Sambil sedikit termenung, laju mobil yang dikendarai Falcao menuju tempat latihan Chelsea di Cobham, agak melambat. Ia tahu, setiap hari ia datang latihan kemudian berlatih dengan pemain-pemain yang biasa dimainkan sebagai pemain pengganti. Berbeda dengan harapannya beberapa bulan silam. Kala itu, ia yakin, bahwa inilah saat yang tepat untuk dirinya membuktikan diri.
Pengalamannya pada musim lalu bisa dibilang jauh dari apa yang ia harapkan. Ia bahkan rela memotong gajinya hingga setengah bagian dengan apa yang diterimanya di klubnya terdahulu, Manchester United. Ia yakin, bersama Jose Mourinho, kariernya yang sempat redup akan kembali bersinar.
Saat pertama datang ke Liga Primer Inggris, tentu ia bangga, meskipun saat itu ia gagal bergabung dengan klub impiannya, Real Madrid, yang kesohor itu. “Ya sudahlah, jalani saja”. Kira-kira seperti itu Falcao menyikapinya.
Falcao tahu, saat itu dirinya memang ingin pindah ke Real Madrid. Apalagi, ia kian akrab dengan atmosfer La Liga. Catatannya saat memperkuat Atletico Madrid bisa dibilang menjadi modal bagi klub-klub elit Eropa untuk meminangnya. Menolak pemain yang mencetak 52 gol dalam dua musim bersama Atleti? Falcao kira tidak ada yang mampu menolaknya. Meskipun di Monaco kariernya agak terkendala karena cedera.
Kepercayaannya kepada Jorge Mendes, sang agen yang bertugas mencari klub yang lebih pantas buat dirinya, amatlah kuat. Sekuat keyakinannya bahwa Madrid akan merekrutnya kala itu. Sampai-sampai, Falcao mencuit di akun twitternya:
“#HalaMadrid Dream come true”
Tak lama kemudian, Falcao justru menghapusnya. Ada kabar kalau cuitan tersebut dihapus setelah Mendes mengabari kalau Madrid menolaknya.
Sambil terus melangkah ke tempat latihan, masih teringat jelas dalam ingatan Falcao bagaimana perasaannya saat itu memutuskan angkat kaki dari Vicente Calderon. Ia juga ingat persis ketika berkata di depan pendukung Atletico, “Disinilah bagian terbaik di dalam karier saya,” ujarnya saat itu, sebelum berangkat menuju Monaco. Tempat dirinya akan memulai karier baru.
Kemudian Falcao tiba ke tempat latihan. Ia berjalan menuju ruangan ganti pemain. Ia duduk sejenak, sambil menyapa pemain Chelsea lainnya. Saat itu ada pula Oscar, yang turut menyapanya. Tapi entah mengapa, setiap melihat Oscar, dirinya teringat kegagalan Kolombia di Piala Dunia 2014 Brazil silam. Kala itu, Falcao tidak bisa tampil di Brazil karena cedera. Hal yang masih ia sayangkan hingga saat ini. Padahal, saat itu ia sangat ingin memberikan prestasi tinggi bagi negaranya, Kolombia.
Tak lama berselang, latihan tim segera dimulai. Falcao bergegas menuju lapangan. Bergabung dengan pemain-pemain cadangan lainnya. Di sana juga tergabung Alexandre Pato, penyerang yang baru dipinjam Chelsea dari Corinthians; Yang entah mengapa, Falcao masih tidak habis pikir mengapa klubnya harus mendatangkan Pato. Padahal ia yakin, dirinya lebih, lebih, dan lebih hebat.
Sambil memerhatikan instruksi dari Steve Holland yang memimpin sesi latihan, Falcao memerhatikan sang bos, Guus Hiddink yang memberi instruksi latihan kepada para pemain inti.
Rasanya ia ingin berada disana. Namun, tampaknya sulit. Mourinho yang menginginkannya telah pergi. Yang ada kini adalah Guus Hiddink, sosok yang sama sekali tidak menganggapnya ada. Lagipula, sulit rasanya mendepak Diego Costa dari posisi inti.
Harapannya di awal musim tidak sesuai dengan yang ia rencanakan. Dirinya hanya dua kali dimainkan penuh, yaitu ketika Chelsea digebuk Southampton 1-3 di Stamford Bridge di ajang liga serta melawan Walsall di ajang Piala Liga. Selebihnya, ia menjadi pelengkap saja. Agaknya Chelsea juga tak mau membuang uang 140 ribu pounds nya per pekan dengan sia-sia.
Ia juga tidak bisa menyalahkan keadaan sepenuhnya. Cedera kunci paha memaksanya menepi selama 18 laga. Padahal di awal musim, ia sempat tampil menjanjikan dengan mencetak gol ke gawang Crystal Palace, walaupun hanya diberi kesempatan 24 menit. Mourinho, yang ingin mengembalikan ketajamannya seperti dulu kala, sibuk berkonflik dengan anggota tim lainnya hingga ia pergi dari Stamford Bridge.
Sambil terus berlari, Falcao terngiang dengan semua keputusannya di masa lalu. Keputusan yang kini seakan menjadi efek domino, yang terus saling mengenai kartu satu dan lainnya, yang dimulai dari satu kartu yang disentuhnya kala memutuskan pergi dari Atletico Madrid.
Yang bisa ia lakukan kini adalah berlapang dada dengan semua yang telah dipilihnya. Karena, tak ada pilihan lain. Semua tak akan lagi sama, seperti dulu namanya dipuja-puja sebagai salah satu striker terbaik di dunia.
Sembari melihat John Terry yang sedang berbincang dengan direktur Chelsea, Marina Granovskaia di pinggir lapangan, ia teringat tawaran salah seorang petinggi klub MLS semalam. Ia masih memikirkan dalam waktu dekat. Ia masih ingin bermain di Eropa,namun apa daya, kiranya tak ada klub yang mau membayar mahal dengan catatan yang biasa-biasa saja dari Falcao. Kalaupun ia harus bermain di MLS, ia juga harus berlapang dada. Semua telah berbeda bagi Falcao.
Foto: metro
[trs]
ed: fva
Komentar