Bilbo Baggins gelisah. Gandalf, sosok yang ia hormati dan berjasa bagi hidupnya, kembali datang ke rumahnya di Shire. Bukan tanpa alasan pria berjubah abu tersebut kembali mengunjungi Bilbo setelah 59 tahun lamanya. Gandalf, yang kian ringkih karena usia, meminta Bilbo menyerahkan barang yang ia temukan dalam perjalanannya ke Lonely Mountain.
Bilbo pun merenung. Ia telah menjaga cincin yang ia curi dari Gollum di Misty Mountain, kini harus diserahkan dan dimusnahkan. Padahal, cincin itu yang juga berjasa membuatnya masih hidup hingga saat ini. Pada malam usai hari ulang tahunnya, Bilbo pun menyerahkan cincin tersebut pada Frodo, keponakannya. Keesokan harinya, Bilbo memutuskan untuk pergi dari Shire.
Dua paragraf di atas menceritakan awal kisah buku The Lord of The Rings karya John Ronald Reuel Tolkien. Pria kelahiran Bloemfontein, Inggris, tersebut menulis perjalanan Frodo dan Samwise menuju Sammath Naur, dalam buku sebanyak tiga seri dengan tebal rata-rata 400 halaman.
Saat difilmkan, total tiga seri buku tersebut mencapai total 682 menit atau lebih dari 11 jam dengan rata-rata 227 menit untuk setiap filmnya. Sebuah durasi yang terbilang panjang untuk sebuah film. Belum lagi ditambah dengan tiga seri film The Hobbit dengan durasi yang sama panjangnya, yang masih ada sangkut pautnya dengan seri The Lord of The Rings.
Dengan durasi yang begitu panjang, masalah utama yang dikedepankan oleh JRR Tolkien hanyalah sebuah cincin. Memang bukan sembarang cincin, tapi durasi film 11 jam agaknya masih dianggap terlalu âsebentarâ bagi penggemar Tolkien.
Perihal bagaimana film dan sepakbola saling berinteraksi atau bagaimana keduanya saling mempengaruhi, baca beberapa artikel kami:
Tolkien tentu tidak berjasa dalam urusan teknis film karena ia wafat pada 1973 pada usia 81 tahun. Namun, film The Lord of The Rings mustahil meraih 17 Academy Award, di mana film terakhir yang berjudul âThe Return of The Kingâ memenangkan 11 penghargaan dari 11 nominasi!
Sehebat-hebatnya Peter Jackson, ia tak akan bisa apa-apa jika Tolkien tak menggambarkan dunia Middle-Earth dengan begitu detail, tajam, dan indah. Belum lagi kehidupan rumit antara kaum peri (elf), manusia kerdil (dwarf), manusia, hobbit, hingga bangsa orc.
Banyak yang terbius dengan karya Tolkien karena kehidupan di middle earth yang begitu indah. Sama halnya seperti Harry Potter, tidak sedikit penggemar yang membuat cerita fiksi lanjutan dengan tokoh dan lini masa yang sama dengan The Lord of The Rings.
Ini juga yang terjadi pada sepakbola. Masyarakat tidak merasa rugi mengeluarkan uangnya setiap minggu untuk membeli majalah sepakbola. Masyarakat tidak merasa rugi kuota intertenya terpotong untuk membaca cerita-cerita di Panditfootball. Padahal, apa yang mereka baca hanyalah tentang bola sepak yang tidak pernah berubah sejak seabad silam.
Penggemar sepakbola mengalokasikan sepertiga malamnya untuk menyaksikan El Clasico. Padahal, mereka tahu, musim depan juga El Clasico akan hadir lagi. Beberapa jam kemudian, di kantor, di sekolah, atau di manapun, mereka menonton televisi dan membaca berita, berharap ada cerita menarik di balik El Clasico.
Setiap hari setidaknya ada lima hingga sembilan tulisan tentang sepakbola di Panditfootball, dan Anda, pembaca setia kami, tidak pernah berhenti mengunjungi situs ini untuk mendapat cerita-cerita soal sepakbola.
Tepat pada hari ini, organisasi The Tolkien Society, memperingati âTolkien Reading Dayâ. Ini merupakan acara tahunan yang dihelat sejak 2003. Tanggal 25 Maret dipilih karena bersamaan dengan hancurnya Sauron dalam serial The Lord of The Rings. Kegiatan dalam âTolkien Reading Dayâ ini umumnya diisi dengan diskusi dan kembali membaca tulisan-tulisan JRR Tolkien.
Haters Tolkien barangkali berujar, "Bagus apanya sih, cerita soal cincin doang." Pun dengan haters sepakbola, "Ngapain sih, 22 orang ngejar bola, kaya 'gak mampu beli saja."
Sumber gambar: zastavski.com
Baca juga:
Komentar