Marseille yang merupakan ibukota dari wilayah provinsi Aples Cote d`Azur adalah kota terbesar dengan penduduk terbanyak kedua di Prancis. Pantai Mediterania berlokasi di sana dan merupakan salah satu kota yang bangsanya makmur. Identifikasi itu tidak lepas karena Marseille menjadi sarang imigran secara massal, sehingga diberi nama "Kota Budaya Eropa" pada 2013 lalu.
Pelabuhan Mediterania memegang peranan penting karena sebagai gerbang utama bagi pendatang, pengungsi dan nelayan, membuatnya menjadi kota multikulturalisme. Namun hal itu berdampak dengan tingginya tingkat kekhawatiran tentang kejahatan atas maraknya pengangguran, peredaran narkoba, kekerasan dan pembunuhan yang menghancurkan reputasi kota.
Di sisi lain, Marseille adalah tempat yang benar-benar indah. Budaya di sana diliberalisasi dan berkombinasi sehingga menciptakan iklim yang ramah di kalangan sosial. Itulah yang membuat kota tersebut mudah untuk memahami Marseille menjadi tujuan populer bagi banyak orang.
Sepakbola di sana dianalogikan sebagai mercusuar yang nyata untuk kesenangan dan landasan masyarakat Marseille. Multikulturalisme di dalam kota ini menganggap sepakbola adalah agama umum karena menawarkan persatuan walau hanya dalam 90 menit. Sepakbola bisa dibilang menjadi salah satu yang mampu mencegah kota ini jatuh krisis. Itulah alasan mendasar mengapa sepakbola adalah segala-galanya bagi rakyat Marseille.
Tidak mengherankan juga bahwa kota ini memiliki Olympique Marseille sebagai salah satu kesebelasan paling sukses dan membanggakan di Prancis. Sejak 1899, Marseille berada di garis terdepan sepakbola Prancis dengan memenangkan sembilan Ligue 1 dan 10 Piala Prancis. Bahkan pada 1993, Marseille menjadi kesebelasan Prancis yang menjuarai Liga Champions untuk pertama kalinya.
Setidaknya prestasi di lapangan itu masih menjadi modal kebanggaan Marseille meskipun baru-baru ini keberhasilan digapai oleh kesebelasan lain macam AS Monaco, Olympique Lyonnais dan Paris Saint-Germain (PSG). Namun jika berbicara tentang fanatisme masyarakat Prancis terhadap sepakbola, Marseille masih tetap juaranya.
Megahnya Stadion Velodrome pun menjadi daya tarik tersendiri. Stadion berkapasitas 67 ribu penonton itu memberikan dukungan yang megah. Arsitekturnya memiliki kemampuan untuk memperkuat suara dan tidak pernah membatasi efek visual untuk menciptakan imajinasi dari tribun. Suar (red flare), spanduk, kembang api dan koreografi di Velodrome menambah semua wadah emosi di sana.
Sepakbola Prancis sering tidak diketahui atmosfernya, namun suara yang dibuat Ultras Marseille bisa memekakan telinga dari kedua ujung lapangan. Sementara nyanyian konstan mereka di kedua curva (tribun di belakang gawang) Velodrome memastikan seluruh suasana semakin bergemuruh.
Para pendukungnya mengibaratkan Velodrome sebagai kuil tempat menyembah. Maka dari itu Velodrome menjadi rumah bagi Ultras Marseille. Ultras Marseille pun begitu dihormati di Eropa. Selama tiga dekade, die hard fanatik Marseille telah diakui sebagai pendukung paling bersemangat di Prancis. Ultras Marseille didefinisikan sebagai persatuan dan solidaritas. Tangannya terbuka untuk siapapun yang mencintai kesebelasan berjuluk Le Phoceens tersebut.
Tapi di balik itu semua, ketenaran Ultras Marseille sering dipelopori kekerasan. Keganasan dan keliaran mereka pun telah mendunia. Selama bertahun-tahun, Ultras Marseille telah terlibat dalam berbagai bentrokan di dalam maupun luar negeri. Cerita-cerita tentang mereka membuat mereka menjadi suporter yang paling ditakuti di Prancis.
Jejak Kerusuhan Ultras Marseille dan Perseteruannya dengan Ultras PSG
Ultras Marseille melakukan perjalanan ke Naples dalam pertandingan Liga Champions 2013/2014. Tapi berita tentang bentrokannya dengan polisi yang memakan korban luka justru menjadi insiden yang lebih mendominasi berita ketimbang pertandingannya. Begitu pun ketika memukul mundur Ultras Athletic Bilbao sebelum pertandingan Liga Eropa 2015/2016. Kala itu terjadi peperangan di jalanan dan di sekitaran stadion San Mames.
Jelang Piala Eropa 2016 di Prancis, Ultras Marseille juga membuat sensasi dengan membuat spanduk ucapan selamat datang kepada para pendukung Inggris. Tidak hanya melalui spanduk, tulisan itu juga gencar disebarkan di media sosial. "Selamat datang fans Inggris," tulisnya. Tapi ucapan penyambutan itu bukanlah sebuah ramah tamah bagi para suporter Inggris di Marseille. Bukan berarti mereka akan menyambut dengan ramah dan membiarkan para pendukung Inggris menikmati indahnya Pantai Mediterania untuk sekadar berenang di sana. Justru para Ultras Marseille menginginkan mereka berenang dan tenggelam dalam perkelahian dan tumpah darah.
Maklum, Ultras Marseille membenci aksi hooliganisme pendukung Inggris yang acapkali membuat keonaran di negara lain dan adanya bumbu-bumbu sayap kanan atau faham neo-nazi, yang salah satunya sering dilakukan Headhunters, pendukung garis keras Chelsea.
Kemudian, hari pertama para pendukung Inggris di Marseille pun sudah mendapatkan gangguan dari ultras setempat. Esok harinya, para pendukung Inggris yang sedang duduk menikmati bir dan keindahan kota justru mendapatkan serangan dari Ultras Marseille pun pecah di Queen Victoria Pub.
"Kami sedang duduk di lapangan dengan lantai bebatuan yang bagus dan beberapa makanan. Itu adalah suasana yang benar-benar tenang, benar-benar tidak ada nyanyian (chant Inggris) dan itu semua sangat santai. Lalu semua orang tiba-tiba berlari ke alun-alun, diikuti polisi dengan anjing beberapa menit kemudian. Itu berjalan cepat dan kami memiliki waktu yang tepat. Tapi sekitar 20 menit kemudian, sekelompok orang berjalan melewati dan melemparkan botol ke fans Inggris dan kekacauan pecah. Mereka tampak seperti Ultras Marseille. Mereka tidak suka fans Inggris berada di wilayah mereka," ujar Billy Grant, salah satu pendukung Inggris yang merekam bentrokan memakai kamera video, seperti yang dikutip dari Mirror.
Terkait kebencian mereka kepada para suporter sayap kanan, tidak lepas dari faham sayap kiri yang dianut Ultras Marseille. Ideologi itulah yang mendasari persahabatan dengan Ultras AEK Athena dan Livorno. Faham itu dianut atas latar belakang multikulturalisme di Marseille.
Maka tidak heran terjadi kesenjangan politik dan persaingan yang berlangsung dengan Ultras PSG bernama Kop of Boulogne. Ada episode berskala panjang atas konfrontasi di antara mereka. Ada persaingan luar biasa antara dua klub di kota terbesar Prancis itu. Persaingan Marseille dan Paris tidak terlahir dari sepakbola atau geografi antara wilayah selatan dan utara Prancis saja, tapi ada peperangan antar kelas di antara mereka. Para pemodal adalah gaya Paris, sementara Marseille mewakili kelas pekerja. Jelas itu sangat kontras dan semakin menambah bumbu persaingan antara kedua kubu tersebut.
Pertempuran mereka tampaknya tidak akan pernah berakhir. Pada faktanya pun bahwa masing-masing pendukungnya dilarang datang dalam pertandingan antara mereka yang bernama Le Classique. Sebab selalu ada interaksi yang bermasalah antara pendukungnya. Pertandingan di semifinal Coupe de France 1995 adalah aib bagi pertemuan keduanya. Bentrokan antara Ultras Marseille dan PSG menyebabkan sembilan polisi dirawat di rumah sakit. Sebanyak 146 perusuh ditangkap dan ratusan lainnya mengalami luka serius. Bentrokan kekerasan massal dan terjadi di jalanan. Paling parah, sampai ada salah satu Ultras PSG kehilangan nyawa atas sebuah konflik yang terjadi. Konon, itulah yang membuat adanya keputusan untuk melarang kedatangan Ultras Marseille atau PSG ke salah satu kandang mereka.
Ultras Marseille juga tidak cuma galak kepada kelompok lainnya, mereka juga pernah mengamuk di Velodrome ketika dikalahkan Rennes pada Ligue 1 musim lalu. Ultras Marseille kesal karena kekalahan itu membuat Marseille terpuruk di papan tengah klasemen sementara. Kemudian rentetan buruk Marseille membuat terlempar ke atas zona degradasi Ligue 1 2015/2016. Sebagai salah satu kesebelasan papan atas, Marseille cuma terpaut empat angka dengan zona degradasi pada April 2016. Pada saat itu jugalah Ultras Marseille menunjukkan sebagai kelompok yang kritis. Mereka melakukan protes dengan menampilkan kambing yang berarti kemiskinan dalam silsilah Prancis. Mereka juga mengkritik kebijakan klub karena membiarkan Andre-Pierre Gignac, Andre Ayew, Dimitri Payet dan Marcelo Bielsa pergi.
Soal loyalitas pemain, Marseille memang sangat kritis. Mahthieu Valbuena yang sudah dianggap legenda pun dicap pengkhianat karena membela Olympique Lyonnais pada musim lalu. Slogan "Bangga menjadi Marseillais" sangat populer di sana. Baru-baru ini pun mereka menolak Didier Drogba ketika muncul wacana kembali ke Marseille. Spanduk protes pun diutarakan Ultras Marseille yang bertulis “Drogba, berhenti mencintai Marseille. Berhenti mengasihi diri Anda dan kembalilah ke Tiongkok”. Tapi aksi kritis Marseille itulah yang membuat Eric Cantona jatuh cinta kepada mereka. Selain ia dibesarkan di salah satu desa di kota tersebut, Ultras Marseille berperan penting ketika pemberontakan atas hirarki klub yang penuh korupsi pada 1980-an.
Peranan Penting Ultras Marseille kepada Klubnya
Di Tribun Virage Noard De Peretti, terdapat beberapa kelompok Ultras Marseille bernama Yanke Nord Marseille, Marseille Trop Pussant, Fanatics dan Dodgers. Di curva utara itulah mereka bersebelahan dengan suporter tamu. Sementara di curva selatan ditempati berbagai kelompok Ultras Marseille bernama Amis de I`OM, Commando Ultra 84 dan South Winner. Sementara Club Central de Supporteus berada di kedua tribun di selatan maupun utara karena kelompok ultras tertua di Marseille. Tapi yang jelas kombinasi dukungan kedua tribun itu menciptakan suara seperti crescendo yang melebihi dukungan suporter Prancis lainnya. Apalagi uniknya, Ultras Marseille agak berbeda dengan ultras lainnya yang sering berkonfrontasi dengan pihak klub.
Kendati tidak jarang adanya situasi panas di antara mereka, hubungan Ultras Marseille dengan klub cukup positif. Pihak klub pernah memberikan rasa terima kasih pada 2007 dengan menggunakan seragam oranye untuk merayakan 20 tahun keberadaan South Winners di tribun selatan. Hal itu tidak lepas dari buah jeruk sebagai lambang South Winners. Selain itu, pilihan warna diduga berasal dari aksi demonstrasi anti fasis yang diinisiasi Ultras Marseille ketika melawan PSG pada 1989. Begitu pun pada 2010 Marseille memakai warna merah kuning hijau yang mewakili benua Afrika. Warna itu mewakili simbolisasi Ultras Sayap kiri di Marseille bernama Marseille Trop Pussant.
Bahkan seluruh Ultras Marseille mendapatkan hak istimewa untuk mengawasi penjualan tiket Velodrome. Walau untuk hal itu terkadang merugikan pendapatan klubnya. Tapi di luar kendala itu, peraturan tersebut jarang terjadi di dalam sepakbola Eropa. Dan yang jelas, campuran budaya dan latar belakang antara penduduk Marseille yang dikombinasikan dengan karakteristik kotanya membuat mereka diposisikan secara unik. Marseille menjadi kesebelasan yang didukung pendukungnya paling spektakuler, berisik dan loyal di Eropa bagian barat.
Sumber: These is Football, The Guardian, Ultras Tifo.
Komentar