Sepakbola Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir benar-benar mencuri perhatian penikmat sepakbola dunia. Kesebelasan-kesebelasan di sana berani mendatangkan pemain-pemain kelas dunia dengan harga yang tak masuk akal. Gaji-gaji yang diberikan pun tentu tak bisa diterima oleh nalar.
Kesebelasan-kesebelasan Tiongkok bisa dengan mudahnya mengeluarkan uang untuk para pemain incaran mereka. Bukan satu kali saja, mereka mengeluarkan uang dalam jumlah banyak tersebut berkali-kali. Mereka seperti mempunyai pohon uang yang selalu menghasilkan uang-uang tersebut dalam jumlah yang tak terbatas. Mereka bisa memetik uang tersebut kapan pun mereka mau.
Kesebelasan-kesebelasan Tiongkok saat ini tidak pernah merasa minder saat harus bersaing dengan kesebelasan-kesebelasan top Eropa dalam mengincar seorang pemain kelas dunia. Hal ini dikarenakan mereka mempunyai uang yang tak terbatas. Bahkan bisa dikatakan uang yang dimiliki oleh kesebelasan-kesebelasan Tiongkok melebihi beberapa kesebelasan-kesebelasan top Eropa.
Tetapi dari fenomena sepakbola Tiongkok ini muncullah beberapa pertanyaan besar di benak para penikmat sepakbola seperti dari manakah uang-uang tersebut berasal? Seperti apakah kompetisi domestik milik Tiongkok?
Investasi besar-besaran dari para konglomerat Tiongkok
Sepakbola Tiongkok sejatinya tidaklah langsung bergelimangan uang seperti saat ini. Ada proses panjang yang mereka lewati hingga mampu sampai ke tahap ini. Sepakbola Tiongkok pernah berada pada titik nadir. Mereka ditinggalkan oleh masyararakat Tiongkok yang terkenal fanatik akan sepakbola.
Ditinggalkannya sepakbola di negeri sendiri oleh masyarakat Tiongkok disebabkan oleh semakin muaknya mereka terhadap segala kemunafikan di sepakbola negeri tersebut. Kemunafikan tersebut berbentuk korupsi dan pengaturan skor.
Pada awal abad ke-21 ini, sepakbola Tiongkok memang benar-benar dihujani kasus korupsi dan pengaturan skor. Semua elemen yang ada di sepakbola ikut terlibat, baik itu wasit, para pemain, pemilik klub maupun para pimpinan federasi sepakbola Tiongkok.
Sampai akhirnya pada 2009, didirikanlah sebuah gerakan untuk memberantas segala praktek korupsi dan pengaturan skor di negeri tirai bambu tersebut. Gerakan ini menganut prinsip kelicikan harus dibalas dengan kelicikan. Mereka melakukan semacam penangkapan terselubung terhadap para pelaku sepakbola yang terlibat kasus korupsi dan pengaturan skor. Mereka memaksa orang-orang yang tertangkap tersebut menyebut nama-nama lain yang juga ikut terlibat. Media pun ikut membantu gerakan ini dengan menayangkan secara langsung pengakuan dari para pesakitan tersebut.
Pemberantasan kasus korupsi dan pengaturan skor di sepakbola Tiongkok semakin terkeruk sampai ke akar-akarnya pada 2013. Presiden Tiongkok, Xi Jinping, yang merupakan seorang gila bola, memerintahkan KPK Tiongkok untuk menyelediki segala kasus korupsi dan pengaturan skor yang terjadi di sepakbola Tiongkok.
Hasil dari aksi bersih-bersih ini pada 2013 ada sekitar 33 orang pelaku sepakbola yang dihukum seumur hidup tidak boleh aktif di sepakbola oleh federasi sepakbola Tiongkok. Pada tahun sebelumnya ada sekitar 50 orang pelaku sepakbola yang dimasukkan ke dalam penjara akibat kasus korupsi dan pengaturan skor ini.
Setelah aksi bersih-bersih tersebut, mulailah sepakbola Tiongkok menunjukkan gaungnya. Semakin menguatnya ekonomi Tiongkok di dunia dan semakin seriusnya pemerintah Tiongkok dalam membenahi sepakbolanya membuat para konglomerat-konglomerat Tiongkok tidak ragu untuk menginvestasikan uang mereka ke dalam sepakbola Tiongkok.
Hal ini terbukti dengan banyaknya perusahaan-perusahaan Tiongkok yang mengakuisisi kesebelasan-kesebelasan Tiongkok, seperti Evergrande Group dan Alibaba yang mengakuisisi Guangzhou Evergrande, Suning Group mengakuisisi Jiangsu Suning, dan Greenland Holdings mengakuisisi Shanghai Greenland Shenhua.
Keberadaan para konglomerat dengan uang yang tidak terbatas tersebut berhasil membuat sepakbola Tiongkok sejajar dengan kompetisi-kompetisi top Eropa. Ini terbukti dari data transfermarkt, sejak musim 2013/2014 sampai 2016/2017, Liga Super Tiongkok sudah mengeluarkan uang hampir 1 miliar euro. Angka ini hanya kalah dari lima liga top eropa yaitu Liga Primer Inggris, Serie A, La Liga, Bundesliga dan Ligue 1.
Investasi-investasi yang dilakukan para konglomerat tersebut juga sejalan dengan target ambisius pemerintah Tiongkok yang bertujuan ingin menciptakan industri olahraga senilai 800 miliar dolar atau 1% dari PDB mereka pada tahun 2025.
Pemerintah Tiongkok sudah memasang target yang cukup besar ke depan, jadi janganlah heran ketika perputaran uang di sepakbola Tiongkok semakin menjadi-jadi di kemudian hari.
Liga Super Tiongkok
Divisi teratas dari liga profesional di sepakbola Tiongkok adalah Liga Super Tiongkok atau dikenal dengan nama CSL. Di liga inilah kesebelasan-kesebelasan seperti Shanghai Greenland Shenhua, Shanghai SIPG, Beijing Sinobo Guoan dan Guangzhou Evergrande berlaga.
Di bawah CSL yang merupakan divisi teratas terdapat dua divisi lagi yaitu Chinese Jia-A League dan Chinese Jia-B League. Selain itu juga terdapat sebuah gelaran piala domestik yang diberi nama Chinese FA Cup.
CSL ini dibentuk pada 2004 menggantikan Chinese Jia-A League (sekarang dvisi kedua) sebagai divisi teratas liga di sepakbola Tiongkok. Chinese Jia-A League sudah digelar sejak 1994. Pada awal-awal penyelenggaraannya, liga ini banyak mendapat pujian. Namun setelah itu kritikan tajam tak henti-hentinya menerpa liga tersebut akibat dari banyaknya permasalahan yang terjadi seperti kasus korupsi dan pengaturan skor. Hingga akhirnya dibentuklah CSL sebagai liga professional terbaru di sepakbola Tiongkok.
Ketika pertama kali dibentuk, CSL hanya diikuti oleh 12 kesebelasan saja. Lalu pada 2005 bertambah menjadi 14 kesebelasan dan pada 2008 bertambah menjadi 16 kesebelasan yang menjadi jumlah tetap peserta CSL hingga saat ini.
Seperti kebanyakan liga di Asia lainnya yang berlangsung pada awal tahun dan berakhir pada akhir tahun, CSL juga menganut sistem tersebut. CSL berlangsung pada Maret dan berakhir pada Oktober tiap tahunnya. Menggunakan sistem kandang-tandang persis seperti liga professional lainnya. Total satu kesebelasan memainkan 30 pertandingan dalam satu musim.
Walaupun kesebelasan-kesebelasan Tiongkok sering mengeluarkan banyak uang untuk membeli pemain kelas dunia, mereka tetap dibatasi oleh sebuah aturan. CSL menganut aturan pembatasan pemain asing. Aturan yang dianut CSL adalah satu kesebelasan hanya boleh memasukkan empat pemain asing non Asia ditambah satu pemain asing Asia ke dalam skuat. Sementara itu yang boleh dimainkan pada suatu pertandingan adalah tiga pemain asing non Asia ditambah satu pemain asing Asia.
Sejak digelar pada 2004, CSL sudah menghasilkan enam kesebelasan yang berhasil meraih gelar juara liga. Keenam kesebelasan tersebut adalah Shenzen Jianlibao, Dalian Shide, Shandong Luneng Taishan, Changchun Yatai, Beijing Sanobo Guoan dan Guangzhou Evergrande. Guangzhou Evergrande menjadi kesebelasan peraih gelar juara CSL terbanyak dengan enam gelar.
foto: rt.com
Bagian 1: Sepakbola Tiongkok: Dari Mana Datangnya Uang-Uang Klub Tiongkok?
Bagian 2: Sepakbola Tiongkok: Ingin Menguasai Sepakbola Dunia pada 2050
Komentar