Oleh: Paul Cumming
"Pak Paul! Pak Paul!" Terdengar teriakan keras dari lantai atas sebuah hotel di Bekasi. Mulanya saya masih mengabaikan teriakan itu. Tapi intonasi teriakan itu membuat saya sedikit panik. Lalu terdengar lagi teriakan yang lebih jelas: "Pak Paul! Adolof, Pak Paul!"
"Hah Adolof?" Saya baru sadar. Di depan seluruh pemain Perseman Manokwari yang sedang bersiap-siap berangkat ke stadion, ternyata ada satu pemain yang belum muncul. Pemain itu adalah Adolof Kabo. Saya refleks memijit-mijit kening sembari bergumam: "Aduh Adolof!"
Adolof Kabo adalah pemain kunci Perseman Manokwari saat saya melatih di sana pada 1984-1986. Sebagai seorang striker, dia penyerang yang gol-golnya amat dibutuhkan. Tapi Kabo bukan sekadar goal-getter, dia juga nyawa tim. Dengan skill individunya, yang kadang kala membuatnya terlihat egois, Kabo sering meneror pertahanan lawan seorang diri. Bersama partnernya di lini depan, Elly Rumaropen, dan pemain tengah Yonas Sawor, Kabo bisa sangat percaya diri mengobrak-abrik pertahanan lawan. Nama-nama inilah yang berhasil membawa Perseman sampai ke grand-final Divisi Utama Perserikatan 1986 menghadapi Persib Bandung.
Maka ketika saya sadar Adolof tak terlihat bersama rekan-rekannya, ditambah teriakan panik dari lantai atas, saya merasa gelisah bukan main. Padahal sebentar lagi kami harus berangat ke stadion Bekasi untuk berjuang mati-matian melawan Perseden Denpasar. Pertandingan itu amat menentukan bagi kami untuk lolos ke Empat Besar Divisi Satu 1984 yang akan digelar Bandung.
"Aduh, Adolof ini kemana, yah?"
"Mungkin dia masih di warung?" salah seorang pembantu umum (kitman) mencoba menenangkan saya. Setelah ditunggu beberapa menit, Adolf tak kunjung datang. Imbasnya saya pun berkeringat dingin.
"Cari dia! Cepat! Cepat! Cepat! Tidak ada waktu lagi!," teriakan saya menyentak seluruh ruangan. Dua orang pembantu umum yang terlihat kebingungan langsung berlari keluar mencari Adolof ke warung-warung terdekat.
Beberapa menit kemudian mereka berhasil menemukan Adolof. Degup jantung saya pun sedikit mereda. Syukurlah! Tapi kegugupan saya belum hilang karena Adolof tiba dengan dipapah dua pembantu umum. Adolof berjalan sempoyongan. "Duh ternyata dia mabuk!" keluh saya dalam hati.
Lantas tiba-tiba dia langsung memeluk saya. "Saya minta maaf Paul, saya baru habis sepuluh botol besar," ucap Adolof sambil meringis dengan air mata berlinang. Tampaknya dia merasa sangat bersalah.
"Adolof masih bisa main?" saya tanya dia baik-baik.
"Bisa, Paul. Walaupun saya mabuk saya janji cetak gol dan kita akan menang dan saya janji saya tidak akan minum lagi sampai kita juara di Bandung!"
"Okay Adolof. Saya percaya sama Adolof. Sekarang cepat pakai kostum karena kami menunggu Adolof untuk ikut doa sebelum ke lapangan,"
Sampai ke stadion Adolof masih loyo, langkahnya masih gontai. Dia masih belum memisahkan dunia nyata dengan alam bawah sadarnya. Waktu pemanasan dia malah sempat dua kali jatuh terpeleset membuat orang terheran-heran melihatnya. Saya sedikit ragu kepada dia, tapi saya percaya janji Adolof pada saya. Karena itulah saya pasang dia sebagai starter. Intinya dia harus berjuang dari awal.
Degup jantung saya mengencang sepanjang pertandingan, terutama saat melihat Adolof Kabo di lapangan. Duh! Masalahnya selama pertandingan dia berlari agak miring dan oleng sempoyongan. Tanpa di-tekel atau di-body charge lawan pun Adolof beberapa kali jatuh karena keseimbangannya yang setengah sadar.
Tetapi siapa sangka tiba-tiba dia mencetak gol yang sangat spektakuler lewat shooting jarak jauh dari jarak 30 meter. Kami pun menang 1-0 hingga bisa lolos ke 4 Besar di Bandung. Kejadian ini tak pernah saya lupakan, karena baru pertama kalinya saya lihat orang setengah sadar bisa cetak gol.
Cerita kemudian berlanjut di Bandung. Sampai ke Bandung saya sangat kecewa karena oleh panitia kami dan tiga tim lainnya ditempatkan dalam satu barak militer yang sama. Saya langsung melarang pemain turun dari bus. PS Bengkulu juga menolak tinggal di komplek militer itu dan memilih sebuah hotel yg sangat mewah.
Panitia marah-marah kepada saya, tetapi saya jelaskan kalau tim saya dari PSAD (Persatuan Sepakbola Angkatan darat) saya pasti setuju di situ, tapi kami tim bola sipil bukan militer. Mendengar alasan itu mereka panggil saya "Cowboy Cumming" .
Saya tak peduli omelan itu karena sesuai dengan prinsip saya kalau sebuah tim mau berhasil harus dalam keadaan gembira. Tinggal di barak militer, kami tentu tak akan gembira. Beruntung akhirnya kami dapat tempat di Balai Latihan Departemen Tenaga Kerja, di mana situasi sangat kondusif apalagi masyarakat disitu sangat-sangat ramah.
Bagi saya, bermain bola dengan kegembiraan, dengan hati yang senang, adalah kunci untuk memunculkan permainan maksimal anak-anak Perseman. Sepakbola adalah kebahagiaan, kesenangan, dan suka cita. Jika bermain dengan tertekan, sukar akan mendapatkan hasil yang diinginkan.
Ternyata kegembiraan suasana selama di situ membuat hasil yang positif dan Perseman keluar sebagai juara. Asal tahu saja, sebelum babak empat besar, semua pemain termasuk Adolof berjanji untuk tidak minum alkohol sampai kami menerima trofi juara Divisi Satu. Saya sudah bilang sama mereka, "Kalau kalian janji tidak minum sampai kita juara, malam setelah juara kalian bebas dan boleh minum sepuas-puasnya."
Dan ternyata janji itu mereka penuhi. Maka sesudah mengalakan PS Bengkulu 3-1 di final. Mereka langsung menagih janji itu. Saya menepati janji saya untuk membiarkan mereka larut dalam pesta pora.
Lanjut ke halaman berikutnya
Komentar