Luke Shaw masih berusia satu tahun, kala Southampton merekrut Ali Dia. Suatu saat nanti, namanya yang terdengar tidak populer itu, akan menghiasi tulisan-tulisan para penulis sarkastis yang biasanya memilih judul âPesepakbola Terburuk di Premier Leagueâ.
Seperti halnya seorang kekasih yang tak pernah bersatu, mereka akan mulai dengan pertanyaan, âDi mana Ali Dia sekarang?â.
Ceritanya, pada suatu masa di bulan November tahun 1996, telepon berdering di kantor Graeme Souness. Suara di ujung sana memperkenalkan diri sebagai orang yang tak asing bagi publik sepakbola Inggris. Dia adalah pemain timnas Liberia, yang karirnya menanjak bersama PSG, dan AC Milan.
Souness terkejut, karena sang âPlayer of The Yearâ tahun 1995 itu menhubunginya. Souness sudah berandai-andai bagaimana timnya dihuni oleh penyerang sekelas Weah. Anehnya, alih-alih menawarkan diri pada sang manajer, Weah mempromosikan keponakannya.
Ada banyak hal menarik yang Weah katakan pada Souness. Katanya, ia bermain di Liga Prancis bersama PSG, dan baru saja mencetak dua gol bersama timnas Senegal beberapa waktu lalu. Souness pun tertarik, meskipun sebenarnya cukup janggal karena Weah berkewarganegaraan Liberia, sedangkan keponakannya berkewarganegaraan Senegal.
Setelah menutup telepon, hati Souness berdebar-debar. Kesempatan ini tak boleh dilewatkan, apalagi ketahuan oleh klub besar macam Manchester United dan Arsenal. Apalagi yang memberinya tawaran adalah George Weah, dan yang ia promosikan adalah keponakannya. Ya, setidaknya ada hubungan darah lah, siapa tahu bakatnya memang mengalir.
Souness lantas mengingat-ingat nama yang diberikan Weah. Namanya benar-benar asing: Ali Dia. Entah karena tak punya nomor telepon manajer Luis Fernandes, manajer PSG kala itu, atau bagaimana, Souness langsung menyiapkan kontrak. Karena musim tengah berjalan, agak sulit tentunya untuk menyeleksi pemain terlebih dahulu. Kontrak pun disiapkan, tapi hanya untuk satu bulan.
Graeme Souness bukanlah orang sembarangan. Ia berhasil membentuk Matt Le Tissier menjadi striker yang haus akan gol. Dulunya, ia adalah pemain yang berpengalaman bersama Liverpool. Bermain sebanyak 247 kali, ia mencetak 38 gol.
Ali Dia pun menandatangani kontrak. Saat menginjakkan kaki di tempat latihan, ia jadi bahan omongan rekan-rekan lainnya. Salah satunya, Le Tissier. Dia menganggap Ali Dia tak cukup bagus untuk ukuran pemain Liga Inggris. Maklum, terkadang pemain profesional tahu mana pemain yang berbakat mana yang tidak, hanya dari latihan. Ia pun mendengar rekan-rekannya berkata, âSepertinya, ini adalah terakhir kalinya kita melihat dia.â
Hari itu, 23 November 1996, Le Tissier terkejut karena Ali Dia duduk di bangku cadangan. Pertandingan menghadapi Leeds akan penting bagi perjalanan Southampton di musim tersebut. Pada menit ke-32, Le Tissier mengalami cedera dan tak bisa melanjutkan pertandingan. Tanpa ragu Souness memasukkan Ali Dia yang terlihat seperti masih merasa canggung disaksikan puluhan ribu orang.
Pertandingan pertamanya pun menjadi yang terakhir. Entah karena kelelahan atau bagaimana, esoknya Ali Dia mesti ditangani fisioterapis. Padahal, Ali Dia hanya bermain selama 54 menit di atas lapangan.
âSetelah itu, dia pergi dan kami tak pernah melihatnya lagi. Tidak ada yang tahu kemana ia pergi,â kata Le Tissier mencoba mengingat.
Setelah kepergian sang pemain, barulah Souness tahu kabar yang sebenarnya. Yang meneleponnya bukan lah George Weah yang tersohor itu. Ia hanyalah teman satu sekolah Ali Dia, yang memaksanya berpura-pura menjadi Weah. Setelah itu, kontraknya pun diputus setelah hanya dua pekan bergabung dengan tim dan menghilang.
Statistik Sebagai Penunjang Data
Film Moneyball yang dirilis 2011 silam, menunjukkan statistik menjadi salah satu pendukung utama menilai pemain âasingâ. Pemain bintang sekalipun bisa tidak dilirik jika terlihat adanya penurunan performa yang bisa dibaca lewat statistik.
Saat ini, hampir semua pelatih di Liga Indonesia selalu bicara âbuta kekuatan lawanâ, kala menghadapi tim luar negeri. Ini juga yang terjadi saat mereka merekrut pemain yang tidak pernah merumput di Liga Indonesia. Untungnya, sudah ada Youtube yang memudahkan pelatih melihat kemampuan pemain buruan yang biasanya sudah diunggah sang agen.
Baca: Bisakah menilai mutu pemain dari Youtube?
Untuk mendatangkan pemain incaran, mestinya tidak cuma lewat rekomendasi agen. Kalau memungkinkan, data statistik akan menjadi sumber yang menawan. Namun, karena sejumlah liga--Liga Indonesia sekalipun--belum terjangkau data statistik yang gratis dan komprehensif, mau tidak mau pelatih mesti mengandalkan insting melihat mana pemain yang benar-benar "jadi" mana yang kualitasnya masih jauh dari harapan.
Pemain juga bisa melakukan "trial" di klub selama seminggu misalnya. Dalam jangka waktu tersebut, tim statistik akan menilai performa pemain lewat gim internal di lapangan. Pemberian kontrak secara langsung dengan hanya mengandalkan rekomendasi dan video dari Youtube agaknya bukanlah cara yang disarankan. Toh, manajemen klub di Eropa tidak sembarang merekrut pemain Brasil, misalnya. Mereka punya pemandu bakat berpengalaman yang ditempatkan di sana.
Ya, Ali Dia adalah sebuah kesalahan. Ia direkrut tanpa proses panjang yang melibatkan pemikiran tujuh hari-tujuh malam. Ia datang hanya berdasarkan rekomendasi dari seorang pemain yang dianggapnya sudah tersohor. Apa yang dilakukan Souness menjadi wajar karena dia bukan wartawan. Saya enggan membayangkan bagaimana nasib Souness yang akan dimarahi pemimpin redaksi tempatnya bekerja karena tidak melakukan disiplin verifikasi.
Andai di masa itu teknologi sudah seperti sekarang ini, barangkali Souness tengah berbalas mention dengan admin akun PSG menanyakan kebenaran Ali Dia. Ia juga akan rajin membuka situs Squawka, Statszone, hingga transfermarkt. Namun, ini ada untungnya. Ya, setidaknya âkepolosanâ Souness tidak akan dibuat meme yang disebar di situs 9gag atau Path.
**
Kini, Luke Shaw yang dianggap overpriced, masih berusia 19. Sementara itu, tak terdengar lagi kabar dari Ali Dia. Mungkin, ia tengah bermain bola di âLiga Entah di Manaâ.
Komentar