Joni menengok jam di telepon genggamnya sembari memerhatikan sekitar. Ia tahu pertandingan sudah memasuki menit akhir yang berarti sudah waktunya untuk beraksi. Sebuah flare (suar) pun dikeluarkan dari lipatan celana di perut, memang sengaja disembunyikan agar bisa melewati pemeriksaan pintu stadion.
Awalnya ia masih ragu-ragu untuk menyalakannya, meski tinggal menarik pelatuk, sesuai dengan petunjuk yang sudah dibacanya berulang-ulang sejak semalam. Joni agak ragu karena beberapa petugas keamanan sedari tadi terus mengawasi tribun nyaris tak berkedip, maklum saja, ini pengalaman pertamanya.
Setelah diyakinkan oleh temannya, ia baru berani menarik pelatuk flare. Asap tipis keluar dan tak sampai 3 detik setelahnya api merah menyala keluar dari flare di genggamannya. Segera ia berpose untuk difoto, flare di tangan kanannya diangkat menunjukkan sebuah simbol semangat.
Hanya ada 4 foto yang dihasilkan dari proses di atas karena nyala api di tangannya tak sampai 1 menit. Joni kemudian memilih yang terbaik dan segera mengunggahnya ke media sosial. Tagar #pyro juga disertakan dalam foto di Instagram miliknya, agar fotonya bisa dilihat seluruh dunia bersama lebih dari 300 ribu foto lainnya dengan tagar serupa.
Sudah hampir seminggu sejak hari pertandingan, Joni masih tampak bangga memandangi fotonya tersebut sambil berharap mendapat banyak komen atau tanda suka. Namun di tengah aksi selancarnya di dunia maya, ia dikejutkan saat membaca berita bahwa kesebelasannya terkena denda 10 juta rupiah karena flare.
**
Kisah di atas bukanlah kejadian sebenarnya, hanya ilustrasi yang saya karang setelah berbincang bersama seorang kawan. Sebuah gambaran tentang fenomena flare di stadion Indonesia saat ini. Kawan saya yang tak mau disebutkan namanya tersebut adalah seorang suporter salah satu kesebelasan di Jawa Timur yang pernah menyambi sebagai penjual flare.
Flare di Indonesia sendiri mulai marak 2-3 tahun terakhir. Angka penjualannya tak pernah turun meski para penjualnya semakin banyak. Artinya, permintaannya terus menerus naik hingga menjadi tren tersendiri.
Flare jelas tidak diperuntukkan untuk sebuah pertandingan sepakbola. Fungsi utamanya adalah alat untuk memberi sinyal bahaya atau pertolongan, khususnya di alam bebas. Nyalanya yang terang dan bahkan tidak mati di saat cuaca ekstrem menjadi alasannya.
Oleh karena itu penggunaannya tidak bisa dilakukan sembarangan. Walau kenyataannya, saat ini flare masih dijual dengan bebas di toko online maupun kelompok suporter. Harganya untuk produk impor dijual pada kisaran 50 ribu hingga 150 ribu, tergantung merk dan durasi menyalanya.
Banyak literasi yang mengatakan kemunculan flare di sepakbola berbarengan dengan aksi hooliganism di Eropa. Hooliganisme sendiri identik dengan aksi suporter yang cenderung merusak dan lekat dengan vandalisme. Mereka menyalakan flare yang memiliki cahaya terang ini sebagai bentuk eksistensi diri dan protes.
Halaman olahraga Yunani, Onsports, bahkan menyebut pada sebuah insiden suporter pada 26 Oktober 1986 antara AEL FC dan PAOK FC, seorang penonton dilaporkan terbunuh akibat flare. Kejadian tersebut bukanlah yang terakhir karena kemudian penggunaan flare beberapa kali memakan korban.
Salah satunya pada Februari 2013 di Bolivia. Seorang suporter San Jose bernama Kevin Beltran yang masih berusia 13 tahun meninggal karena lemparan flare. Menurut dokter yang menangani dikutip dari halaman ESPN, sang anak terluka serius di bagian organ kepala karena api yang masuk melalui matanya.
Melihat rentang sejarah penggunaan flare tersebut menjadi sulit untuk mengharapkan flare dapat hilang seketika dari sepakbola. Hal inilah yang perlu dipahami oleh pihak panitia lokal maupun penyelenggara kompetisi.
Memberi sanksi yang berat tak berarti membuat nyala flare hilang seketika dari tribun penonton. Karena menurut sejarahnya, kelompok suporter punya potensi untuk tak taat terhadap aturan. Bahkan ada slogan yang berbunyi ACAB (All Cop[per]s Are B*stards) yang artinya anti terhadap polisi.
Bukan tidak mungkin pemberian sanksi yang semakin berat justru menimbulkan aksi perlawanan yang lebih. Menjadi dilema memang karena pembiaran terhadap hal seperti ini juga tak mungkin dilakukan. Langkah terbaik bisa dengan melakukan komunikasi yang baik dan memperlakukan suporter menjadi bagian dari kesebelasan itu sendiri.
Kenyataan lain yang tak bisa dihindari adalah adu berani antar suporter, apalagi yang punya latar belakang rivalitas. Siapa yang berani bakar flare ketika sebenarnya hal ini dilarang menjadi kebanggaan tersendiri. Sesuatu yang masuk akal di situasi jika suporter dikawal polisi saja bisa menjadi bahan ejekan.
Arema Cronus yang baru-baru ini mendapat sanksi berupa denda 10 juta rupiah akibat flare langsung bereaksi cepat. Manajemen tim Singo Edan melakukan sebuah kampanye pelarangan flare dengan mengunggah surat sanksi resmi dari PT GTS (pengelola kompetisi ISC). Mereka juga terus melakukan himbauan secara aktif untuk tidak menyalakan flare.
https://twitter.com/AremafcOfficial/status/729739444668899330
Namun di samping hal di atas, sekali lagi, penting bagi panitia lokal atau para kesebelasan untuk setidaknya memahami keinginan suporter. Penting untuk mengetahui dan memahami apa alasan di balik mereka menyalakan flare, membawa laser, tetap membawa bendera besar, dan sejenisnya.
Tanggung jawab tingkah laku penonton memang menjadi tanggung jawab masing-masing kesebelasan yang tertuang dalam aturan pasal 60 dan pasal 62 kode disiplin ISC. Untuk itu hubungan antara kesebelasan dan suporternya harus terjalin dengan baik.
Karena sesuai logika, tidak akan suporter yang rela kesebelasan kesayangannya terkena sanksi. Jika ada itu berarti ada yang salah dengan pola komunikasinya. Ada hal-hal dari suporter yang tidak tersampaikan atau terdengar oleh manajemen tim.
Seandainya para kesebelasan paham niat atau keinginan Joni di atas atau Doni, Roni, Toni,dan lainnya; tentu kasus-kasus seperti ini akan mudah untuk diselesaikan.
***
Sulit untuk menerima argumen bahwa flare tidak mengganggu pertandingan. Flare pada kenyataannya, bukan bagian dari `produk` sepakbola, atau olahraga secara umumnya. Asap yang mengepul di dalam stadion bisa membuat gangguan pernafasan dan pandangan penonton maupun pemain, entah itu saat pertandingan berlangsung ataupun sesudah pertandingan usai. Apalagi yang dinyalakan di dalam café atau gedung tertutup ketika ada acara nonton bareng (nonbar).
Sudah lama penggunaan flare dilarang di sepakbola, walaupun kenyataannya masih ada saja yang lolos ke stadion. Turki yang kita kenal punya suporter garis keras dan atraksi melalui flare, sudah melarang sejak tahun 2012. Apa yang dilakukan para suporter Turki setelahnya? Seketika itu juga mereka membawa spanduk raksasa, bergambar simbol meme “Problem?” sembari menyalakan . . tentu saja flare.
Komentar