RB Leipzig bertanding dengan Karlsruher SC di Red Bull Arena dalam pertandingan lanjutan Bundesliga 2 pada 8 Mei 2016 malam. Mungkin bagi para pendukung klub-klub Bundesliga lain, pertandingan ini bukanlah pertandingan penting. Namun, bagi para pendukung RB Leipzig, hal ini ibarat proses peruntuhan Tembok Berlin jilid kedua.
Dengan memenangkan pertandingan ini, maka mereka akan resmi mengalami satu hal yang dapat menjadi batu loncatan bagi klub mereka; promosi ke Bundesliga untuk pertama kalinya. Bagi mereka, rasanya mungkin ini seperti meloncati Tembok Berlin untuk kabur dari Jerman Timur yang pengap ke Jerman Barat yang "katanya" lebih bebas.
Suasana di Red Bull Arena pun menjadi sedikit lebih tegang. Apalagi sepanjang babak pertama RB Leipzig gagal mencetak gol. Namun, pada babak kedua suasana berubah menjadi lebih cair setelah pemain Leipzig, Emil Forsberg mencetak gol. Sukacita mulai menyeruak di Red Bull Arena setelah Martin Halstenberg mencetak gol kedua bagi Leipzig.
Pertandingan pun selesai. RB Leipzig menang 2-0 atas Karlsruher SC. Hasil ini membuat klub yang dibangun pada 19 Mei 2009 ini lolos ke Bundesliga untuk pertama kalinya. Para suporter, manajemen, dan pemain merayakan ini semua dengan penuh kebahagiaan, sama bahagianya dengan para penduduk Jerman Timur saat Tembok Berlin dirobohkan pada November 1989 yang berujung pada reunifikasi Jerman pada Oktober 1990.
Bangkitnya RB Leipzig, Bangkitnya Sepakbola Jerman Timur
Jika membicarakan tentang sejarah sepakbola Jerman, maka nama kota Leipzig tidak akan pernah bisa terpisahkan. Segala hal yang pertama kali tentang sepakbola Jerman berawal di sini. DFB (Deutsche Fussball Bund), federasi sepakbola Jerman, dibentuk pada 28 Januari 1990 di Leipzig.
Setelah itu, sejarah kembali mencatat VfB Leipzig, klub sepakbola pertama di kota Leipzig, sebagai klub pertama pula yang meraih gelar juara di Jerman, usai mengalahkan FC Praha (Ceko saat itu merupakan bagian dari Jerman) dengan skor 7-2 pada pertandingan yang dilangsungkan di Altona pada 31 Mei 1903.
Namun, entah kenapa, utamanya selepas runtuhnya Tembok Berlin dan bersatunya Jerman, sekaligus unifikasi Liga Jerman Barat dan Liga Jerman Timur, sepakbola Jerman Timur seakan sulit untuk bersaing dengan sepakbola Jerman Barat yang sudah terlebih dahulu dikenal dunia karena timnas nya beberapa kali berhasil masuk ke ajang Piala Dunia rentang 60an sampai 90an.
Beberapa klub dari Jerman Timur, yang kebanyakan berlandaskan sosialisme pun dipaksa untuk menjadi klub-klub kapitalisme seperti halnya Jerman Barat. Hal ini menjadikan para Ossis, ucapan slang bagi para orang-orang Jerman Timur, sulit bersaing dengan para Wessis, ucapan slang orang-orang Jerman Barat. Masalah prestasi? Tentu saja kalah jauh.
Bayern Muenchen, sebagai perwakilan klub besar dari wilayah Wessis sudah banyak mengoleksi gelar Bundesliga, belum lagi klub-klub Wessis lainnya macam Schalke 04, Borussia Dortmund, Bayer Leverkusen, maupun VfL Wolfsburg yang sudah beberapa kali hilir mudik Liga Champions Eropa.
Bandingkan dengan klub-klub asal Ossis. Klub Ossis yang terakhir kali berkompetisi di Bundesliga adalah Energie Cottbus yang terdegradasi pada musim 2009. Sisanya? Semua klub Ossis tersebar di Bundesliga 2 dan 3, belum lagi yang ada di Regionalliga. Sulit bagi mereka untuk menembus dominasi dari klub-klub Jerman Barat.
Energie Cottbus, tim terakhir asal Jerman Timur yang berkompetisi di Bundesliga (foto: rbb-online.de)
Kapitalisme yang Menolong RB Leipzig
Akhirnya, pada 2009 angin mulai berhembus ke wilayah Jerman Timur. Setelah kapitalisme menolong klub-klub Jerman Barat untuk bersaing, seperti yang terjadi di tubuh VfL Wolfsburg yang ditolong oleh Volkswagen maupun Bayer Leverkusen yang ditolong oleh Bayer, salah satu perusahaan kenamaan asal Austria, Red Bull juga melihat ada sebuah potensi di Leipzig.
Maka, perusahaan Red Bull pun mengakuisisi klub yang berkompetisi di divisi lima Liga Jerman, SSV Markranstaedt, untuk kemudian diubah dan diganti namanya menjadi RB Leipzig (RasenBallsport Leipzig). Dengan menggunakan Zentralstadion yang pernah menjadi stadion yang dipergunakan untuk Piala Dunia 2006, yang kemudian namanya diubah menjadi Red Bull Arena (sama seperti nama stadion Red Bull Salzburg ataupun New York Red Bull) mereka mulai berkompetisi di Jerman.
Berkat kapitalisme yang menolong mereka, dalam hal ini Red Bull yang memberikan sokongan dana kepada klub RB Leipzig, klub ini pun berbenah dengan mengontrak pelatih yang sudah berpengalaman di Bundesliga, Ralf Rangnick, mengontrak para pemain muda yang pernah membela Jerman U-21, dan juga membangun fasilitas latihan yang memadai.
Hasilnya, hanya dalam waktu tujuh tahun setelah dibentuk, klub ini mampu mencapai Bundesliga. Sebuah pencapaian yang cukup mengagumkan bagi klub muda asal Leipzig ini.
Kebangkitan RB Leipzig ini, yang notabene adalah klub dari Jerman Timur, tentunya membuat banyak suporter klub lain, yang merasa memiliki sejarah lebih panjang di Bundesliga, mengutuki klub ini sebagai klub "plastik" ataupun "klub orang kaya baru". Secara tersirat, mereka merasa takut tersaingi, seperti halnya Chelsea dan Man. City yang merajalela di Inggris akibat bantuan dana melimpah.
Mereka juga dituduh melanggar aturan "50+1", yang sebenarnya aturan ini pun sudah secara tidak langsung dilanggar oleh Wolfsburg dan Leverkusen yang menjadikan pemilik-pemilik klub yang bersangkutan memiliki suara terbesar di klub. Namun, beberapa orang membela RB karena menilai bahwa mereka hanya "memodifikasi" aturan ini dan tidak melanggar prinsi "50+1".
"RB sama sekali tidak melanggar aturan "50+1". Mereka hanya memodifikasi aturan ini secara lebih cerdas. Tuduhan ini hanya cermin dari ketakutan orang-orang Jerman Barat atas kebangkitan RB Leipzig," ujar blogger sepakbola Jerman, Mathias Kiessling.
Terlepas dari apapun langkah yang dilakukan oleh RB Leipzig, pada akhirnya mereka mampu naik level ke Bundesliga. Mengibarkan panji Jerman Timur di Bundesliga yang terakhir kali dilakukan oleh Energie Cottbus.
Herzlich Willkommen in der Bundesliga, RB Leipzig!
foto: betabuse.com, rbb-online.de
Komentar