada David Moyes, aku hanya dapat menyimpulkan bahwa ia tidak memiliki ruang ganti yang kuat. Ia memiliki ruang ganti yang lemah.” Cerita mengenai kamar ganti United di era Moyes ini juga sudah sempat diungkapkan oleh Rio Ferdinand. Dalam buku otobiografinya yang baru terbit, judulnya #2sides, Rio  juga menjelaskan secara blak-blakan bagaimana Moyes kehilangan kendali di kamar ganti. Pendekatan Moyes, caranya memberi perhatian berlebihan pada taktik lawan, dikritik secara keras oleh Rio. "Moyes mencoba memperlihatkan sebuah visi tapi visi itu tak pernah terlihat secara jelas bagaimana dan seperti apa visinya. Cukup sering dia menggemakan suatu hal yang negatif," kata Rio.

Ucapan Rio dalam otobiografi ini membuat analisis Roy Keane menemukan pembenaran faktualnya.

Ketika Roy Keane Bertengkar dengan Ferguson dan Queiroz Keputusan Keane untuk terbang ke Glasgow dan bergabung dengan Celtic FC ternyata berhubungan erat dengan apa yang terjadi di Algarve pada tahun 2005. Kala itu, United tengah menjalani latihan pramusim. Pertengkaran bermula saat Carlos Queiroz, asisten manajer United saat itu, menghampiri Keane dan berkata: “Kamu tidak menunjukkan sedikitpun kesetiaan terhadap rekan satu tim.” Apa yang dimaksud oleh Queiroz adalah keputusan Keane untuk melayangkan kritik terhadap rekan-rekan satu timnya saat diwawancarai oleh MUTV. Keane memang melontarkan pernyataan-pernyataan keras pada rekan-rekannya, menyusul kekalahan telak 1-4 dari Midlesbrough. Baginya, kekalahan itu tak bisa dan tak boleh dimaafkan begitu saja. Keane lantas membalas perkataan Queiroz: “Jangan pernah berbicara mengenai kesetiaan kepadaku, Carlos. Kamu meninggalkan klub ini setelah 12 bulan saja untuk pekerjaan di Real Madrid. Jangan pernah berani mempertanyakan kesetiaanku. Aku memiliki kesempatan untuk pindah ke Juventus dan Bayern Munich.” Ferguson yang merasa muak dengan apa yang terjadi antara kapten dan asistennya datang menengahi, namun Keane juga menyemprot sang manajer. “Kamu juga, gaffer! Kami membutuhkan lebih banyak hal darimu. Kami membutuhkan lebih banyak hal, gaffer. Kita tertinggal dari tim-tim lain.” Setelah kondisi sedikit lebih tenang, Keane berbincang dengan Ferguson mengenai masa depannya di United. Apa yang dikatakan oleh Ferguson membuat keputusannya untuk pindah semakin bulat. “Aku berkata kepada Ferguson, ‘dapatkah aku bermain untuk orang lain?’ Dan ia berkata, ‘ya, kamu bisa, karena kami memutus kontrakmu’. Jadi aku pikir, ‘baiklah, aku akan menyelesaikan semuanya.’ Aku tahu bahwa akan ada klub yang datang kepadaku ketika berita ini menyebar. Aku katakan ‘ya, aku rasa hubungan kita telah berakhir.’ Aku berpikir ‘sialan’ – kemudian aku berdiri dan mengatakan ‘baiklah. Aku pergi.’” Halaman Berikutnya: Ketika Keane Melukai Peter Schmeichel Melukai Haaland dan Schmeichel “Peter, apa yang terjadi kepada matamu?” adalah pertanyaan yang dilayangkan oleh media ketika mendapati lebam di mata Peter Schmeichel saat United menjalani tur Asia tahun 1998. Tentang hal ini, Keane lantas bercerita bahwa hal tersebut terjadi karena Schmeichel berkelahi dengan dirinya. Tubuh Schmeichel (1,91 meter) yang jauh lebih besar darinya ternyata tak membuat Keane (1,78) gagal meninggalkan bekas. Selisih lumayan itu, mencapai sekitar 13 cm, tak membuat nyali Keane gentar. Keduanya berkelahi karena mabuk, dan Keane sendiri terbangun keesokan harinya tanpa ingat apa yang terjadi antara dirinya dan Schmeichel. Ingatannya mengenai perkelahian dengan Schmeichel baru kembali setelah Nicky Butt, yang menjadi wasit di perkelahian tersebut, menceritakan semua yang terjadi kepada Keane. Perihal terjangan kepada Haaland di pertandingan Manchester derby tahun 2001, Keane mengakui bahwa tindakannya adalah sebuah bentuk balas dendam terhadap tuduhan Haaland empat tahun sebelumnya, September 1997. Haaland menuduh Keane berpura-pura cedera untuk menghindari hukuman setelah berusaha merebut bola dari kakinya. Pada kenyataannya, Keane memang cedera tidak lagi bermain di sisa musim 1997/98. Butuh waktu hingga empat tahun bagi Keane untuk membalaskan dendamnya. Dan kebetulan Haaland bermain untuk Manchester City, rival sekota United. Maka terjangan brutal Keane pun melahirkan dimensi yang berbeda karena itu dilakukan terhadap pemain andalan rival sekota. Apakah dia menyesal? Ini jawabannya: "Ada sejumlah penyesalan dalam hidup saya. Tapi insiden dengan Haaland tidak termasuk ke dalamnya." Menolak Tawaran Madrid di Toilet Keane benar mengenai kepercayaan dirinya tentang “banyak klub yang akan  menghubungi diriku ketika berita tentang keputusanku untuk meninggalkan United keluar.” Real Madrid, klub yang dipilih oleh David Beckham setelah United, mengontaknya lewat Emilio Butragueno. Michael Kennedy, agen Keane, merasa bahwa tawaran Madrid adalah sesuatu yang sayang untuk dilewatkan sehingga dirinya mengingatkan Keane untuk selalu membawa ponselnya ke manapun ia pergi. Termasuk, tentu saja, ke toilet. “Michael memberi tahuku bahwa Emilio Butragueno akan menelepon, jadi aku membawa ponselku kemanapun aku pergi. Dan, beruntung sekali, ia menghubungiku ketika aku sedang duduk di toilet. “Ia berkata: ‘begini, Roy, kami menginginkanmu.’ Dewan direksi klub hanya perlu menyetujui kesepakatan ini.” Terbukti, menolak Madrid dan malah memilih bermain untuk Glasgow Celtic, menjadi salah satu penyesalan yang dirasakan oleh Keane. Di Celtic, ia hanya bermain selama satu musim dan pensiun karena saran dari ahli kesehatan. Jika saja ia pindah ke Madrid, menurut Keane, bisa saja ia bermain lebih lama karena kualitas hidup yang lebih baik. “Aku seharusnya menghargai tawaran Real dengan lebih baik. Itu merupakan salah satu tantangan paling menarik di hadapanku namun aku tidak menerimanya. Melihat kebelakang, aku seharusnya berkata kepada diriku sendiri: ‘pergilah, pergilah ke Spanyol, hiduplah di sana selama satu setengah tahun, pelajarilah bahasanya, pelajari budayanya," kata Keane. Keane melanjutkan: “Lebih besar dari apapun, adalah ketakutan yang membuat aku mengambil keputusan – rasa takut akan hal-hal yang tidak aku ketahui.” Keane menolak tawaran Butragueno karena ia merasa takut terhadap hal-hal yang tidak ia ketahui di Madrid. Ini hal menarik. Masih ingat, bukan, saat Madrid kehilangan Makelele, kehilangan yang membuat mereka mengalami kebocoran besar di lini tengah dan jadi awal puasa gelar mereka di pertengahan dekade 2000an. Saking paniknya, mereka sampai mengambil Thomas Gravesen untuk menambal lubang yang ditinggalkan Mekelele. Soalnya bukan berhasil atau tidak Gravesen menggantikan Makelele. Dalam soal Keane, pertanyaannya adalah: Gravesen saja berani menerima tawaran Madrid, apa yang sesungguhnya ditakutkan Keane? Halaman Berikutnya: Bahkan Sir Bobby Charlton Tak Berani Melerai Keane Membangunkan Tidur Sir Bobby Charlton, Lalu Mengkritiknya Perkelahian dengan Schmeichel pada tahun 1998 bukanlah perkelahian pertama antara Keane dan Schmeichel. Di awal kedatangannya ke United, Keane sempat berulah. Ia berkelahi dengan Schmeichel (yang sudah berada di United dua tahun lebih awal) sehingga legenda klub, Bobby Charlton, terbangun dari tidurnya. Dalam ceritanya mengenai kejadian ini, ia memuji keberanian Schmeichel untuk bertanggung jawab sekaligus mengkritik keengganan Sir Bobby untuk melerai mereka secara langsung. “Hari pertama di tempat latihan, manajer menarik aku dan Peter ke kantornya. Ia tahu di mana tepatnya kami berkelahi - aku rasa ia menyebut lantai 27." “Ia mengatakan kepada kami bahwa kami adalah aib untuk klub, dan kami membangunkan Bobby Charlton sehingga Bobby harus keluar dari kamarnya dan melihat kami. “Peter bertanggung jawab atas perkelahian, dan itu bagus. Aku mengaguminya untuk itu. Namun Sir Bobby bisa saja berusaha melerai pertengkaran.” Bobby Charlton bukan hanya legenda United, dia juga legenda sepakbola Inggris. Dia adalah satu dari sedikit pesepakbola yang dianugerahi gelar Sir oleh Kerajaan Inggris. Posisi Charlton yang penting itu terlihat dari jabatannya di Old Trafford yang seakan terus melekat dan baru akan tanggal jika dirinya meninggal. Tapi, dalam hal Keane, Charlton pun tak berani melerainya dan dengan enteng-enteng saja Keane mengkritiknya. Penyesalan-penyesalan yang Dirasakan “Ada hal-hal yang aku sesali dalam hidup dan ia bukanlah satu di antaranya,” ujar Keane mengenai Haaland. Terjangan brutal kepada Haaland tidak dan tidak pernah ia sesali. Berbeda dengan permintaan maaf kepada Ferguson, yang menurutnya tak seharusnya ia lakukan. Beberapa hari setelah pertengkaran di Algarve, Keane sempat meminta maaf kepada Ferguson. Dalam bukunya, ia mengaku menyesal telah melakukan hal tersebut. “Sekarang aku berharap aku tidak pernah melakukan hal itu. Setelahnya aku berpikir, ‘aku tidak yakin mengapa aku meminta maaf.’ Aku hanya ingin melakukan hal yang benar. “Aku meminta maaf untuk apa yang sudah terjadi – untuk fakta bahwa itu telah terjadi. Namun aku tidak meminta maaf untuk perilaku ku atau sikapku. Ada perbedaan – aku tidak merasa perlu meminta maaf untuk apapun.” Apa yang Keane tulis terlihat seperti pembalasan setimpal terhadap apa yang ditulis oleh Fergie dalam autobiografinya: “Aku yakin pola perilaku Roy Keane berubah ketika ia menyadari bahwa dirinya bukan lagi Roy Keane yang dahulu.” Well, setidaknya, pemarah dan pemberani yang tak kenal takut ini pun ternyata bisa menyesal dan bisa meminta maaf, walau beberapa hari kemudian dia agak menyesali kenapa mesti minta maaf. Otobiografi ini, mungkin saja, menjadi awal rekonsiliasi antara mantan kapten dan mantan manajer United ini. Tapi apa iya? Saat Fergie merilis otobiografinya tahun lalu, nyatanya Keane tetap saja mengkritik Fergie. Keane menyatakan dirinya tidak habis pikir bagaimana Fergie masih bisa menyerang dan mengkritik mantan anak asuhnya saat semuanya sudah berlalu dan kejadian-kejadian itu sudah lewat bertahun-tahun lalu dan mereka -- para anak-anak asuhan Fergie itu-- sudah berbuat sebaik-baiknya untuk membantu Fergie. Bagi Keane, saat dimintai komentarnya mengenai otobiografi Fergie itu, hal itu menunjukkan bagaimana Fergie tidak sepenuhnya memahami apa arti kesetiaan. Halaman Berikutnya: Bagi Keane, Clough Lebih Besar dari Fergie Clough lebih besar dari Fergie Sulit memang membandingkan Brian Clough dengan Fergie. Pertama, walaupun jumlah gelar Clough memang tak sebanyak prestasi yang berhasil diraih oleh Fergie, jumlah gelar European Cup/Champions League keduanya sama: dua buah. Kedua, Clough tak pernah merasakan liga sepak bola Inggris era Liga Primer. Namun, ada satu cara sederhana untuk menyebut Fergie sebagai sosok yang lebih besar di antara keduanya: prestasi Clough tak sampai membuat dirinya dianugerahi gelar "Sir". Ditegaskan kebesarannya oleh gelar "Sir", toh, tidak membuat Keane merasa bahwa Ferguson lebih besar dari Clough. Menurutnya, Clough (yang menjadi manajernya di Nottingham Forest) menduduki posisi yang lebih luhur ketimbang bekas bosnya di United. Salah satu alasannya adalah bahwa Clough adalah sosok yang hangat sementara Fergie sangat dingin dan keras. Alasan lain, ada satu hal yang dilakukan oleh Clough yang masih disyukuri oleh Keane hingga saat ini. Tanpa keputusan yang diambil oleh Clough, Keane merasa dirinya tak akan seperti sekarang. Toh, hal itu tetap saja bisa jadi sedikit banyak didasari oleh fakta bahwa hubungan Keane dan Fergie tak lagi baik. “Aku bekerja di bawah kepemimpinan dua orang manajer hebat dan aku menempatkan Brian Clough di atas Alex Ferguson untuk alasan yang sederhana. Apa hal terpenting dalam karir sepak bolaku? Brian Clough merekrutku. Hal itu menjadi awal dari semuanya." “Mereka adalah dua manajer yang berbeda, dan keduanya sama-sama luar biasa. Aku rasa sifat hangat Clough itu asli. Bersama Ferguson, hal itu murni tentang bisnis – semua hal adalah bisnis." “Jika ia bersikap baik, aku berpikir: 'ini adalah bisnis, pasti.'” Keane tetaplah Keane: Mengerikan Keane sempat mengakui bahwa eks kapten Arsenal, Patrick Vieira, bisa saja membunuhnya dalam sebuah perkelahian yang nyata. Walau demikian, ia mengambil resiko dengan menentang Vieira saat pemain Perancis tersebut mengganggu Gary Neville. Rasa takut terhadap sesama manusia bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh Keane. Terlepas dari pengakuannya atas kehebatan Vieira, terlepas dari klaim Ferguson bahwa Keane sudah memudar, Keane tetaplah Keane. Faktanya, di terowongan Highbury itu, Keane yang dengan muka merah dan urat mengeras di leher terlihat murka dan menunjuk-nunjuk muka Viera dan yang ditunjuk-tunjuk terlihat tidak bereaksi yang sama. keane book Bahkan, pria sekelas Ferguson saja pernah merasa takut kepada Keane. “Hal paling keras di tubuh Roy adalah lidahnya,” ujar Fergie. “Apa yang aku sadari tentang dirinya hari itu ketika aku berdebat dengan dirinya adalah bahwa matanya mulai menyempit, nyaris seperti manik-manik hitam yang kecil. Hal itu menakutkan untuk dilihat. Padahal aku berasal dari Glasgow.” Inilah sekelumit cerita dari "Si Pemarah-dengan-Manik-manik Hitam-di-Matanya".
Kapan Ibrahimovic Pensiun?
Artikel sebelumnya Kapan Ibrahimovic Pensiun?
Siapa Kolumnis Sepakbola Pertama?
Artikel selanjutnya Siapa Kolumnis Sepakbola Pertama?
Artikel Terkait