Sepakbola adalah olahraga yang sakral bagi sebagian orang, karena sepakbola bukan sekedar olahraga antar kesebelasan. Lebih dari itu, sepakbola telah menciptakan mindset tentang kecintaan yang mendalam bagi para pelakunya, tidak terkecuali para suporter. Kebanggaan, loyalitas, kesedihan, hiburan, dan bahkan nasionalisme pun tergambar dalam suatu kompetisi tertentu di sepakbola.
Tidak jarang juga sepakbola menghadirkan kejenakaan dalam suatu pertandingan tertentu. Seperti halnya Mario Balotelli yang kesulitan saat menggunakan seragam sepakbola yang terekam kamera beberapa tahun yang lalu. Atau kejadian-kejadian lucu lain di lapangan sepakbola yang dengan mudah anda bisa cari di youtube dengan kata kunci tertentu. Itulah sisi jenaka yang bisa kita dapati dalam olahraga sepakbola.
Namun, apa jadinya bila pertandingan sepakbola disulap menjadi komedi satire atau black comedy. Secara umum, black comedy diartikan sebagai komedi yang dibawakan dengan hal-hal yang tabu, sehingga selain kesan jenaka yang ditampilkan, komedi ini juga akan menyinggung suatu kelompok tertentu karena terkesan tidak etis. Di kalangan seniman black comedy digunakan sebagai alat untuk menyuarakan protes, kritik dan sindiran terhadap fenomena-fenomena tertentu. Bahkan beberapa kalangan masih memperdebatkan eksistensi jenis komedi ini yang lebih terkesan liar daripada menghadirkan hiburan.
Kali ini yang akan dibahas “The Philosopher’s Football Match”, yaitu sebuah sketsa video yang dibawakan oleh Monty Python yang menggambarkan pertandingan sepakbola di Munchen Olympic stadium pada tahun 1972. Monty Python’s adalah grup seniman Inggris yang eksis pada tahun 1969–1983, mereka terkenal dengan berbagai karyanya yang ditampilkan dalam bentuk satire, humor surealis, dan black comedy.
Dalam video tersebut ditampilkan tentang pertandingan sepakbola antara Griechenland vs Deutschland (Yunani vs Jerman). Pertandingan ini adalah partai final dari kompetisi yang bernama Internationale Philosophie. Sesuai dengan nama pertandingan ini, maka pertandingan sepakbola ini dimainkan oleh para tokoh filsafat terkemuka yang mewakili dua negara tersebut.
Tim Yunani diperkuat oleh beberapa filsuf(sebutan tokoh filsafat) terkemuka, diantaranya adalah Plato sebagai penjaga gawang. Di lini belakang diisi oleh Epictetus, Aristotle,"Chopper" Sophocles, Empedocles of Acragas, Plotinus, Epicurus. Dan di posisi depan ditempati oleh Heraklitus, Democritus, Socrates (kapten), dan Archimedes.
Sedangkan Tim Jerman yang dimenejeri oleh Martin Luther , juga diperkuat oleh beberapa filsuf ternama. Diantaranya adalah Gottfried Leibniz sebagai penjaga gawang. Di lini belakang di isi oleh Immanuel Kant, Hegel (kapten), Arthur Schopenhauer, Friedrich Schelling, Franz Beckenbauer, Karl Jaspers, Karl Schlegel, Ludwig Wittgenstein. Di lini depan skuat diperkokoh oleh Friedrich Nietzsche, dan Martin Heidegger. Dan satu-satunya pemain sepakbola asli di tim ini adalah Franz Beckenbauer sang Der Kaiser.
Pertandingan antar kesebelasan tersebut di pimpin oleh Kung Fu Tse(Konfusius) sebagai wasit, yang ditampilkan dengan seorang wasit sipit berwajah cina dengan membawa jam pasir. Dan hakim garis yang membantu Konfusius adalah Thomas Aquinas dan St. Augustine, dengan asesoris lingkaran di atas kepala layaknya seorang malaikat.
Selama pertandingan tersebut para filsuf hanya mondar-mandir dan memegang dagunya masing-masing. menggambarkan sedang memikirkan sesuatu tentang bagaimana memenangkan sepakbola. Saat peluit pertanda dimulainya pertandingan dibunyikan oleh Konfusius, tidak satu pun pemain menyentuh bola. Mereka hanya terlihat mondar-mandir dan sesekali berdebat dengan rekan se-timnya. Pertandingan terus berlangsung, skor tetap bertahan 0-0, dan belum satu pemain pun yang menyentuh bola.
Di tengah pertandingan Nietzsche berdebat dengan wasit, dan wasit Konfusius memberikan kartu kuning padanya, dia dituduh Konfusius tidak free will (berkehendak bebas). Dan ini adalah ketiga kalinya Nietzsche mendapatkan kartu kuning dalam empat kali pertandingan.
Dua menit sebelum pertandingan usai, terjadi pergantian pemain pada tim Jerman. Karl Mark masuk untuk menggantikan Wittgenstein. Digambarkan dengan seorang lelaki brewok dengan seragam warna merah bertuliskan Karl Mark sedang pemanasan disamping lapangan, dengan manajer Martin Luther yang sedang berkomunikasi dengan wasit.
Di detik-detik terakhir pertandingan, Archimedes berteriak “Eureka!” lalu menggiring bola ke arah gawang tim Jerman. Dan akhirnya tim Yunani berhasil mencetak goal dengan umpan silang Archimedes yang disambut dengan sundulan tajam Socrates. Pemain Jerman pun tak ada yang berusaha untuk menghalau bola saat terjadinya goal tersebut. Wasit Konfusius pun dihujani protes oleh pemain Jerman sesaat setelah bola bersarang di gawangnya. Layaknya seorang filsuf, mereka memprotes wasit dengan teori andalannya masing-masing. Hegel mengatakan bahwa realita(peristiwa gol) hanyalah nilai tambahan dari etika-etika yang bersifat non-naturalis. Sementara itu Kant dengan teori imperatif-kategorisnya bersikukuh bahwa secara ontologis realita(peristiwa gol) itu hanya ada dalam imajinasi saja, dan Marx mengklaim bahwa realita(peristiwa gol) itu sudah offside.
Namun Konfusius menyelesaikan perdebatan itu dengan meniupkan peluit panjang, sebagai penanda berakhirnya pertandoingan. Dan tim Yunani pun bersorak gembira mengangkat piala kejuaraan tersebut, dan tim Jerman pun harus menerima kekalahan tersebut.
***
Itulah guyonan terberat yang pernah saya tonton. Saya hanya sempat tertawa ketika para pemain berhamburan seketika setelah wasit Konfusius meniup peluit dimulainya pertandingan, itu saja. Selebihnya saya hanya berfikir apa maksud dari adegan berbahasa Inggris ini. Setelah saya putar berulang-ulang video tersebut akhirnya saya coba merapikan percakapan tersebut dalam beberapa paragraf.
Sangat wajar bila itu terjadi, karena Black comedy adalah komedi satir atau komedi sinis dengan tema mengenai suatu situasi/kondisi yang mestinya dramatis, serius, dan tragis, namun ditampilkan dengan lawakan yang sedemikian rupa sehingga tetap terkesan lucu meski terkesan tidak senonoh, tidak pantas, atau tidak etis. Dan kali ini dibalut dengan bungkus sepakbola.
Sebagai pembaca, jujur saja saya merasa tidak etis bila para filsuf dijadikan bahan komedi. Karena black comedy berkaitan dengan hal yang faktual terkait ruang dan waktu, maka saya yang belia dalam sejarah sepakbola belum bisa menyimpulkan terkait apa yang ingin disuarakan Monty Python’s pada saat itu. Yang jelas, sekitar tahun 1972 tersebut memang ada beberapa peristiwa penting dalam bidang olahraga yang terjadi di Jerman.
tidak mengerti dengan jelas apa maksud dan tujuan dari adegan tersebut. Saya hanya faham dengan beberapa pemikiran tokoh yang diperankan dalam drama video tersebut. Karena black comedy terkait dengan situasi dan kondisi tertentu, jadi saya belum bisa menelaah secara utuh apa pesan yang hendak dibawakan oleh lawakan di tahun 1972 tersebut.
Namun dari sudut pandang sebagai anak muda dengan pemahaman sepakbola yang kekinian, saya punya pemahaman tersendiri tentang komedi yang di bawakan Monty Python’s tersebut.
Dari rangkaian adegan yang dibawakan, jelas terlihat mencolok adalah sosok Archimedes sebagai striker tim Yunani. Karena dari awal, hanya Archimedes lah yang pertama kali menyentuh bola dan berinisiatif untuk memasukkan bola ke gawang lawan.
Bila ditelaah dari video tersebut, Archimedes berhasil menemukan konsep bagaimana memenangkan pertandingan sepakbola. Dia menggiring bola ke arah lawan dan mencetak gol. Sebelumnya para pemain saling berkontemplasi, seakan berfikir bagaimana memenangkan pertandingan sepakbola. Hal serupa pernah dilakukan Archimedes ketika ia menemukan konsep dasar untuk menghitung tekanan dan volume. Dikisahkan Archimedes yang saat itu mandi dalam sebuah bak mandi berteriak Eureka! Eureka!, ketika ia menyadari bahwa air di bak mandi yang semula tidak penuh ternyata amber ketika ia memasuki bak tersebut.
Para punggawa dari tim Yunani adalah tokoh filsuf era Yunani kuno yang lahir di tahun-tahun sebelum masehi, dan di tim Jerman adalah mereka para filsuf modern yang hidup di abad 19. Bagaimana mungkin para filsuf modern seperti Nietzsche, Hegel, Karl Mark dikalahkan oleh para filsuf seperti Archimedes, Plato dan kawan-kawannya dengan Eureka-nya Archimedes?
Dari situ saya merasa tergelitik dengan komedi yang dibawakan oleh para lawakan tersebut. Saya merasa mereka ingin menyindir bahwa dua tim kesebelasan yang bertanding di lapangan hijau, tidak lebih dari orang-orang pandai yang tidak mengerti apa-apa. Eureka! Pengetahuan tertinggi dari mereka tidak lebih dari kenyataan bahwa yang (paling banyak)memasukkan bola ke gawang lawan adalah yang berhak menjadi juara. Itu temuan saya yang pertama.
Mengapa bukan Franz Beckenbauer dan para filsuf di tim Jerman yang mereka unggulkan? Seperti halnya konsep revolusi kelas buruh oleh Karl Mark, dan pemikiran sang Bapak Ilmu Pengetahuan Immanuel Kant. Di situ digambarkan seolah bahwa pemain sepakbola terbaik adalah mereka yang berfikiran kuno, dan hal terbaik mereka dalam permainan sepakbola seharga ide untuk memasukkan bola ke gawang lawan. Ini lah temuan yang kedua.
Ada dua kejadian penting yang terjadi di Jerman di tahun-tahun sebelum 1972. Pertama, ketegangan politik antara Jerman Timur dan Jerman Barat yang kala itu dibatasi dengan Tembok Berlin untuk membentengi arus migrasi yang dilakukan oleh Jerman Barat. Kala itu Jerman Timur yang berpaham sosialis menolak arus migrasi warga Jerman barat yang dianggap masih berbau Fasis Hitler. Yang kedua adalah peristiwa berdarah black september yang terjadi saat Olimpiade Munchen 1972. Kala itu 11 atlet Israel disandra dan di bunuh oleh orang-orang Palestina. Peristiwa black september inilah, dan yang sepertinya ada kaitannya dengan komedi yang dibawakan oleh Monty Python’s.
Orang pintar di era modern lebih fokus memikirkan hal-hal yang banyak berhubungan dengan kenegaraan, namun lupa bahwa sepakbola salah satu hiburan(kebahagiaan) massa yang terbesar di dunia. Bila dibandingkan dengan orang jaman dulu seperti Archimedes yang mempunyai temuan yang dapat langsung dirasakan langsung oleh masyarakat. Itulah satire ketiga yang digambarkan dengan protes Hegel, Kant, dan juga Karl Mark yang memprotes wasit dengan teori-teorinya ketika tim Yunani berhasil mencetak goal ke gawang Jerman.
***
Dewasa ini ketika saya mulai mengenal wajah sepakbola Jerman, bisa dikatakan Jerman kini sudah banyak berubah. Yang saya lihat Der Panzer saat ini adalah bagaikan miniatur DNA dari ras, suku dan agama, yang dikemas dalam sebuah kesebelasan sepakbola. Jerman yang saat ini, dikenal dengan gaya sepakbola yang disiplin dalam setiap lini, serangan demi serangan dibangun dengan cepat seperti sebuah sergapan yang dilakukan terhadap tim lawan.
Sami Khedira dengan perawakan khas Timur Tengah, Mesut Ozil khas dengan wajah sayup ala Turkinya, dan Jerome Boateng yang khas dengan kulit gelap dan rambut keritingnya, Toni Kroos dan Thomas Muller yang khas dengan kulit terang dan mata birunya. Beberapa pemain tersebut seakan telah membuat kita lupa tentang sejarah Jerman yang mengunggul-unggulkan ras arya-nya di era Hitler. Serta deretan sejarah pertumpahan darah yang terjadi di Jerman yang dilatarbelakangi oleh ras, agama, hingga peristiwa Tembok Berlin.
Semua hal kelam tersebut mengubah saya menjadi kagum dengan Jerman sejak laganya di Piala Dunia 2014 yang membawanya menjadi juara. Dewasa ini, sepertinya Jerman sudah memahami Eureka dalam hal sepakbola, dengan komposisi beraneka ras, agama, dan latar belakang pemain yang disulap menjadi kesebelasan berbakat di lapangan hijau. Beberapa negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Indonesia, bisa terkagum kagum dengan gaya selebrasi Mesut Ozil yang menengadahkan tangan dan ketika akan memulai pertandingan.
Kini seakan Jerman sudah memahami secara utuh para pemikiran filsuf pendahulunya, dengan tatanan sosial yang lebih baik sehingga memungkinkan segala ras, suku dan agama hidup berdampingan di Jerman. Boleh saja bila saya dinilai terlalu dini mengagumi Jerman dengan hal-hal yang telah saya tuliskan. Namun setidaknya, sebagai pecinta sepakbola, harus diakui bahwa Jerman berhasil membungkus cerita kelamnya dengan prestasi dan penampilan aneka macam jenis orang di lapangan hijau, dalam bentuk kesebelasan yang fantastis.
Seperti halnya timnas Indonesia, saya menilai Jerman sudah memahami dan menerapkan pluralitas dan heterogenitas dalam olahraga sepakbola. Jerman pun terbukti sukses sebagai penyelenggara Piala Dunia 2006 lalu, dan menjuarai Piala Dunia 2014. Dan semoga kenangan manis tersebut diukirnya lagi di Piala Eropa 2016 kali ini.
ed: arn
Sumber gambar : youtube.com - monty python`s
(gigih/@gigihgg)
Komentar