Film, seperti halnya artikel di koran, foto, maupun video yang tersebar di media cetak, adalah sebuah media yang ada di masyarakat. Ia adalah penghubung, sekaligus menjadi perantara bagi realita-realita yang ada di dalam kehidupan sehari-hari.
Tomas Axelson, dalam jurnalnya yang berjudul Movies, Mind, and Meaning: Studying Audience and Favorite Films menjabarkan bahwa film dewasa ini bukan semata hiburan saja bagi masyarakat. Film, dalam posisinya sebagai media, adalah sebuah media yang, selain menghubungkan dan menjadi perantara bagi sebuah realita (s), juga menjadi pembentuk realita baru serta pemberi makna bagi realita tersebut.
Seperti halnya koran, televisi, ataupun media lainnya, posisi film sebagai media di masyarakat juga cukup kuat. Sebagai media yang bersifat dua arah, film dapat membuat masyarakat bertanya-tanya tentang sebuah realita yang ditampilkan. Seperti yang diungkapkan oleh Margaret R. Miles dalam bukunya Seeing and Believing: Religion and Values in The Movies bahwa dalam balutan hiburan, film dapat membuat masyarakat bertanya, menegosiasikan, serta melawan nilai dan budaya yang sudah dipercayai di masyarakat.
Dengan kekuatan seperti itu, film sebenarnya bisa digunakan sebagai bentuk kritik terhadap isu yang terjadi sekaligus membentuk budaya yang baru di masyarakat. Dibalut dengan unsur hiburan (karena film, sebagaimana karya narasi fiktif macam cerita pendek atau novel), ia akan membuat masyarakat berpikir dan mempertanyakan nilai dan budaya yang ada, lalu menciptakan budaya baru di tubuh masyarakat.
Anomali Film Sepakbola Indonesia
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia film Indonesia disemarakkan dengan film-film yang bertemakan sepakbola. Beberapa film seperti Garuda di Dadaku (I dan II), Cahaya dari Timur: Beta Maluku, Garuda U-19, Buaye Gile (film ini rilis pada 1974 silam), Tabula Rasa, dll. menghiasi bioskop-bioskop di Indonesia.
Film-film tersebut kebanyakan mengambil isu dan tema yang cukup dekat dengan masyarakat, seperti keinginan membela timnas Indonesia serta masalah-masalah sosial seperti toleransi dan sepakbola yang menjadi wadah untuk mempersatukan golongan-golongan yang terpecah.
Namun, meski beberapa film-film tersebut ada yang sukses meraih penghargaan karena sinematografinya yang baik ataupun karena isu yang disampaikan cukup dekat dengan masyarakat, hampir jarang film Indonesia bertemakan sepakbola yang menjadi box office (laku dalam segi penjualan).
Pada 2014 saja, film Tabula Rasa dan Cahaya dari Timur: Beta Maluku, walau meraih penghargaan dalam ajang Festival Film Indonesia 2014 dan Piala Citra 2014, tidak masuk dalam kategori box office. Rataan penonton kedua film itu masih kalah dengan film-film macam The Raid 2: Brandal, Comic 8, maupun Hijrah Cinta dalam hal banyaknya penonton yang menonton film (dilansir dari CNN Indonesia). Jumlah ini belum dihitung dengan penonton yang menonton film lewat DVD.
Hal ini tentu menjadi anomali, karena sepakbola sebagai olahraga yang paling populer di Indonesia nyata-nyatanya malah tidak bisa menjadi apa-apa ketika dijadikan kisah utama sebuah film, terkhusus film nasional yang dalam beberapa tahun terakhir kerap diisi oleh cerita-cerita seks yang bercampur mistis.
Hal ini menjadi pekerjaan berat tersendiri bagi para sineas-sineas yang ingin menjadikan sepakbola sebagai tema utama mereka. Idealisme yang ingin dijunjung akan mendapatkan perlawanan dari pendapatan yang didapat, karena masalah idealisme adalah satu hal, dan masalah perut adalah hal yang lain.
Membentuk Budaya Sepakbola Indonesia Melalui Film
Seperti yang sudah diungkapkan oleh Tomas Alexson, film adalah media yang baik untuk membentuk realita(s) di masyarakat. Bukan hanya realita, film pun ampuh untuk menciptakan sebuah budaya yang baru di masyarakat.
Tengok saja Captain Tsubasa. Lewat beberapa filmnya (walau Captain Tsubasa sebenarnya adalah serial TV yang diadaptasi dari sebuah manga) film ini berhasil membentuk sebuah budaya sepakbola yang baru di Jepang. Captain Tsubasa sukses membuat masyarakat yang awalnya menyukai bisbol, menjadi begitu tergila-gila akan sepakbola. Ada sebuah budaya baru yang terbentuk, dan hal itu terjadi karena campur tangan film di dalamnya.
Budaya sepakbola Indonesia yang sehat yang sekarang sedang digaungkan oleh Presiden Indonesia, Joko Widodo lewat rencana percepatan pembangunan sepakbola Indonesia, bisa didukung lewat penyajian film-film sepakbola Indonesia yang bermutu, mengangkat isu-isu yang dekat, dan disajikan dengan cara yang menarik lewat sinematografi yang menawan. Hal ini, walau akan makan waktu cukup lama, akan menciptakan budaya baru di masyarakat, yaitu masyarakat yang mencintai namun kritis terhadap sepakbola.
Dengan menyajikan film-film sepakbola Indonesia yang bermutu, maka masyarakat akan disuguhkan tayangan baru dan tidak melulu itu-itu saja. Minat masyarakat Indonesia untuk menonton film pun (baik itu di bioskop atau dari DVD) akan meningkat jika suguhan film sepakbola ini dikemas secara unik dan menarik. Setidaknya hal tersebut akan menjadi oase di tengah tema film Indonesia sekarang yang terkesan itu-itu saja (meski beberapa ada juga yang menarik).
Tantangan pun akan beralih kepada para sineas-sineas Indonesia yang biasa menjadikan sepakbola sebagai cerita utama film ataupun sineas yang ingin menjadikan sepakbola sebagai cerita utama. Dengan jarangnya film bertemakan sepakbola yang menjadi box office, maka tujuan mereka membuat film tersebut akan menjadi sedikit terbagi: apakah sekadar untuk mencari keuntungan atau ada tujuan untuk mencerdaskan masyarakat?
Menyambut Hari Film Nasional yang jatuh pada tanggal 30 Maret, harapan pun muncul. Selain harapan agar industri perfilman Indonesia bisa bangkit dan terus berjaya (tujuan lazim setiap tahun), tujuan lain pun harus mulai dicanangkan: membudayakan sepakbola yang baik di masyarakat lewat film. Karena dengan sepakbola yang baik, maka prestasi pun akan mulai datang.
foto: pixabay.com
Komentar