Atalanta secara mengejutkan menyisihkan Napoli dari Coppa Italia 2017/18. Pada babak perempat final yang digelar di kandang Napoli, San Paolo, Rabu (3/1), Atalanta menang dengan skor 2-1. Kemenangan tersebut mengantarkan mereka ke semifinal, menunggu pemenang dari pertandingan antara Juventus dan Torino.
Melangkah ke semifinal menjadi catatan tersendiri bagi Atalanta. Terakhir kali mereka ke empat besar Piala Italia pada 1996, lebih dari sepuluh tahun lalu. Ketika itu mereka mampu melangkah sampai babak final, sebelum akhirnya dikalahkan Fiorentina dengan skor 0-2 di partai puncak.
Tapi bagi Atalanta, pencapaian ini adalah hadiah kesekian yang diberikan oleh sang pelatih, Gian Piero Gasperini. Sebelumnya, Gasperini mengantarkan Atalanta kembali ke Europa League setelah 26 tahun absen. Pada Europa League musim ini pun Atalanta berhasil melangkah ke babak 32 besar. Sekali lagi, Gasperini menjawab kepercayaan Atalanta, yang di awal kebersamaannya sempat menorehkan rentetan hasil negatif.
***
Sebagai pelatih yang tidak memiliki nama besar, dapat dimaklumi jika ternyata Gian Piero Gasperini menerima kenyataan dipecat dari kesebelasan yang ditukanginya. Begitupun ketika Internazionale Milan memecatnya, padahal ia baru memimpin di lima laga saja. Tapi jika melihat prestasi Gasperini saat ini, bersama klubnya Atalanta, Inter boleh jadi terlalu terburu-buru memecat Gasperini saat itu.
Saat menjadi kandidat pelatih Inter pada 2011, Gasperini diundang manajemen Inter untuk mengetahui visi dan misi kepelatihannya. Sebelum dirinya, adalah Marcelo Bielsa yang diwawancara manajemen Inter sebagai calon pelatih Inter yang baru memecat pelatih asal Brasil, Leonardo. Yang dikatakan Gasperini membuat manajemen Inter lebih percaya kepadanya ketimbang pada Bielsa.
Tapi kepercayaan Inter pada Gasperini belum terlalu dalam. Satu hasil imbang dan empat kekalahan membuat Presiden Inter Milan saat itu, Massimo Moratti, habis kesabaran dan langsung memecatnya. Faktor lain yang membuat Gasperini dipecat adalah ia kerap tidak menuruti apa kata Moratti; atau lebih tepatnya Gasperini lebih percaya pada filosofinya dan tak sudi siapapun mencampuri urusannya di lapangan.
Gasperini sangat fasih (atau juga bisa dibilang sangat keras kepala) dalam memainkan skema 3-4-2-1 atau 3-1-4-2. Di Inter pun ia menggunakan skema ini, terlebih Inter punya Douglas Maicon dan Yuto Nagatomo untuk menyisir kedua sisi. Akan tetapi hal tersebut mendapatkan tentangan dari Moratti ketika Inter terus menerus mendapatkan hasil negatif. Seperti yang ditulis Jonathan Wilson dalam kolomnya di Guardian, Moratti ingin Wesley Sneijder ditempatkan sebagai gelandang no.10, bukan sebagai gelandang tengah dalam 3-1-4-2 atau gelandang serang kiri dalam 3-4-2-1.
Moratti meminta Gasperini untuk mengubah Inter kembali bermain dengan skema empat bek, entah itu 4-2-3-1 atau 4-3-1-2 seperti era Jose Mourinho. Yang paling utama adalah menempatkan Sneijder sebagai nomor sepuluh klasik. Tapi dalam catatan Jonathan Wilson, hanya sekitar 20% pertandingan yang sudah dijalani Gasperini sejak 2006 yang menggunakan skema empat bek, sisanya skema tiga bek. Gasperini keukeuh, Moratti pun memecatnya.
Gasperini bersama Mourinho pada laga Genoa vs Inter (via: Sky Sport)
Atalanta, kesebelasannya saat ini, juga mengalami hal yang sama dengan Inter di awal kepemimpinan Gasperini. Di lima laga perdananya bersama Atalanta, Gasperini hanya meraih satu kemenangan, sisanya kalah. Banyak yang memprediksi nasib Gasperini akan seperti ketika ia melatih Inter lima tahun sebelumnya, apalagi di saat yang sama Frank de Boer baru saja dipecat Inter untuk alasan serupa.
Tapi alih-alih memecat Gasperini, manajemen Atalanta lebih memilih percaya. Sang presiden klub, Antonio Percassi, datang ke tempat latihan usai Atalanta dikalahkan Palermo untuk meningkatkan dukungannya pada Gasperini. Seperti yang ditulis Paolo Bandini dalam tulisannya, "Atalanta Rise Gasperini".
"Buka telinga kalian semua!" teriak Percassi pada para pemain Atalanta. "Saya tidak ragu pada Gasperini. Dia adalah manajer kita, manajer terbaik yang bisa kita miliki, dan ia tidak bisa digoyahkan. Sekarang lakukan apa yang ia ingin kalian lakukan!"
Kepercayaan itu nyatanya membuat Gasperini semakin percaya diri dalam melatih. Para pemainnya pun semakin percaya pada kemampuan Gasperini. Hasilnya, sembilan laga berikutnya setelah kalah dari Palermo, Atalanta meraih delapan kemenangan dan satu hasil imbang. Saat itu hanya Lazio yang juga sama-sama sedang dalam catatan tak terkalahkan (Lazio menang enam, imbang tiga kali). Pada akhir musim, Atalanta akhirnya menempati posisi empat klasemen yang merupakan prestasi terbaik Atalanta sepanjang sejarah.
Wajar Percassi percaya pada Gasperini. Meski bukan pelatih dengan nama besar, beberapa kesebelasan yang pernah ditanganinya berhasil menorehkan prestasi. Crotone yang ia latih pada 2003/04 langsung dibawanya promosi ke Serie B di musim pertamanya. Genoa juga berhasil dipromosikan ke Serie A pada musim 2006/07, musim pertama Gasperini menukangi tim tersebut.
Musim ketiga bersama Genoa di Serie A, Gasperini bahkan mengantarkan Genoa mengakhiri musim dengan menduduki posisi lima. Itu merupakan prestasi tertinggi Genoa dalam 19 tahun terakhir. Posisi tersebut mengantarkan Genoa ke Europa League untuk pertama kalinya.
Saat itulah nama Gasperini yang terjun ke dunia kepelatihan sejak 1994 mulai menjadi buah bibir di Italia. Terlebih Jose Mourinho, pelatih Inter saat itu, memujinya sebagai pelatih dengan strategi yang paling merepotkannya selama di Serie A. Ketika itu Mou berhasil meraih treble winners bersama Inter.
Gasperini memang butuh dipercaya oleh manajemen. Sama seperti ketika di Inter, ia juga mengalami kegagalan ketika menukangi Palermo, kesebelasan yang lama dibelanya ketika masih jadi pemain. Ketika itu, 21 laga ia jalani bersama Palermo sebelum akhirnya dipecat. Kurang dari sebulan, Si Presiden Gila, Maurizio Zamparini, kembali menunjuknya sebagai pelatih Palermo. Tapi karena kepercayaan yang kurang, Gasperini kembali dipecat kurang dari tiga pekan setelah penunujukannya (satu menang, satu kalah).
***
Saat ini Gasperini dikenal sebagai pelatih yang mampu memoles bakat-bakat bertalenta. Di Atalanta yang punya segudang pemain muda bertalenta, pelatih yang kini berusia 59 tahun tersebut mengorbitkan nama-nama seperti Mattia Caldara, Andrea Conti, Roberto Gagliardini, Leonardo Spinazzola, dan Andrea Petagna ke timnas Italia. Karenanya tak heran para pemainnya kemudian dibeli kesebelasan lain, seperti Gagliardini dan Alessandro Bastoni yang dibeli Inter, atau Franck Kessie dan Conti yang diboyong AC Milan. Caldara dan Spinazzola pun sebenarnya kini berstatus sebagai pemain Juventus.
Berkat penjualan pemain-pemain akademi, Atalanta pun akhirnya memiliki dana yang cukup untuk membeli stadion Atleti Azzuri d`Italia pada pertengahan 2017 lalu. Atalanta kini menjadi kesebelasan keempat yang punya stadion sendiri di Italia, setelah Juventus, Udinese dan Sassuolo.
Komentar