Indonesia anti stigma! Teriakan yang pas ketika membahas perjuangan kawan-kawan Rumah Cemara yang mewakili Indonesia di ajang Homeless World Cup (HWC). Perjuangan yang harus sangat dihargai kepada para pahlawan yang berpotensi mendapatkan diskriminasi di lingkungannya. Sebab merekalah yang selalu mengharumkan sepakbola Indonesia di tengah karut negeri sendiri.
Indonesia kembali menorehkan prestasi di HWC 2016. Mereka menempati peringkat tujuh dari 52 peserta. Raihan tersebut didapatkan setelah lolos dari fase grup dan berlaga di babak delapan besar. Andai jika tidak dikalahkan Meksiko, mungkin Indonesia bisa mencapai peringkat yang lebih tinggi lagi.
Kendati demikian, ada salah satu pemain Indonesia yang mencapai ketinggiannya di ajang tersebut. Pemain itu bernama Eman Sulaeman, yang terpilih menjadi kiper terbaik HWC 2016. Eman sendiri merupakan kiper Indonesia di HWC 2016 dengan fisik tidak seperti manusia normal. Eman terlahir dengan kaki kanan sebatas pergelangan dan kirinya sampai lutut.
Sebetulnya ia sudah mengikuti perkembangan ajang HWC sejak 2014, dan mencoba mendaftarkan diri untuk seleksi pada tahun lalu. Tapi usahanya pada tahun lalu belum tercapai karena terlambat mendaftar. Alhasil, baru tahun ini Eman bisa mendaftar menjadi kiper Indonesia di HWC 2016. Ketika mendaftarkan diri, ia harus bersaing dengan 12 pemain dengan tubuh normal. Tapi Eman berhasil lolos dari seleksi yang digelar sejak Maret lalu itu.
Ia pun menjadi kiper utama Indonesia dalam ajang HWC kali ini. Eman bermain sebanyak 11 kali dan diganti sebanyak dua kali oleh Wira Danu saat melawan Afrika Selatan dan India. Ia mengungkapkan bahwa lawan tersulitnya dalam HWC 2016 ketika menghadapi Meksiko dan Portugal yang harus kalah pada laga tersebut. Dua negara itu jugalah yang disebut-sebut Eman memiliki kiper yang berkualitas. Meskipun begitu, hal tersebut tak menghalangi Eman untuk terpilih menjadi kiper terbaik HWC 2016.
Tentunya sebuah kebanggaan ketika mendapatkan gelar itu. Tapi ada kenangan lain di balik penghargaan tersebut. Eman masih terkenang dengan seorang anak perempuan sekitar usia 12 tahunan berkebangsaan Skotlandia. Anak yang meminta seragam Eman dalam situasi sedang diwawancara oleh media HWC 2016. Ketika selesai wawancara, lantas Eman mencarinya, namun anak itu tak juga ditemukan.
"Ada yang masih keingetan terus. Ada anak kecil orang Skotlandia, pas hari terakhir beres kita main, dia minta tandan tangan dikasih, pas minta jersey ketunda karena saat itu juga Eman diminta interview pihak Homeless, jadi ketunda pas mau ngasih. Nyari anak itu nggak ketemu-temu," sesalnya ketika ditemui di Rumah Cemara Kota Bandung.
Eman mengakui bahwa para peserta HWC 2016, tuan rumah dan para pendukungnya sangat ramah. Mereka tidak sungkan saling berbaur. Bernyanyi dan berjoget-joget bersama adalah hal yang berkesan dalam ingatan Eman, "Bangga, seneng, bisa ketemu dengan temen-temen dari negara lain. Australia, Wales, Austria, Afrika Selatan dan lainnya, semua berbaur. Pertandingan sama tuan rumahnya juga berkesan sama pemain dan penontonnya," celotehnya.
HWC 2016 memberikan kenangan kepada Eman sewaktu pulang ke kampung halaman. Atas prestasinya beserta rekan-rekannya di HWC 2016, membawa kebanggaan tersendiri. Di lubuk hati lain, ia berharap agar atlet dan warga negara berkondisi sepertinya lebih diperhatikan pemerintah.
"Untuk pemerintah daerah, mungkin harus diperhatikan lagi atlet-atlet berpotensi. Jangan dilihat kekurangannya, penyandang cacat, difabel, maupun normal. Tapi kalo itu punya potensi besar, yang jelas harus diperhatikan. Jangan sampai diabaikan, terus mereka kecewa. Karena keberhasilan si atlet, pasti membawa nama baik daerahnya," ujar Eman.
Ia juga menyarankan agar fasilitas bagi atlet lebih diperhatikan. Banyak penglihatannya selama di Skotlandia yang bisa dijadikan bahan pembelajaran untuk fasilitas olahraga di Indonesia. Eman terkesima fasilitas olahraga di Skotlandia yang bisa menunjang potensi masyarakatnya. Salah satunya di gelanggang olahraga Emirates yang serbaguna dengan adanya fasilitas badminton, sepeda, voli, sepakbola, futsal, street soccer dengan kiondisi lapangan yang menunjang.
Sarjana dan Kariernya dari Bola Plastik
Api sepakbola pria 27 tahun ini tidak pernah padam. Setelah pulang ke kampung halaman, ia sibuk mengikuti kepelatihan sepakbola yang diadakan KNVB, federasi sepakbola Belanda, yang diadakan di FootballPlus Arena di kawasan Cihideung, Kabupaten Bandung Barat. Waktu pelatihan itu dijalani selama satu minggu penuh. Ia pun masih menunggu jika ada pelatihan sepakbola atau fusal lainnya.
"Mereka (lawan-lawan di HWC 2016) persiapannya mateng banget. Mereka ada liga street soccer. Di kita, traning cuma satu bulan. Bayangkan dalam satu bulan itu kita udah masuk delapan besar dan itu udah hebat banget lah," kata Eman.
Eman bertekad akan terus menekuni hobinya dalam sepakbola. Tidak lupa juga berbagi ilmu dan pengalamannya dengan pemain teman-teman lainnya, terutama memotivasi pesepakbola dengan fisik yang kurang memadai. Toh Eman saja bisa mendunia lewat sepakbola walau fisiknya tidak seperti manusia normal. Sementara ia berkeyakinan bahwa para atlet lain yang mengalami kondisi serupa pun bisa berprestasi.
Di sisi lain, Eman pun memiliki kehidupan lain selain sepakbola dan futsal. Ia memiliki usaha kecil-kecilan melalui skill yang dipunyanya untuk membuka jasa service elektronik di Majalengka. Ia mahir menyulap alat-alat elektronik yang rusak menjadi lebih baik. Kemampuan yang didapatkannya setelah lulus S1 dari Universitas 17 Agustus 1945, Cirebon.
Di universitas itulah ia sering bermain futsal karena ada lapangan yang terfasilitasi di sana. Ia tidak canggung bermain dengan teman-teman kampusnya yang memiliki kondisi tubuh normal. Eman sendiri sudah terbiasa bermain sepakbola dengan orang-orang berfisik normal sejak kecil. Sejak ia tertarik bermain sepakbola pada tahun 1996-an. Tepatnya ketika berusia delapan tahun kelas dua Sekolah Dasar (SD).
Eman semakin tertarik dengan sepakbola karena menyaksikan pertandingannya di televisi. Dari siaran sepakbola di televisi jugalah yang membuatnya bisa menyaksikan pesepakbola idolanya, yaitu Edwin van der Sar, Cristiano Ronaldo, Hendro Kartiko dan Bima Sakti. Ia pun mendambakan bisa mendapatkan ilmu penjaga gawang dari Hendro dan bertemu dengan Bima Sakti untuk sekadar meminta tanda tangan dan foto bareng.
Awal Eman mengenal sepakbola adalah ketika ia sering melihat kawan-kawan dan kakaknya yang sering bermain sepakbola pada sore hari di daerah rumah dan sekolahnya di SD Negeri 1 Tegal Sari, Kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka. Di sana, ada lapangan voli yang waktu itu sering dijadikan arena sepakbola. Kemudian ia mencoba meminta kepada orang tuanya untuk dibelikan bola plastik di warung dekat rumahnya, "Dari situ nyoba-nyoba. Minta ke orang tua beli bola. Main bola diajarin kakak juga. Dari situ juga ternyata asik juga tuh main bola," ungkap Eman.
"Belajar juga nggak kayak orang-orang di SSB (Sekolah Sepakbola). Jadi diajarin sama kakak bagaimana cara nendang bola," sambungnya.
Kendati dengan kondisi kaki yang tidak sempurna, ia sempat melakoni pos penyerang sebelum menjadi kiper. Fasilitas sepakbola yang dipakainya pun cuma sekedar jersey dan celananya, kemudian mulai memakai kaos kaki dan dibuatkan sepatu pada HWC 2016.
Potensi Diri yang Berhasil Melawan Diskriminasi
Perjalanan karier sepakbola Eman pun sudah diwarnai prestasi. Ia mengikuti kejuaraan futsal pertamanya di Majalengka pada 2010. Pada tahun 2010-an itu jugalah baru terfasilitasi lapangan futsal di Majalengka. Eman yang satu tim bersama kakaknya yang berbeda tiga tahun itu langsung menjuarai kompetisi futsal tersebut.
Ada sedikit cerita menarik ketika Eman mengikuti kompetisi futsal pada waktu itu. Ia yang sudah menjadi kiper, diremehkan oleh salah satu lawannya pada saat itu. Pada nyatanya Eman memenangkan pertandingan tersebut, "Dan dia juga ngomong `ternyata sulit menjebol gawang kang Eman`. Itu juga pengalaman yang berkesan untuk futsal," tutur Eman.
Tidak jarang kondisi Eman dijadikan cibiran lingkungannya dan itu sudah dialaminya sejak kecil. Tapi semakin ia dewasa, pendangan itu sudah berkurang dan pada akhirnya Eman berhasil membuatnya menjadi motivasi dan membuktikan potensinya.
Terutama motivasi itu didapatkan dari orang tua, kakak dan teman-teman sepakbolanya di Majalengka. Orang tua Eman yang bernama Suhana dan Opi Sopiah selalu mendukungnya dan tidak pernah melarang-larang untuk bermain sepakbola. Mereka memperlakukan anak bungsunya itu layaknya orang yang berfisik normal, termasuk bagaimana mereka menyekolahkan Eman sampai menjadi sarjana.
"Alhamdulillah dari kecil (orang tua) nggak pernah ngelarang atau ngebeda-bedain, mulai dari pendidikan, hobi, ya banyaklah. Alhamdulillah mendukung sekali, dari pendidikan misalnya. Kalo pendidikan kan kalo orang yang kekurangan ini biasanya dimasukin ke sekolah yang khusus, tapi alhamdulillah Eman masuknya ke sekolah yang normal dari SD sampai Kuliah," jelas Eman.
Motivasi juga didapatkan dari kakaknya yang bernama Jaja, anak ke tujuh dari delapan besaudara. Ia jugalah yang mengajarkan Eman bermain sepakbola dan mengarungi berbagai kompetisi futsal dan sepakbola bersama adiknya itu. Serta teman-temannya yang sampai bisa membuatnya bergabung dengan skuat Indonesia di HWC 2016, kemudian pulang menjadi pahlawan.
Atas keberhasilan Eman dkk di HWC 2016 yang mendunia itu, mari kita lantangkan bahwa Indonesia harus benar-benar bebas dari diskriminasi dan stigma yang acapkali mengitari candaan-candaan kita. Marilah bersama-sama meneriakkan Indonesia Anti Stigma!
Komentar