Isu mengenai LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) sedang menghangat di berbagai belahan dunia. Ada sebuah pergerakan masif menuntut diakuinya LGBT. Hal ini diawali oleh pengakuan perkawinan sesama jenis oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat pada Juli 2015 silam. Seketika isu ini menghangat dan menjadi salah satu topik yang kerap mewarnai media hampir di seluruh dunia.
Begitu pula dalam dunia sepakbola. Meskipun di beberapa negara isu homofobia masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Isu kaum LGBT juga menjadi topik yang diangkat. Salah satu negara yang memiliki pengaruh besar, Inggris sedang giat menyuarakan isu LGBT ini.
Layaknya organisasi pada umumnya, Gay Football Supporters Network (GFNS) ini biasa memiliki kegiatan rutin seperti kunjungan pertandingan, turnamen sepakbola, dan tentunya menggelar kampanye tentang isu-isu yang berkaitan dengan homofobia di sepakbola. Organisasi ini kini menjadi salah satu tonggak perlawanan terhadap homofobia di dunia sepakbola, khususnya di kalangan pendukung tim atau suporter.
Sepakbola adalah olahraga yang identik dengan kejantanan. Apalagi bagi kalangan suporter, ejekan yang bernada pelecehan rasial, juga homofobia dianggap biasa dan membudaya hingga kini di berbagai penjuru dunia. Melecehkan seseorang dengan latar belakang ras, warna kulit, serta isu ketertarikan seksual yang berbeda dianggap lumrah.
Padahal, sudah banyak contoh bagaimana diskriminasi atau homofobia di dalam sepakbola telah menelan korban seperti Justin Fashanu yang memilih mengakhiri hidupnya setelah ia tidak tahan dengan tekanan yang diterimanya akibat ia mengaku seorang gay.
Begitu pula dengan fans. Permasalahan perlakuan tidak menyenangkan yang diterima oleh orang-orang gay, lesbian, dan transeksual di stadion membuat mereka tidak nyaman.
Rasa ketidaknyamanan ketika berada di tribun sepakbola bagi kaum LGBT di Inggris. Membuat mereka melakukan inisiatif membentuk sebuah jaringan suporter LGBT. Awalnya digagas oleh tiga kelompok supporter, yaitu Gay Goonners (Arsenal), Proud Canaries (Norwich City), dan Canal Street Blues(Manchester City).
Maka dengan dibentuknya grup suporter LGBT setidaknya membuat mereka-mereka yang merupakan bagian-bagian dari kaum LGBT setidaknya merasa nyaman berada di tribun bersama orang-orang yang sama.
Seperti yang diungkapkan oleh koordinator GFSN, Leviathen Hendricks pada laman resmi GFSN,"Semua penggemar sepakbola ingin merasakan arti memiliki tim mereka. Sayangnya, homofobia, bifobia, dan transfobia adalah hambatan yang sanyat nyata. Kami percaya grup suporter LGB&T akan berusaha kedepan menciptakan lingkungan yang toleran dan aman sembari memberikan kesetaraan untuk semua penggemar untuk bebas menikmati kegembiraan menjadi suporter."
GFNS sendiri tidak hanya bergerak untuk membela kepentingan para anggotaya sendiri. Salah satu misi mereka adalah menghilangkan homofobia didalam tribun sepakbola. Salah satu contohnya adalah yang dialami oleh pendukung Brighton and Hove Albion.
Suporter Brighton bersama GFNS melakukan studi tentang nyanyian-nyanyian (chant) yang bernada homofobia oleh suporter lawan kepada mereka, baik di kandang mereka maupun ketika menonton laga tandang. Hasilnya, 72 persen lawan yang mereka hadapi musim ini melakukan chants yang bernada homofobik kepada mereka; 70 persen terjadi saat laga tandang; 57 persen terjadi pelecehan yang terjadi di semua laga sepanjang musim.
Nyanyian atau chants beragam, dari yang ringan seperti "does your boyfriend know you`re here (apakah pacar[laki-laki]mu tahu kamu ada disini)" mupun yang terang-terangan melecehkan seperti "you`re just town full of faggots! (kamu semua hanya kota yang penuh dengan orang homo)"
GFSN juga tak melulu berkampanye melalui cara yang konservatif. Para suporter LGBT ini juga menyelenggarakan turnamen resmi atau liga sepakbola antar suporter LGBT yang bernama GFSN League. Sejauh ini, liga ini merupakan satu-satunya liga di dunia yang mengakomodir suporter LGBT.
Liga ini diadakan oleh seluruh grup suporter LGBT dari banyak kota di Britania Raya, seperti London, Manchester, Yorkshire, Birmingham, Brighton, Nottingham, Newcastle, Cardiff, Glasgow, Edinburgh, Liverpool, Wolverhampton, Trowbridge, Bristol dan Leicester.
Kick It Out, organisasi yang vokal dalam menyuarakan anti-diskriminasi warna kulit dalam sepakbola juga turut andil dalam kampanye yang dijalankan GFNS. Terbentuk pada tahun 1993 atas reaksi banyaknya pelecehan rasial dalam sepakbola kini aktif bekerjasama serta didukung pendanaannya oleh FIFA, European Council, British Council, juga FA Inggris. Organisasi ini kini telah meluas tak hanya memerangi isu ras, tapi juga berbagai diskriminasi didalam sepakbola.
Klub Arsenal menjadi pionir dalam mendukung grup suporter LGBT ini. Pada tahun 2013, Arsenal meresmikan Gay Gooners sebagai salah satu grup suporter yang terafiliasi dengan klub. Kemudian grup-grup dari klub lain seperti Manchester City dan Everton juga mengikuti langkah serupa.
Dari sekian banyak grup suporter LGBT, baru ada 9 kelompok yang diakui resmi oleh klub sebagai grup suporter yang terafiliasi, diantaranya: GayGooners (Arsenal), LFC-LGBT (Liverpool), Canal Street Blues (Man City), Rainbow Toffees (Everton), Proud Canaries (Norwich City), Pride of Irons (West Ham), dan Proud and Palace (Crystal Palace).
Bahkan saat kehadirannya di 2013 lalu, Arsenal mengundang GayGooners untuk memperkenalkan diri di lapangan rumput Emirates Stadium sebagai bentuk dukungan klub terhadap anti-homofobia dalam sepakbola.
https://twitter.com/gaygooners/status/621712241730146304
Mengenai fans yang memiliki orientasi seksual gay, memang banyak reaksi yang menolak, namun banyak pula dari mereka yang tidak peduli dan lebih menyerahkan kepada pribadi masing-masing. Seperti Jack Gilhooly, seorang fans Liverpool dari kota Kent. Ia menyikapi suporter gay sebagai urusan pribadi masing-masing. "Tidak masalah jika seseorang adalah gay. Jika mereka bagus di sepakbola, atau seorang fans, yang mendukung tim kamu. Terserah mereka. Itu urusan pribadi mereka. Kamu hanya seorang fans," ujarnya.
Founder LFC-LGBT, Paul Amann, mengungkapkan bahwa gerakan anti- homofobia yang kini giat dikampanyekan oleh banyak pihak bukan tidak mungkin nantinya akan membesar seperti aksi rasisme yang juga dialami oleh sepakbola Inggris di tahun 1970 hingga 80-an. "Saya ras campuran, dan mengingatkan saya dengan yang terjadi di 70 atau 80-an ketika orang-orang melempar pisang kedalam lapangan dan National Front [partai kulit putih Inggris] ada di tribun"
Tanggal 29 Februari yang lalu, Chelsea akhirnya mengumumkan dukungan mereka terhadap gerakan ant-homofobia dengan mengglar laga amal dan meresmikan grup suporter LGBT resmi bagi Chelsea, Chelsea GFSN.
https://twitter.com/ChelseaFC/status/704328649043001344
Dengan banyaknya grup-grup suporter, termasuk para grup suporter LGBT untuk memerangi homofobia di dalam sepakbola, menjadikan hubungan banyak suporter di Inggris menjadi erat. Mereka saling membantu dalam melaporkan dan mengkampanyekan anti-homofobia dalam sepakbola.
Memang isu ini sangat sensitif, mengingat masih banyak negara yang masih melarang adanya kaum LGBT. Namun ini seharusnya menjadi contoh bahwa perbedaan selayaknya bukan menjadi alasan untuk melakukan tindakan tidak menyenangkan kepada mereka yang berbeda.
Tak peduli perbedaan latar belakang, ras, agama, maupun orientasi seksualnya, sepakbola bisa dinikmati oleh siapa saja. Karena sepkbola sejatinya adalah milik semua.
Foto: Guardian, arsenal.com
[tr]
Komentar