Serangan balik adalah senjata mereka yang tertekan dan tertindas. Dan karenanya, serangan balik yang mematikan akan selalu mengesankan dan menggugah karena mendemonstrasikan sebuah cara bertahan hidup yang mempesona.
Serangan balik yang paling mematikan selalu mengesankan karena kemampuannya membunuh lawan dengan kecepatan yang tak terduga. Pada contoh-contoh serangan balik yang paling mematikan, kita seperti disuguhi eksekusi melalui pisau guillotine: korban tak akan sempat megap-megap, tak bakal merasakah sekarat lebih dulu, tahu-tahu leher sudah terpenggal dari badan.
Serangan balik selalu melahirkan pengalaman orgasmik saat tim yang sebelumnya nyaris kebobolan berhasil menyelamatkan gawangnya dan lantas dengan sangat cepat memproduksi serangan balik yang membunuh. Pada momen-momen demikian, ada kontras yang menakjubkan, juga kejutan yang sungguh tak terduga.
Terlalu banyak berpikir, sebagian membuat bijak, sepertiga bagian membuat kita jadi pengecut -- Shakespeare
Bayangkanlah: seorang suporter yang nyaris bersorak karena kesebelasan kesayangannya akan mencetak gol, beberapa detik kemudian malah harus bungkam karena gawang kesebelasan kesayangannya yang malah kebobolan. Bayangkan pula sebaliknya: suporter yang harus menutup mata karena tak tega melihat gawangnya akan kebobolan, beberapa detik kemudian malah berjingkrakan sambil berteriak karena kesebelasan kesayangannya justru yang menjebol gawang lawan.
Maka jangan pernah sekali pun lalai walau kita sedang di antas angin. Jangan pernah sekali pun lengah kapan pun kita sedang berada di puncak kehidupan. Pada setiap momen di mana kita sedang menikmati keunggulan, menghayati puncak kehidupan dan permainan, yakinlah akan selalu ada lubang kecil menganga yang siap menelan kita tanpa basa-basi.
Serangan balik ibarat malaikat maut yang selalu membayangi setiap langkah mereka-mereka yang sedang berada di atas angin. Sebaliknya, serangan balik adalah senjata mematikan bagi mereka yang sedang menderita karena ditekan dan tertekan habis-habisan.
Tentu saja serangan balik bisa dilatih. Tapi bagaimana serangan balik dipraktikkan seringkali tidak dibimbing oleh sebuah rancangan di atas kertas secara matang matang. Serangan balik yang mematikan selalu dimulai dengan memanfaatkan celah yang disediakan oleh lawan. Celah itu bisa di kanan, bisa di kiri, bisa di tengah, atau bahkan sekilas seperti tidak ada celah sama sekali. Serangan balik mengagumkan dan punya daya gugah justru karena itu: keberanian yang muncul seketika untuk bangkit membalas, balik memukul, walau sepintas terlihat tidak ada celah sekali pun.
Kediktatoran 90 menit, yang mendominasi lalu-lintas kehidupan di atas lapangan dengan penguasaan bola yang mengerikan, bisa hancur-lebur dan rusak-patah oleh kejutan serangan balik yang mungkin hanya berlangsung dalam sepersekian detik. Serangan balik seperti anti-tesis dari gagasan totalitarianisme sepakbola yang diejawantahkan melalui penguasaan bola.
Tak perlu berlama-lama untuk merancang serangan balik. Karena serangan balik sebenarnya justru anti-rancangan: dia lahir sebagai anti-tesis dari rancangan rapi yang disusun untuk membunuh lawan. Dan sebagai suatu anti-rancangan, serangan balik selalu mengandaikan proses yang cepat, ringkas, tak bertele-tele, dan menihilkan gaya. Yang penting: mematikan.
Lagipula, bukankah gaya hanyalah milik para elit yang punya banyak waktu untuk menikmati dan menghayati kehidupan dan permainan? Mereka yang tertekan dan tertindas tak akan sempat memikirkan stilistika. Serangan balik bukanlah milik orang-orang dandy. Serangan balik adalah kemewahan dari mereka-yang-terbatas.
Pernah pada suatu masa, pasukan yang sangat mewah dan berkecukupan malah memilih bertahan hidup dengan serangan balik. Jenderal Mourinho saat memimpin pasukan Inter mengambil-alih Eropa, merancang serangan balik dengan begitu paternalistik: bertahan dengan garis pertahanan yang dalam, begitu mendapatkan celah bola harus diserahkan pada Kolonel Sneijder, yang akan segera memberondongkan umpan ke arah Letnan Milito atau Letnan EtoÃâo yang menunggu di garis tepi pertempuran.
Dan nyaris selalu begitu. Marwah serangan balik sebagai cara bertahan hidup yang penuh kejutan, tak terduga dan anti-rancangan, tiba-tiba direproduksi secara terus menerus, dengan cara yang hampir berulang.
Dibawakan dengan cara yang sangat paternalistik ala Mou, serangan balik mungkin tetap efisien dan mematikan. Tapi bukan karena rancangannya lebih hebat, tapi semata karena dibawakan oleh para perwira cerdas, bukan oleh para prajurit rendahan setingkat kopral dan sersan yang kemampuannya terbatas.
Tentu saja ini bukan perkara salah atau benar, karena ini memang bukan soal etik dan moralitas. Soalnya hanyalah: dengan itulah daya gugah dan pesona serangan balik menurun kastanya semata hanya jadi soal "pilihan" taktikal. Ya, pilihan. Secara sadar memilih. Dan mereka, si-kaya dan si-mewah itu, sebenarnya punya pilihan lain.
Sementara mereka-yang-terbatas dan tertindas tak bisa memilih, tak punya pilihan. Di tangan mereka, orang-orang yang punya banyak keterbatasan ini, serangan balik adalah cara bertahan hidup satu-satunya. Dan mereka harus menggunakannya dengan segala cara, dengan penuh-seluruh, dengan segala keterbatasan yang dimiliki para prajurit setingkat sersan dan kopral.
Tapi justru di situlah pesona serangan balik: bahwa selalu ada jalan bagi mereka yang enggan menyerah, bagi siapa pun yang tak sudi takluk dengan cuma-cuma.
[@zenrs]
Komentar