Ratusan ribu pasang mata akan mengarah ke Kiev pada 26 Mei (27 Mei dini hari WIB). Hari itu akan digelar pertandingan final Liga Champions, antara Real Madrid dan Liverpool. Stadion NSC (National Sport Complex) Olimpiysky di ibu kota Ukraina akan menjadi saksi bisu laga puncak tersebut.
Kiev ditunjuk menjadi kota penyelenggara final oleh UEFA pada September 2016. Sementara London, Roma, dan Madrid sudah cukup sering menjadi tempat penyelenggaraan final, Kiev baru pertama kali mendapat kepercayaan ini. Hal ini disambut baik oleh duta final Liga Champions 2017/18, Andriy Shevchenko.
“Saya merasa bangga kami memiliki kesempatan untuk menyelenggarakan acara seperti ini. Kami berharap bisa menjadi tuan rumah yang baik bagi seluruh penggemar yang ingin mengunjungi negara kami dan Kota Kiev yang indah ini,” kata sang pelatih Timnas Ukraina kepada laman web UEFA awal Mei lalu.
Saya menggarisbawahi kalimat “kota Kiev yang indah ini” pada pernyataan Shevchenko. Sebagai duta, sah-sah saja Shevchenko mengklaim demikian. Namun sebagai pembaca, sebaiknya kita mengkritisi hal itu.
Menengok ke tahun 2014, Kiev adalah kota yang diguncang prahara sosial-politik. Investigasi BBC menguak fakta bahwa pada 20 Februari tahun itu, pasukan keamanan yang merupakan loyalis Presiden Viktor Yanukovych menembaki warga di Lapangan Maidan. Orang-orang tak bersenjata dihujani peluru panas karena menuntut sang presiden turun dari singgasana. Lebih dari 50 orang tewas dan puluhan lainnya terluka dalam tragedi tersebut.
Satu tahun berselang terjadi peristiwa yang menurut Walikota Kiev, Vitaly Klitschko, sebagai “provokasi berdarah”. Kerusuhan yang terjadi pada 31 Agustus 2015 itu dianggap sebagai kekerasan jalanan terburuk sejak tragedi Lapangan Maidan. Menurut laporan Guardian, 100 orang tewas dalam aksi itu. Pada hari itu pula Presiden Yanukovych dipaksa turun dari jabatannya.
Baca juga: Kiev adalah Tanah Indah untuk Orang-orang Terabaikan
Tahun 2014 dan 2015 akan diingat warga Kiev sebagai tahun-tahun penuh darah dan air mata. Media turut mem-branding tragedi itu sebagai “Revolusi Euromaidan” atau “Revolusi Martabat”. Yang terpengaruh langsung dari adanya revolusi itu adalah sektor ekonomi. David Lepeska, jurnalis Guardian, melaporkan bahwa perekonomian Ukraina menyusut sebesar 12 persen.
Selain dihajar krisis ekonomi, Kiev juga mengalami krisis birokrasi. Setelah Yanukovych tumbang, Ukraina seperti kehilangan tokoh politik mumpuni. Instabilitas di tubuh birokrasi membuat Ukraina gagal menciptakan pemerintahan yang bersih, transparan, dan demokratis, seperti yang digaungkan para pengunjuk rasa.
Walau demikian revolusi Kiev melahirkan sesuatu yang belum pernah dialami sebelumnya. Seniman muda, promotor, wirausahawan, dan pejabat diam-diam mengubah kota berpenduduk tiga juta jiwa itu menjadi sarang kreativitas urban. Kiev mempersilakan masuk teater inovatif, konser di ruang terbuka, festival makanan, dan banyak bar. Produksi film dan penghargaan bagi insan kreatif bermekaran selayaknya bunga di musim semi.
“Orang-orang berhenti ketakutan setelah peristiwa di Maidan,” kata Ivan Kozlenko, general director arsip film nasional Ukraina, kepada Guardian. Bagi warga Ukraina apalagi yang tinggal di Kiev, tragedi berdarah di Maidan adalah hal tabu yang urung dibicarakan, didiskusikan. Sebaliknya, mereka coba melupakan peristiwa itu dengan acara-acara yang melibatkan lebih banyak cinta.
“Tidak ada yang takut lagi untuk mengatakan apa yang mereka yakini, mengekspresikan visi mereka, ide-ide mereka. Kaum muda di Ukraina hari ini begitu bebas, dan revolusi menggerakkan mereka, memicu hasrat mereka.” Lanjut Kozlenko.
Kini wajah Kiev terus dipoles lewat berbagai ajang, termasuk menjadi tuan rumah final Liga Champions. Walau baru pertama kali menggelar laga final Liga Champions, stadion NSC Olimpiysky bukan tempat asing untuk ajang besar. Stadion tersebut pernah menjadi tempat gelaran final Piala Eropa 2012. Kala itu, Spanyol dan Italia saling berhadapan untuk membuktikan siapa yang terbaik di benua Eropa.
Yang menarik, pada final Liga Champions nanti juga terdapat “Spanyol” dalam diri Real Madrid. Sergio Ramos seharusnya masih ingat apa yang terjadi di Kiev saat itu. Spanyol menang telak empat gol tanpa balas. Akankah Real Madrid mampu mereguk sisa-sisa kejayaan Spanyol pada 2012 silam? Atau malah Liverpool menjadi kesebelasan pertama yang merengkuh Si Kuping Besar di kota Kiev?
Komentar