Federasi sepakbola Indonesia, PSSI, resmi menunjuk Luis Milla Aspas sebagai pelatih timnas Indonesia. Banyak yang senang akan penunjukan ini karena pelatih asal Spanyol ini memiliki CV yang cukup mentereng. Ia pernah bermain di tiga kesebelasan besar Spanyol; Valencia, Barcelona dan Real Madrid. Timnas U21 Spanyol pun pernah dibawa juara Piala Eropa olehnya.
Namun bagi saya, hal yang menarik dari Luis Milla adalah karena ia seorang mantan gelandang bertahan. Ya, semasa bermain, pelatih berusia 50 tahun ini menempati pos gelandang bertahan, gelandang bertahan tiga kesebelasan besar Spanyol. Lah, apa menariknya?
Sebelum membahas Milla, mari kita tengok sepakbola Eropa saat ini. Apa kesamaan dari Carlo Ancelotti, Vicente Del Bosque, Frank Rijkaard, Antonio Conte, Pep Guardiola, Didier Deschamps, Jorge Sampaoli, dan Diego Simeone selain mereka merupakan pelatih kelas dunia? Mantan gelandang bertahan. Saat berkarier sebagai pemain, pelatih-pelatih hebat tersebut menjadi pemain yang gemar memutus serangan lawan sekaligus menjadi inisiator serangan kesebelasan yang ia bela.
Selain itu, jika kita membicarakan Zinedine Zidane, Jose Mourinho, Massimilliano Allegri, Arsene Wenger, Luis Enrique, Unai Emery dan Roger Schmidt, mereka adalah mantan gelandang semasa pemain. Jadi bisa dibilang, di Eropa saat ini para pelatih hebat merupakan mantan pemain-pemain yang berposisi sebagai gelandang.
Para pemain gelandang memang memiliki intelejensia yang tinggi. Catenaccio misalnya, taktik bertahan a la Italia tersebut ditemukan oleh Nerreo Rocco dan Helenio Hererra, pelatih yang merupakan mantan gelandang bertahan. Total Football yang ditemukan oleh Rinus Michel, memerlukan sosok Johan Cruyff. Dalam skema Totall Football, Cruyff meski bukan seorang gelandang bertahan murni, beroperasi di area pertahanan untuk mengatur serangan layaknya libero untuk menjadi otak serangan Belanda. Cruyff kemudian menjadi pelatih yang memberikan kesuksesan bagi Ajax Amsterdam dan Barcelona ketika menjadi pemain dan pelatih.
Baca juga: Tanpa Cruyff, Tim Saya Tak Ada
Peran penting seorang gelandang bertahan bahkan semakin terlihat di sepakbola modern saat ini. Peran seorang gelandang bertahan tak lagi hanya menghentikan serangan lawan. Namun gelandang bertahan saat ini harus bisa menjaga pertahanan layaknya bek, namun harus bisa juga mengalirkan bola layaknya seorang gelandang serang. Tak heran mulai banyak pemain bertipikal deep-lying midfielder sebagai implementasi pentingnya seorang gelandang bertahan berintelijensia tinggi.
Inilah yang bisa kita harapkan dari Luis Milla. Kita boleh berharap bahwa Milla juga bisa menjadi pelatih yang hebat bagi Indonesia. Dan itu cukup beralasan, karena selain rekam jejak melatihnya mentereng, ia juga merupakan pemain gelandang bertahan yang tak hanya numpang duduk di bangku cadangan ketika membela Valencia, Barcelona dan Real Madrid.
Milla merupakan pemain yang dipromosikan ke tim senior Barcelona oleh legenda sepakbola Belanda, Johan Cruyff. Lebih dari 90 pertandingan ia jalani bersama Barcelona (termasuk Barcelona B) dalam tujuh tahun dirinya berada di Barcelona.
Ia juga merupakan andalan Real Madrid sebelum tersingkir oleh Si Gondrong dari Argentina, Fernando Redondo. Tujuh tahun Milla bermain untuk kesebelasan ibu kota Spanyol tersebut. Lebih dari 150 pertandingan ia jalani bersama kesebelasan berjuluk Los Blancos tersebut.
Di Valencia pun ia menambah trofi yang juga pernah ia raih di Barcelona dan Real Madrid. Sehingga total, Milla meraih tiga trofi La Liga, tiga trofi Copa del Rey, tiga trofi Piala Super Spanyol, satu piala UEFA Intertoto dan satu trofi UEFA Cup Winners` Cup. Cukup lengkap untuk seorang yang berkarier di Eropa.
Kegagalan membela timnas Spanyol secara reguler pun dikarenakan ia kalah saing dengan rekannya sendiri di Barcelona, yakni Jose Mari Barkero dan Roberto Bonillo. Tapi tetap saja, Milla memiliki potensi untuk menjadi pelatih hebat sama seperti pelatih-pelatih hebat saat ini yang juga memiliki karier gemilang saat menjadi pemain.
Milla bisa saja menjadi jawaban atas keringnya prestasi timnas Indonesia. Kemampuannya menangani timnas usia muda Spanyol juga sejalan dengan target PSSI yang ingin menjuarai SEA Games 2017 dan Asian Games 2018 (kedua turnamen ini menggunakan pemain di bawah usia 22 tahun). Selain itu Milla juga diharapkan bisa menularkan permainan khas Spanyol yang hendak ditiru oleh Indonesia.
Baca juga: Spanyol Akan Jadi Kiblat Sepakbola Indonesia
Dan ini semakin masuk akal ketika melihat daftar pelatih asing yang pernah menangani Indonesia yang faktanya nyaris tak ada satupun yang merupakan mantan gelandang saat mereka menjadi pemain. Alfred Riedl merupakan penyerang Austria, Jacksen Thiago penyerang Brasil, Wilhelmus Rijsbergen bek Belanda, Ivan Kolev penyerang Bulgaria, Peter Withe penyerang Inggris, Henk Wullems bek Belanda, Romano Matte bek Italia, Ivan Toplak penyerang Yugoslavia, bahkan Anton Pocagnik dari Polandia berposisi sebagai bek.
Dari pelatih lokal beberapa tahun terakhir misalnya, hanya nama Rahmad Darmawan yang merupakan pelatih mantan gelandang. Indra Sjafrie, Aji Santoso dan Nil Maizar, ketiganya merupakan pelatih yang berposisi sebagai bek kala bermain. Indonesia tampaknya tidak/belum menyadari bahwa banyak pelatih yang sukses berlatar belakang mantan gelandang.
Milla sudah memberikan suatu perbedaan dengan mantan-mantan pelatih timnas Indonesia sebelumnya. Pengalamannya mungkin bisa menjadi jalan bagi Indonesia untuk mengakhiri paceklik gelar. Apalagi dengan fakta bahwa banyak mantan gelandang yang berhasil menjadi pelatih hebat, Milla punya tantangan (dan kita berharap) itu bersama timnas Indonesia.
Baca juga:
Holding Midfielder Lebih Kompleks dari Gelandang Bertahan
Mengenal Bagaimana Cara Gelandang Bertubuh Mungil Bekerja
Artikel selengkapnya bisa dibaca di kolom About the Game di Detiksport
Komentar