Kembalinya Suporter Garis Keras PSG Setelah Konflik Multikultural di Parc des Princes

Cerita

by Randy Aprialdi 32035

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Kembalinya Suporter Garis Keras PSG Setelah Konflik Multikultural di Parc des Princes

Paris Saint-Germain (PSG) memiliki banyak pendukung multietnik yang kebanyakan berasal dari Tiongkok dan Afrika. Wajar, popularitas klub ini merupakan salah satu yang tertinggi di Prancis. Tentu popularitas mereka sanggup menarik hati hampir dari delapan juta warga imigran dan keturunan di Paris. Tapi kaum multietnik di sana harus menghadapi masalah-masalah sosial karena rasisme yang sering terjadi di tribun Stadion Parc des Princes.

Rasisme itu dipicu oleh kelompok pendukung garis keras PSG bernama The Kop of Bolougne (KoB) yang menganut sayap kanan fasisme berwatak ultra nasionalis dan xenophobia, sehingga membuat mereka begitu anti kepada imigran. KoB merupakan suporter garis keras paling setia, namun juga terkenal ekstrim.

Nama KoB diadopsi karena murahnya transportasi dari Paris ke Liverpool pada 1970-an. Di sanalah arus informasi tentang kultur suporter Inggris mengalir mudah ke Paris. Kemudian mereka memplesetkan The Kop, julukan para pendukung Liverpool menjadi KoB. Namun pada 1980-an mereka mulai menganut paham sayap kanan fasisme yang dipengaruhi skinhead Neo-Nazi dari Inggris.

Hal itu tidak lepas dari tendensi kaum imigran yang semakin marak di Paris. Perilaku fasisme KoB pun ditularkan ke dalam pertandingan-pertandingan PSG dengan tidak pandang bulu. Pemain dari PSG sendiri yang memiliki ras berbeda pun tidak luput dari aksi rasisme mereka.

Salah satunya dilontarkan kepada Vikash Dhorasoo yang memiliki keturunan India yang disebut sebagai penjual kacang. Tidak luput juga teriakan-teriakan menyerupai monyet bagi pemain-pemain kulit hitam. Tidak hanya kepada pemain, KoB juga bersikap rasis kepada pendukung PSG berkulit hitam. Maka tidak jarang terjadi pertengkaran di tribun Parc de Princes itu sendiri.

Panitia pelaksana pertandingan PSG sendiri bukan berarti diam. Mereka sudah memasang 102 kamera CCTV di stadion untuk merekam aksi rasisme dan menindaklanjutinya. Pada 2005 silam, tiga anggota KoB ditangkap karena membentangkan bendera berbau rasis saat PSG sedang mengkampanyekan slogan anti-rasisme. KoB juga rasis kepada pemilik PSG itu sendiri yang diambil alih Qatar Sports Investments (QSI) pimpinan Nasser Al-Khelaifi sejak 2011.

KoB sering menyerukan "ini Paris!" kepada Al-Khelaifi dan koleganya untuk menegaskan bahwa PSG seharusnya dipimpin orang Prancis. Padahal siapapun manajemen PSG wajib menyatukan seluruh orang di seluruh daerah Paris. Salah satu upaya lain dari manajemen adalah memberlakukan pembelian tiket acak.

Harapannya agar interaksi suporter PSG dari berbagai latar belakang sosial bisa tumbuh dan proses akulturasi bisa terjadi. Tapi tetap saja skema itu ditolak mentah-mentah oleh KoB. Mereka masih sering mempertanyakan "ke-Prancis-an" atau "ke-Paris-an" para pendukung PSG.

Kontra Hegemoni Kelompok Anti Fasis yang Berdampak Pencekalan Bernama "Leproux Plan"

Ketika PSG menjuarai Ligue 1 2012/2013 (pertama kali sejak 19 tahun terakhir), KoB justru melakukan kekacauan saat perayaan juara di alun-alun Trocadero, Paris. Kekacauan itu menyebabkan kerusakan berbagai infrastruktur. Sebanyak 30 orang luka-luka dan 21 anggota KoB ditahan.

Alhasil, pemain hanya menampilkan piala selama lima menit saja. Rupanya kekacauan itu diakibatkan karena KoB mengungkit kematian salah satu anggotanya ketika bentrok dengan Supras. Lalu mengapa antara mereka bisa bersitegang walau sama-sama mendukung PSG?

Supras merupakan kelompok pendukung PSG yang memiliki paham berseberangan dengan KoB. Mereka muak dengan tingkah laku fasisme KoB yang semakin menjadi-jadi. Kemudian para suporter multietnik PSG mulai membangun kekuatan perlawanan kepada hegemoni KoB pada awal 1990-an dengan membentuk Supras.

Mereka mengkampanyekan anti fasisme dan anti rasialisme di tribun Parc de Princes. Salah satunya dengan mengibarkan bendera-bendera Afrika atau warna-warna kaum Rastafarian. Keberadaan Supras pun diikuti dengan terbentuknya Tigris Mystic pada 1993 yang menganut paham serupa.

Maka dari itulah sering terjadi konfrontasi antara mereka dengan KoB di Parc de Princes. KoB tidak menerima para suporter multientnik membentuk kelompok suporter yang cukup kuat mengimbangi eksistensinya. Perseteruan terbesar antara keduanya terjadi jelang pertandingan panas melawan Olympique Marseille yang merupakan rival PSG pada Februari 2010.

Salah satu anggota KoB bernama Yann Lorence terbunuh dalam bentrokan dengan Supras pada pertandingan bertajuk Le Classique tersebut. Keributan itulah yang menjadi puncak diusirnya seluruh kelompok suporter itu dari tribun Parc de Princes. Pemerintah, kepolisian, dan pihak klub memutuskan untuk mencabut seluruh tiket musiman seluruh kelompok suporter garis keras PSG.

Supras pun membubarkan diri setelah adanya pencekalan. Kendati seluruh kelompok suporter itu menghilang dari Parc de Princes, namun aktivitas mereka untuk datang ke stadion masih ada. Hanya saja tidak terlihat secara kolektif maupun terorganisir seperti waktu masih belum dicekal. Karena insiden itu masih dibahas KoB saat terjadi kekacauan di perayaan gelar Ligue 1 2012/2013, maka dari itu stadion Parc de Princes seolah adem ayem dari aksi-aksi tuan rumah dan membuat Zlatan Ibrahimovic sempat merasa dukungan dari pendukung PSG kurang.

Wajah Baru Suporter Garis Keras PSG Secara Kolektif

Sebelumnya, Parc de Princes adalah salah satu stadion yang menakutkan untuk dikunjungi di Eropa sebelum adanya pencekalan bernama "Leproux Plan" itu. Nama "Leproux Plan" diambil karena pencekalan terjadi ketika Robin Leproux masih menjabat sebagai presiden PSG.

Namun seluruh suporter garis keras bisa kembali hadir di Stadion Parc des Princes sejak Oktober 2016 setelah berdiskusi dengan pemilik klub dan polisi selama delapan bulan. Mereka diperbolehkan kembali hadir ke stadion dengan syarat bergabung dengan wadah baru suporter PSG bernama Paris Ultras Collective (CUP).

Rupanya PSG membutuhkan dukungan yang teorganisir dari para pendukungnya karena stadion selalu sepi dalam enam tahun ke belakang. Namun CUP menuntut adanya persatuan kelompok suporter yang sudah lama berseteru. Pihak klub pun terus memantau jika kembali terjadi perselisihan di antara mereka. Sebab dari pihak KoB sendiri tidak seluruhnya setuju bergabung dengan CUP. Namun CUP sudah diperbolehkan hadir di Stadion Parc de Princes sejak menghadapi Bordeaux pada 1 Oktober 2016.

Tapi kehadiran mereka masih diselimuti konflik sebab ada beberapa kesepakatan yang gagal dibuat dengan pihak klub. Salah satunya adalah karena adanya enam orang pentolan CUP yang tetap dilarang datang ke tribun karena masuk di dalam "daftar hitam" kepolisian Paris.

Selain itu, CUP keberatan dengan adanya pengurangan jatah tiket pertandingan tandang. Mereka hanya diperbolehkan membeli tiket untuk 150 orang saja. Padahal pada masa lalu, setiap kelompok suporter mendapatkan jatah pembelian sampai 500 tiket.

Alhasil mereka sempat mengancam akan melakukan boikot menonton untuk beberapa pertandingan, seperti ketika menghadapi AS Monaco pada Januari 2017 lalu. Namun CUP dipastikan hadir di Stadion Parc de Princes ketika menghadapi Barcelona pada pertandingan Liga Champions dini hari nanti, Rabu (15/2). Hubungan kelompok suporter PSG dengan Barcelona pun tidak terlalu akur. Apalagi setelah adanya dua suporter Barcelona yang ditusuk suporter PSG pada 11 Desember 2014 di Stadion Camp Nou.


Sumber: ESPN FC, Marca, The Sun, Ultras Tifo.

Komentar