AC Milan dan Juventus adalah dua kesebelasan tersukses di Italia. Di Serie A, Juventus meraih 33 gelar juara dan 21 kali peringkat dua, AC Milan di bawahnya dengan 18 gelar juara dan 15 runner-up.
Apa yang diraih Milan sebenarnya tak beda jauh dengan prestasi rival sekota mereka, Internazionale (18 gelar juara, 14 runner-up). Yang membedakan, Milan merupakan kesebelasan tersukses Italia di Liga Champions dengan 7 kali mengangkat Si Kuping Besar. Inter baru tiga kali, sementara Juve baru dua kali.
Maka setiap pertemuan antara Milan dan Juventus merupakan pertemuan dua kesebelasan tersukses Italia. Walau begitu ada kontradiksi di antara keduanya, khususnya saat ini. Laga antara Milan dan Juventus di San Siro pada Sabtu (28/10) memperlihatkannya. Dari laga ini terlihat sejumlah perbedaan signifikan antara Milan dan Juventus.
***
Kontradiksi pertama terlihat dari sindiran Ultras Curva Sud Milan pada Si Nyonya Tua sebelum laga dimulai. Mereka menciptakan koreo untuk meneror dan mempermalukan Juventus. Sebuah banner besar ditunjukkan dengan gambar simbol Halloween (buah labu dengan mata dan mulut menyala) bertuliskan “Piala [Champions], Mimpi dan Mimpi Terburuk”. Mereka juga menyematkan tujuh batu nisan bertuliskan tahun-tahun kegagalan Juventus di tujuh final Liga Champions.
https://twitter.com/SerieAFFC/status/924305054047375360
Pesan dari ultras Curva Sud jelas, mereka seolah mengatakan bahwa Juve boleh saja menjadi raja di Serie A tapi Milan tetap yang lebih sukses di Liga Champions. Hal itu merupakan sebuah fakta yang tidak bisa disanggah. Milan 11 kali ke final Liga Champions, "hanya" empat kali kalah. Sementara Juventus sembilan kali tampil di final, tujuh di antaranya berakhir dengan tundukkan lesu para pemainnya.
Maka tak heran Milan disebut-sebut lebih memiliki "DNA Liga Champions" dibanding klub manapun di Italia. Bahkan bagi Juventus sekalipun, yang meski enam kali beruntun menjuarai Serie A enam musim terakhir, yang saat ini disebut-sebut salah satu kesebelasan terkuat di Eropa, dua kali mereka terjungkal di partai puncak Liga Champions dalam tempo tiga tahun karena dianggap tak memiliki "DNA Liga Champions" seperti Milan.
Tapi yang menjadi kontradiksi lain, yang justru semakin kentara saat ini, kualitas Milan terus menurun di kancah domestik. Bahkan setelah juara Serie A pada 2010/2011, Milan sempat lama tak menambah trofi di lemari prestasi mereka. Tercatat lima tahun mereka kering prestasi sebelum Piala Super Italia 2016 mereka juarai dengan mengalahkan Juventus di Doha, Qatar, lewat adu penalti.
Milan tak berada di habitatnya dalam enam tahun terakhir. Mereka yang seharusnya bertarung memperebutkan gelar juara Serie A, justru "asyik sendiri" di papan tengah. Untuk tampil di Liga Europa lewat jalur klasemen liga pun Rossoneri harus mati-matian hingga akhir musim. Dalam empat musim terakhir, mereka selalu finis di luar posisi lima. Tiga kali mereka absen di ajang Eropa.
Milan memang sempat mengalami masalah finansial. Himpitan finansial tersebut menyebabkan Milan tidak diperkuat pemain bintang dalam beberapa musim. Bahkan tampuk pimpinan bukan lagi dipegang oleh Silvio Berlusconi, presiden klub tersukses mereka. Milan kini telah diakuisisi oleh pengusaha asal Tiongkok, Li Yonghong.
Sebenarnya gelontoran dana segar dari Li Yonghong membuat Milan berbenah total pada awal musim 2017/2018 ini dengan mendatangkan 11 pemain anyar dan melepas 11 pemain utama (termasuk yang dipinjamkan dengan opsi permanen). Tapi ternyata biaya 200 juta euro yang dihabiskan untuk mendatangkan para pemain baru tak bisa langsung menyejajarkan Milan dengan para kandidat juara Serie A, khususnya Juventus.
Namun jika melihat rekrutan-rekrutan Milan musim ini, kontradiksi dengan Juventus semakin terlihat, terlebih setelah mereka takluk dari skuat asuhan Massimilliano Allegri tersebut. Milan saat ini masih tak memiliki pemain bintang yang bisa mengembalikan mereka ke status klub papan atas Serie A. Hal ini dikatakan juga oleh mantan kapten sekaligus legenda AC Milan, Massimmo Ambrosini.
"Skuat ini bermanfaat (untuk masa depan) dan mereka juga punya gaya bermain yang bagus. Tapi jika berbicara kualitas, mereka punya sedikit [pemain berkualitas] dibanding klub besar lainnya," ujar Ambrosini seperti yang dikutip Calcio Mercato. "Mereka perlu punya pemain yang lebih besar, yang bisa bereaksi ketika kalah. Kecuali Suso, tidak banyak pemain yang bertanggung jawab setelah rentetan kekalahan baru-baru ini."
Saat menghadapi Juventus, Milan sebenarnya tak tampil buruk seperti yang direfleksikan dari hasil akhir. Jika pelatih mereka, Vincenzo Montella, mengatakan bahwa pertandingan berjalan seimbang, memang begitu adanya. Karena Milan cukup menguasai jalannya pertandingan, khususnya di babak pertama dan Juventus sempat kesulitan menciptakan peluang. Bahkan Milan total melepaskan 12 tembakan pada laga tersebut, Juve hanya sembilan kali saja.
Yang membedakan, Juve punya penyerang sekelas Gonzalo Higuain. Sementara Milan "hanya" sekelas Nikola Kalinic. Keduanya sama-sama berusia 29 tahun, tapi Higuain jauh lebih berkualitas dan berpengalaman dibanding Kalinic, baik di kompetisi Eropa maupun di Serie A. Bahkan Kalinic masih di bawah bayang-bayang Mario Mandzukic, andalan Juventus lainnya dalam perebutan tempat di timnas Kroasia.
Perbedaan kualitas Higuain dan Kalinic juga terlihat ketika keduanya memanfaatkan peluang di laga Milan-Juventus malam tadi. Higuain hanya melepaskan dua tembakan, tapi keduanya menjadi gol. Sementara Kalinic tiga kali tembakan tak satu pun yang jadi gol. Belum lagi terdapat tiga peluang emas Milan yang gagal dimanfaatkan Kalinic, satu tendangannya membentur tiang padahal sudah di mulut gawang dua lainnya ia terlambat menyambut umpan silang.
https://twitter.com/ACMilan_Brasil/status/924318104821354496
Musim ini Kalinic hanya mencatatkan 1,8 tembakan per laga, kalah dari Higuain yang mencatatkan 2,5 tembakan per laga. Kalinic baru mencetak tiga gol, Higuain meski "baru" mencetak enam gol, ia juga menyumbang tiga asis. Perlu diketahui juga, sebelumnya penyerang asal Argentina tersebut tengah disoroti ketajamannya.
Montella sendiri mengakui hal ini. Mantan pelatih Fiorentina tersebut mengatakan bahwa yang membedakan Milan dan Juve pada laga tersebut adalah kualitas penyerang kedua kesebelasan. Bahkan Montella lebih menyoroti kualitas Higuain ketimbang lini pertahanan Milan yang kecolongan dua gol.
"Ini pertandingan yang sangat seimbang, perbedaannya ada di dua gol Higuain. Menurut saya tim ini tampil baik. Kami hanya sedikit kelelahan. Kami mengimbangi Juve dan punya tembakan dua kali lebih banyak. Bahkan kami seharusnya bisa lebih dulu mengakhiri kebuntuan, hanya saja penyerang mereka melakukan lebih baik," kata Montella pada Mediaset Premium.
"Lini pertahanan? Di dua gol Juve, pertahanan berada di posisi seharusnya, tapi Higuain mencetak dua gol fenomenal. Kita juga harus melihat talenta lawan. Di lini serang, kami beberapa kali hampir mencetak gol dan punya peluang seperti Higuain. Di luar sana ada beberapa pemain seperti Higuain, tapi tak semua kesebelasan punya pemain seperti dia. Higuain seorang juara, celah setengah meter saja cukup untuknya (mencetak gol)," sambungnya.
Kekalahan dari Juventus ini semakin membuat Milan tertahan di papan tengah. Yang perlu disoroti, kekalahan dari Juventus ini menunjukkan bahwa mereka memang masih belum lebih baik dibanding kesebelasan papan atas Serie A lainnya. Karena sebelum dikalahkan Juve, Milan juga kalah dari Lazio, Inter, Roma dan Sampdoria yang musim ini tampil sebagai kejutan.
Alhasil, ketika Juve menempati peringkat tiga dan berada di jalur perebutan gelar juara, Milan terbenam di posisi sembilan. Juve unggul 12 poin dari Milan. Itu menjadi kontradiksi terjelas di antara dua kesebelasan tersukses Italia ini. Milan tentu harus menyadari hal tersebut sesegara mungkin agar bisa kembali ke habitatnya sebagai kesebelasan kuat di Italia.
Komentar