Memecat manajer adalah hal yang sah-sah saja dilakukan pemilik klub. Biasanya, pemecatan terjadi karena sang pemilik menganggap manajer klub sudah tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya dengan baik, sehingga berpikir permainan timnya akan lebih baik setelah pergantian manajer. Biasanya, pemilik klub akan mengganti manajer minimal selama satu musim atau dua musim sekali, tergantung dari performa yang ditunjukkan oleh si manajer dan juga ekspektasi pemilik klub terhadap manajer yang bersangkutan.
Sebagai contoh, Chelsea dengan Roman Abramovich-nya adalah klub yang lumayan sering mengganti manajer. Minimal dalam kurun waktu dua musim. Manajer yang menangani Chelsea di era Abramovich mulai dari zaman Claudio Ranieri, Jose Mourinho bagian pertama, Avram Grant, Luiz Felipe Scolari, Guus Hiddink bagian pertama, Carlo Ancelotti, Andre Villas-Boas, Roberto Di Matteo, Rafael Benitez, Jose Mourinho bagian dua, dan sekarang Guus Hiddink bagian dua. Abramovich memang pemilik yang sering gonta-ganti manajer, meskipun sebenarnya ini tidak baik bagi keuangan klub (saat memecat Ancelotti dan merekrut Villas-Boas, rekening Chelsea membengkak sampai 28 juta pounds) dan juga bagi performa klub itu sendiri.
Hal inilah yang juga terjadi di Italia, tepatnya di U.S. Citta de Palermo, atau yang biasa disebut sebagai Palermo, klub asal Sisilia yang berkompetisi di Serie A. Semenjak tampuk kepemimpinan klub dipegang oleh Maurizio Zamparini, klub ini menjadi sering sekali menggonta-ganti manajer. Di musim 2015/2016 ini, kebiasaan Zamparini menggonta-ganti manajer ini semakin terlihat jelas. Tercatat, ia sudah delapan kali mengganti manajer sejak awal musim 2015/2016.
Di awal musim, Zamparini merekrut Giuseppe Iachini. Merasa tidak puas, pada November 2015 Zamparini memecat Iachini lalu menggantikannya dengan Davide Ballardini. Dua bulan kemudian, tepatnya saat Januari 2016, tiba-tiba saja Zamparini memecat Ballardini dan menggantinya dengan Guillermo Barros Schelotto. Namun, karena Schelotto tidak memiliki lisensi kepelatihan UEFA, Zamparini pun tidak jadi merekrutnya dan memilih untuk mnnggunakan jasa caretaker, Fabio Viviani.
Nasib Viviani pun ternyata sama dengan para pendahulunya. Setelah kalah 4-0 dari Genoa, ia langsung dipecat dan digantikan oleh Giovanni Tedesco pada Januari 2016. Satu bulan kemudian, Giuseppe Bosi datang dan Tedesco pun turun derajat menjadi asisten manajer. Hanya bertahan selama lima hari di Palermo, mulai dari tanggal 10 Februari sampai tanggal 15 Februari 2016, Bosi pun akhirnya dipecat oleh Zamparini, kemudian Zamparini pun memanggil kembali Giuseppe Iachini sehingga masuklah Palermo kepada era Giuseppe Iachini bagian dua.
Lalu, pada tanggal 10 Maret 2016, Iachini bagian dua pun dianggap gagal oleh Zamparini setelah Palermo menelan kekalahan 3-1 dari Internazionale Milan. Di Iachini bagian dua ini, ia merasa kesal kepada Zamparini karena tidak dihargai dan ia merasa bahwa timnya bisa menjauh dari zona degradasi. Namun, hal ini berkebalikan dengan apa yang diujarkan oleh Zamparini bahwa Iachini tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Ia juga mengatakan bahwa Iachini itu "bermental lemah" dan "tidak peduli akan tim Palermo".
Sebagai gantinya, setelah Iachini memutuskan untuk hengkang dari Renzo Barbera, Zamparini merekrut Walter Novellino. Di pertandingan pertamanya untuk Palermo, Novellino mencatatkan kekalahan atas Napoli 1-0. Tapi, tampaknya ia masih diberikan kesempatan untuk melatih Palermo oleh Zamparini.
Bagi para suporter, kebiasaan Zamparini sering menggonta-ganti manajer ini bukanlah hal yang baru. Selama 14 tahun masa kepemimpinannya di Palermo, ia memang kerap kali mudah berubah pikiran, termasuk dalam hal mengontrak dan memecat manajer klub. Tapi, perlahan suporter pun menyadari bahwa berganti-ganti manajer, apalagi dalam rentang waktu yang dekat seperti yang dilakukan oleh Zamparini, bukanlah hal yang baik.
Oleh karenanya, pada saat Giuseppe Iachini dipecat, dua hari setelahnya 200 orang suporter berkumpul di depan tempat latihan klub, dan mengeluarkan sebuah pernyataan bernadakan "enyahlah Zamparini". Mereka mulai sadar bahwa sebenarnya sejak dilatih Iachini, Palermo sudah kembali ke jalur yang benar. Iachini juga menjadi manajer yang mengajarkan kepada Zamparini pentingnya "proses dan kesabaran".
"Lebih baik kami berada di Serie C tanpamu daripada harus berada di Serie A seperti ini," teriak salah satu suporter saat berkonfrontasi dengan Zamparini pasca pemecatan Iachini.
Memecat seorang manajer memang terlihat seperti ritual yang dilakukan oleh orang-orang suku Aztec. Orang Aztec sering melakukan ritual pengorbanan manusia agar mereka tetap aman dibawah lindungan dewa. Jika dilihat dari sudut pandang sepakbola, agar dewa kesialan tidak menaungi tim, maka manajer kerap jadi tumbal yang diberikan kepada dewa kesialan. Manajer harus pergi dari klub agar klub bisa kembali tampil baik.
Namun, sebenarnya pemecatan manajer ini menciptakan sebuah kemubaziran atau semacam penghamburan yang tak perlu. Memang tidak dipungkiri bahwa terkadang performa tim meningkat setelah manajer lama dipecat dan digantikan oleh manajer yang baru. Inilah yang dinamakan efek sesaat dari pergantian manajer. Seperti halnya siklus perputaran roda, kadang ada saat di atas, kadang ada juga saat dibawah. Dan menurut Bridgewater, seperti yang dilansir oleh FourFourTwo, meningkatnya performa klub adalah hasil dari meningkatnya semangat pemain yang ingin mendapatkan apresiasi dari manajer yang baru.
Lalu, kemubaziran atau penghamburan yang dimaksud di sini adalah, bahwa uang dari hasil pemecatan manajer, yang di Inggris saja pada musim 2010/2011 mencapai 99 juta pounds, bisa digunakan untuk hal-hal penting lain seperti pembinaan pemain muda, peningkatan fasilitas klub seperti renovasi stadion, atau juga untuk menggaji pemain. Ini juga seolah menunjukkan bahwa para pelaku sepakbola belum pintar-pintar amat dalam mengatur uang.
Yah, pada intinya, benar apa yang diajarkan oleh Giuseppe Iachini. Proses dan kesabaran adalah hal yang penting jika memang ingin membentuk sebuah kesuksesan jangka panjang. Buktinya, di Inggris saja pernah ada beberapa dinasti sepakbola yang merupakan buah dari kesabaran. Toh, tidak ada salahnya kan menghargai proses dan berusaha untuk sabar dalam menjalani proses itu.
(sf)
foto: zimbio.com
(pik)
Komentar