Imam Riyadi, Tendangan Panenka, dan Pemain No. 10 yang Langka

Cerita

by

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Imam Riyadi, Tendangan Panenka, dan Pemain No. 10 yang Langka

Kembali ke Piala Tiger tahun 1998. Dalam kompetisi regional Asia Tenggara tersebut, yang selalu lekat dalam ingatan adalah insiden ‘sepakbola gajah’ yang melibatkan kesebelasan negara Indonesia dan Thailand. Kala itu di partai terakhir babak penyisihan grup A, kedua negara saling bertemu untuk menentukan tim mana yang akan keluar sebagai juara grup dan akan berhadapan dengan Vietnam di partai semifinal.

Demi menghindari Vietnam yang merupakan runner-up Grup B, kedua kesebelasan seakan mengincar kekalahan dengan tidak tampil maksimal. Terutama pada babak pertama, kedua tim saling membuang peluang gol. Indonesia dan Thailand masing-masing sempat mencetak gol hingga kemudian kedudukan berakhir imbang 2-2. Menjelang pertandingan berakhir, kejadian memalukan tersebut terjadi. Pemain belakang Indonesia, Mursyid Effendi, mencetak gol ke gawangnya sendiri. Insiden ini selalu diingat sebagai momen paling memalukan dalam sejarah sepakbola Asia Tenggara khususnya Indonesia.

Sebenarnya selain sepakbola gajah ada juga momen tak terlupakan lain. Momen ini mungkin tidak banyak diingat. Setelah laga di fase grup, Indonesia kembali bertemu Thailand di perebutan tempat ketiga setelah masing-masing takluk di partai semifinal. Berbeda dengan laga sebelumnya yang penuh intrik, pertandingan kali ini justru mempertontonkan permainan luar biasa dari kedua tim.

Keunggulan Thailand selalu berhasil dikejar oleh Indonesia. Kurniawan Dwi Yulianto dan Yusuf Ekodono selalu berhasil memperkecil ketertinggalan setelah gawang Indonesia dibobol tiga kali sepanjang babak pertama oleh Thailand. Andai Yusuf Ekodono tidak menyamakan kedudukan satu menit menjelang waktu normal berakhir, maka medali perunggu sudah dipastikan akan menjadi milik Thailand. Gol Yusuf itu menyempurnakan laga ini sebagai salah satu laga paling sengit dan mendebarkan antara Indonesia vs Thailand.

Tidak ada gol tambahan di babak perpanjangan waktu sehingga laga harus dilanjutkan ke babak adu penalti. Dan di babak inilah momen magis tersebut terjadi. Imam Riyadi yang maju sebagai salah satu algojo penalti, berhasil menaklukan kiper Thailand melalui sebuah tendangan panenka!

Eksekusi sukses Imam Riyadi menjadi salah satu dari lima tendangan kesebelasan Indonesia yang masuk ke gawang Thailand, sehingga skor pada babak adu penalti berakhir untuk kemenangan Indonesia 5-4. Hasil ini sekaligus membuat Indonesia berhak membawa pulang medali perunggu turnamen antar negara yang kini bernama ASEAN Football Federation (AFF) Championship tersebut.

Ditemui oleh usai laga uji tanding antara Persib Bandung dan Cilegon United. Imam Riyadi yang kini sudah banting stir dan menjadi pelatih, bercerita terkait eksekusi penalti yang ia lakukan hampir dua dekade lalu tersebut.

“Haha..ternyata ada yang masih ingat,” ujar Imam ketika penulis menanyakan perihal eksekusi penaltinya pada tahun 1998. “Waktu itu saya ditanya pelatih (Rusdy Bahalwan), apa siap jadi salah satu penendang penalti? Saya langsung saja jawab ‘siap’. Karena sebagai pemain kita harus ikuti instruksi dari pelatih.”

“Sejujurnya saya tidak kepikiran akan melakukan seperti itu (tendangan panenka). Sebelum menendang, sebelumnya saya lihat kiper Thailand tubuhnya besar sekali. Saya pikir tidak mungkin menyepak bola dengan keras. Akhirnya saya putuskan untuk melakukan menendang seperti demikian dan bersarang di pojok (agak ke) kanan atas gawang.”

“Alhamdulillah juga bisa masuk. Mungkin saya juga memang sedang sangat beruntung waktu itu. Jadi sebenarnya tidak ada persiapan yang khusus ketika sebelum menendang,” tambah Imam.

Itu memang tendangan menentukan. Imam adalah eksekutor terakhir. Skor adu penalti kala itu 4-4 dan Thailand sudah menghabiskan semua jatah penendangnya. Penendang kedua Thailand, Anan Punsanai, gagal mencetak gol karena tendangannya berhasil digagalkan Hendro Kartiko. Sedangkan empat eksekutor Indonesia (berturut-turut: Uston Nawawi, Bima Sakti, Yusuf Ekodono dan Kuncoro) semuanya berhasil.

Imam tentu menanggung beban yang tidak kecil. Di kakinya kemenangan Indonesia digantungkan. Dan itu bukan hal gampang. Setahun sebelumnya, di ajang Sea Games 1997, Indonesia kalah dari Thailand melalui adu penalti dalam laga puncak memperebutkan medali emas. Kala itu, setelah bermain imbang 1-1 di waktu normal, Indonesia kalah 2-4 dalam sesi adu penalti. Ronny Wabia, striker Persipura, dan Uston Nawawi, gelandang Persebaya jebolan PSSI Baretti, gagal mengeksekusi penalti.

Menariknya lagi, Imam menjalankan tugasnya dengan berani. Ia melakukan tendangan ala panenka, men-chip bola, di momen menentukan sebagai eksekutor penalti terakhir. Dan gol.

Sebuah teknik menendang yang bisa dibilang sangat berani apalagi waktu itu Imam masih berusia muda yaitu 23 tahun. Imam menjadi salah satu dari beberapa pemain yang berusia di bawah 25 tahun yang masuk skuat Indonesia di Piala Tiger 1998. Pemain muda lain kala itu diantaranya adalah, Kurniawan Dwi Yulianto (22 tahun), Sugiantoro, dan Uston Nawawi (masing-masing berusia 20 tahun).

Di ajang Sea Games 1997, yang kala itu masih belum diperuntukkan bagi pemain di bawah 23 tahun, Imam tidak dipanggil oleh Henk Wullems, pelatih Belanda yang sukses membawa Mastrans Bandung Raya menjuarai Liga Indonesia jilid II. Imam sama sekali tidak masuk opsi karena, selain pemain muda seperti Bima Sakti dan Uston Nawawi sudah masuk, pemain senior di lini tengah masih mendapatkan tempat. Ansyari Lubis dan Fachri Husaini pun masih dipanggil kala itu.

Berposisi sebagai pemain nomer punggung 10. Imam dikenal sebagai salah satu gelandang yang memiliki kecerdasan ketika mengoper bola dan sangat baik ketika mengatur tempo permainanan. Eksekusi bola mati juga menjadi kelebihan dari Imam Riyadi.

Imam bisa dibilang diorbitkan oleh Risnandar Soendoro di Persib Bandung. Risnandar yang memimpin Persib di Liga Indonesia II mengambil alih peran pelatih dari legenda hidup Indra Thohir. Kendati masih diperkuat oleh maestro lini tengah yang sukses mempersembahkan tiga gelar juara kepada Persib, Yusuf Bachtiar, Risnandar mulai mempermuda skuat Pangeran Biru. Imam adalah salah satu yang ia siapkan.

"Dia saya proyeksikan sebagai play maker. Dia punya otak dan kemampuan, yang kurang hanya pengalaman. Maka saya sisipkan dia pelan-pelan," kata Risnandar kala itu, pelatih yang meninggal beberapa waktu lalu itu.

Di era Imam banyak sekali pemain lokal yang handal di posisi gelandang serang yang mahir bermain sebagai pemain No. 10. Sebut saja Ansyari Lubis, Fachri Husaini, Marzuki Badriawan, hingga Uston Nawawi yang lebih muda.

Kini Indonesia justru lebih banyak memproduksi gelandang dengan tipe deep-lying playmaker atau tipe lain yang lebih mengandalkan kekuatan seperti Hariono dan Rizky Pellu, misalnya. Bahkan bocah ajaib, Evan Dimas, juga sejatinya bukanlah pemain dengan posisi nomer punggung 10. Sebelumnya ada Ponaryo dan Firman Utina atau Eka Ramdani, yang bisa juga berperan sebagai play maker, walau tipikalnya lebih tepat dibilang sebagai bot to box, atau lebih ke belakang posisinya, bukan tipikal pemain no. 10 klasik.

Dalam sejarah Persib sendiri, Imam boleh dibilang sebagai pemain no. 10 terakhir yang berstatus sebagai pemain "lokal" Jawa Barat. Sejak Imam, tidak ada lagi pemain lokal Jawa Barat yang mendapatkan peran sebagai pemain no. 10. Eka Ramdani sempat menjadi pemain kunci lini tengah, tapi posisinya lebih ke tengah ketimbang di belakang striker.

Lagi pula, Imam memang benar-benar menggunakan nomer punggung 10. Sejak itu, nomer keramat 10 di Persib digunakan oleh pemain-pemain asing, dari Alejandro Tobar, Lorenzo Cabanas, Sergio van Dijk (naturalisasi) hingga Makan Konate. Setelah Adjat Sudrajat di era 1980an hingga awal 1990an, Imam adalah pemain lokal Persib paling berhasil mengenakan nomer 10.

Ditanya mengapa Indonesia saat ini sepertinya sangat minim stok pemain yang berposisi serupa dengan Imam, pria kelahiran 7 Desember 1974 ini berujar bahwa kesempatan bermain menjadi faktor kunci.

“Saya pikir yang berbeda dengan era saya adalah kesempatan bermain yang dimiliki oleh pemain dari generasi sekarang. Kebanyakan pelatih lebih senang menempatkan pemain asing di posisi tersebut. Tren ini lama kelamaan membuat waktu bertanding pemain lokal menjadi lebih sedikit.”

“Padahal saya pikir kita masih juga produksi pemain bagus di posisi tersebut. Contoh (Persib) ada nama Gian Zola. Ia masih muda tapi sudah terlihat kualitasnya. Jika diberi kesempatan lebih banyak pasti akan lebih bagus,” kata Imam.

Karier Imam mengalami puncak keemasan ketika memperkuat Persib Bandung mulai dari tahun 1996 hingga hijrah ke Pelita Solo pada milenium baru. Sempat memperkuat beberapa klub, akhirnya Imam pensiun di tim daerah asalnya, Perserang Serang. Kini ia adalah pelatih dari tim Cilegon United yang akan berlaga di ISC-B.

Kembali ke kota Bandung dan menghadapi Persib sebagai pelatih memberikan sensasi tersendiri bagi Imam. Yang tidak berubah dari Persib menurutnya adalah antusiasme penonton yang luar biasa ketika menyaksikan Persib bertanding, entah dalam laga resmi atau hanya uji tanding. Imam juga sedikit menceritakan perjalanan kariernya hingga kemudian ditunjuk sebagai pelatih Cilegon United.

“Selepas pensiun saya ikut kursus kepelatihan. Alhamdulillah saat ini saya sudah punya lisensi C AFC. Sebenarnya sudah agak lama saya di Cilegon United. Saya sudah jadi bagian staf pelatih ketika tim dilatih oleh coach Banur (Bambang Nurdiansyah). Lanjut di coach Kas (Hartadi). Sejak tahun 2015 lalu saya sudah mulai jadi pelatih kepala Cilegon United”

Komentar