Dunia pasti berputar. Roda kehidupan pasti akan berganti. Orang akan merasakan saat ia berada di puncak, dan orang juga pasti akan merasakan saat ia berada di bawah. Meski memang terdengar sedikit klise dan sudah berulangkali diucapkan, baik itu oleh sahabat, teman, kekasih, orang tua, suami, istri, atau siapapun yang pernah menjalin sebuah hubungan dengan kita, tapi hal itu terus terjadi; Berulang-ulang dan tak mau berhenti sepanjang hidup kita.
Konsep tentang “dunia pasti berputar” dan “roda kehidupan pasti akan berganti” bukanlah sekadar konsep kosong yang tidak memiliki arti. Adanya sistem "per-mantan-an", seperti mantan direktur, mantan jawara, atau bahkan mantan pacar sekalipun adalah sebuah konsep paling dasar yang disebut sebagai “dunia pasti berputar”. Seseorang atau sesuatu tidak mungkin terus berada di atas. Ada saat ketika ia harus kembali ke bawah untuk merenung, ataupun merangkak naik ke atas untuk memahami arti dari rasa syukur.
Konsep “roda kehidupan pasti akan berganti” juga seringkali terjadi di dunia sepakbola. Sama halnya seperti manusia, klub, ataupun kesebelasan negara yang berkompetisi di suatu liga ataupun turnamen pasti akan mengalami sebuah fase pasang surut, fase “perputaran”, yang tak dapat dihindari. Tak ada kuasa abadi yang bisa didapatkan, bahkan hanya untuk dua kali saja tidak bisa, seperti halnya juara Liga Champions Eropa.
Chelsea tentunya adalah kesebelasan yang sangat merasakan hal ini pada musim Liga Primer Inggris 2015/2016. Cerita Chelsea, kalau boleh dikatakan, merupakan contoh terbaru yang dapat kita lihat sebagai representasi dari konsep “dunia pasti berputar” ataupun konsep “roda kehidupan pasti akan berganti”. Menilik capaian mereka musim 2015/2016, dan membandingkannya dengan capaian mereka musim 2014/2015, akan terlihat jelas mengapa “dunia pasti berputar” juga berlaku di dunia sepakbola.
Chelsea Musim 2014/2015
Melihat sepak terjang Chelsea pada musim 2014/2015, tentu tidak akan ada yang menyangsikan bahwa Chelsea musim itu begitu menakutkan. Meski ditinggalkan oleh sang legenda, Frank Lampard, ke New York City FC, Jose Mourinho, The Special One, menemukan formula yang pas untuk membuat lini tengah The Blues begitu kuat, berikut juga lini depan yang tajam dan lini belakang yang kokoh.
John Terry tampil sebagai pemimpin lini pertahanan yang tangguh. Ia tidak tergantikan di semua pertandingan yang Chelsea ikuti di Liga Primer Inggris musim 2014/2015. Duet Cesc Fabregas dan Nemanja Matic sebagai dua gelandang jangkar dengan baik melapisi backfour Chelsea sekaligus juga menjadi penyokong serangan Chelsea yang dimotori oleh Oscar, Eden Hazard, dan Willian. Sebagai seorang ujung tombak, musim itu nama Diego Costa pun begitu menyeramkan bagi para bek lawan dengan torehan 20 gol nya dari 26 pertandingan di Liga Primer Inggris.
Kedigdayaan Chelsea ini sudah terlihat pada musim 2014/2015 dari 10 pertandingan awal Chelsea. The Blues mampu meraih hasil delapan kali menang dan dua kali hasil imbang. Selain itu, dalam total 38 pertandingan mereka hanya kalah tiga kali. Maka, ketika Chelsea menjadi juara di akhir musim, semua orang tidak aneh akan pencapaian tersebut karena musim itu, dengan penampilan yang trengginas Chelsea pantas untuk menjadi juara. Selain juara Liga Primer Inggris, juara Piala Liga pun mereka raih setelah mengandaskan perlawanan Tottenham Hotspurs di final dengan skor 2-0.
Chelsea Musim 2015/2016
Musim 2015/2016, tiba-tiba saja “roda kehidupan” pun berganti untuk The Blues. Dengan skuad tidak terlalu jauh berbeda seperti musim 2014/2015, justru mereka tampil sangat mengecewakan. Pada 10 pertandingan awal mereka di ajang Liga Primer Inggris, mereka hanya mencatatkan lima kali kekalahan, dua kali hasil seri, dan tiga kali menang. Hal ini tentu merupakan sebuah kemunduran yang sangat jauh jika dibandingkan dengan musim sebelumnya.
Para pemain yang musim sebelumnya tampil brilian pun seperti hilang ditelan bumi. Nemanja Matic bermain tidak selugas musim lalu. Pun dengan John Terry dan Gary Cahill yang kerap tidak berkoordinasi dengan baik dalam menggalang lini pertahanan. Yang begitu aneh, tentunya adalah sangat menukiknya performa Eden Hazard dibandingkan dengan musim 2014/2015. Semua tidak tampil sesuai dengan kapasitasnya sebagai juara bertahan Liga Primer Inggris.
Para analis bola berbondong-bondong menganalisis apa sebab dari terjun bebasnya performa Chelsea. Suporter mulai berpendapat bahwa arogansi Mou berpengaruh terhadap penurunan performa pemain. Media menggembor-gemborkan berita kalau Chelsea mengalami masalah internal sehingga ada ketidaksepahaman yang terjadi antar pemain. Semua memberikan pendapatnya masing-masing tentang apa yang terjadi dengan Chelsea musim 2015/2016 ini.
“Roda kehidupan” memang sudah berputar untuk Chelsea. Walhasil, musim ini mereka lebih banyak bermain-main di papan tengah, dan bukan di papan atas “seperti biasanya”.
Itu baru cerita tentang Chelsea. Bagaimana klub yang asalnya juara bisa tiba-tiba terjun bebas dan harus merangkak naik perlahan di papan klasemen. Cerita ini belum memasukkan cerita tentang Leicester yang, ya, semua orang tahu bagaimana musim 2014/2015 hampir degradasi dan musim 2015/2016 mereka sudah memastikan diri akan berlaga di Liga Champions Eropa musim 2016/2017. Belum juga memasukkan cerita dari sepakbola Italia tentang Inter Milan dan AC Milan yang penampilannya tak kunjung membaik setelah sempat merajai sepakbola Italia tahun 2010 dan 2011. Masih banyak cerita tentang “dunia pasti berputar” di sepakbola.
Maka, biarkanlah cerita tentang Chelsea ini menjadi gambaran agar sebuah tim sepakbola tidak cepat berpuas diri dan menjadi adigung (sombong, dalam bahasa Sunda). Jangan terlalu cepat termakan oleh pujian, dan jangan pula terlalu cepat berputus asa hanya karena sebuah cacian.
foto: skysports.com
ed: fva
Komentar