Piala Dunia 2018 adalah turnamen internasional pertama yang diikuti Serbia sejak 2010. Mereka berpotensi menciptakan kejutan jika melihat perjalanan di babak kualifikasi. Akan tetapi lawan utama mereka bukanlah 31 negara peserta yang lain, melainkan diri mereka sendiri.
Sergej Milinkovic-Savic baru berusia 15 tahun ketika Serbia mencetak hasil bersejarah di Stadion Nelson Mandela Bay, Port Elizabeth, Afrika Selatan pada 18 Juni 2010. Gol tunggal Milan Jovanovic mengantarkan timnya menang atas Jerman.
"Saya sangat bangga atas gol ini. Ini adalah gol terpenting dalam karier saya," kata Jovanovic seusai laga, seperti yang dikutip laman resmi FIFA.
Bagi Jerman, ini merupakan kekalahan pertama mereka di fase penyisihan grup Piala Dunia sejak 1986. Bagi Serbia, ini adalah kemenangan perdana sebagai sebuah negara yang berdikari, setelah berpisah dari Montenegro pada 2006, di Piala Dunia.
Mungkin, di tempatnya menonton, Milinkovic-Savic tengah merayakan kemenangan atas Die Mannschaft dengan makan pecenje (babi panggang khas Serbia) dan mencuri-curi kesempatan menenggak rakija (minuman alkohol khas Serbia). Ia barangkali tidak pernah menyangka bahwa sekitar delapan tahun kemudian ia akan menjadi tulang punggung Serbia untuk meraih kemenangan kedua di Piala Dunia.
Milinkovic-Savic salah satu bintang muda yang mendapatkan perhatian khusus untuk turnamen di Rusia mendatang. Ia tengah disorot bukan hanya karena kualitasnya di lini tengah Lazio sepanjang musim 2017-18 kemarin (ia diincar klub-klub ternama Eropa, seperti Manchester United dan Juventus), melainkan juga karena menjadi alasan pelatih Slavoljub Muslin dipecat.
Muslin dipecat hanya tiga minggu setelah mengantarkan Serbia lolos ke putaran final Piala Dunia 2018 dengan memuncaki klasemen Grup D, mencatatkan 6 kemenangan, 3 hasil imbang, dan 1 kekalahan. Alasannya karena Muslin tidak bersedia untuk memainkan pemain-pemain muda, termasuk Milinkovic-Savic.
Pemecatan Muslin menjadi kontroversi besar di dunia sepakbola Serbia. Tidak sedikit yang meyakini ada muatan politis dalam keputusan yang diambil oleh Asosiasi Sepakbola Serbia (FSS).
Pengganti Muslin adalah asisten pelatihnya sendiri, Mladen Krstajic, yang tidak memiliki pengalaman sebagai kepala pelatih. Tapi Krstajic berani memberikan debut penuh pertama bagi Milinkovic-Savic dalam laga uji tanding melawan Tiongkok pada November 2017.
Krstajic tidak hanya menandakan era kepemimpinannya dengan menggunakan para pemain muda. Ia juga mencabut ban kapten yang telah melekat di lengan Branislav Ivanovic sejak 2012. Peran tersebut kini diemban Aleksander Kolarov.
FFS dihujani kritik akibat perubahan yang terbilang drastis hanya beberapa bulan menjelang putaran final Piala Dunia ini. "Dalam teorinya, tim yang bermain di Piala Dunia seharusnya adalah tim yang lolos dari babak kualifikasi," ujar Michael Di Stefano, yang pernah bekerja untuk tim nasional ketika masih bernama Yugoslavia.
Kontroversi seperti ini tidak mengejutkan bagi warga Serbia. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka terbiasa memakan isu korupsi dan kejahatan terorganisir di level elite. Sampai-sampai, organisasi anti-korupsi Transparency Serbia menyebutkan bahwa mereka adalah "zona endemik korupsi".
Sepakbola sebagai olahraga populer di Serbia pun tidak bisa terlepas dari akal bulus elite-elite politik.
Laporan berseri tentang korupsi dan kejahatan terorganisir yang dibuat Center for Investigate Journalism of Serbia (CISJ) berhasil memenangi Penghargaan Reportase Investigasi versi European Press Prize pada 2017.
Dalam salah satu laporan tersebut, yang dibuat oleh Ivana Jeremic dan Milica Stojanovic, dijelaskan bahwa 254 orang ditangkap dan 6.179 orang terjerat kasus korupsi per 1 Januari 2013 hingga 31 Desember 2015 (data berasal dari Kementerian Dalam Negeri Serbia).
Permasalahan korupsi di Serbia adalah hal yang rumit sekaligus berwarna. CISJ menyebut penangkapan-penangkapan yang dilakukan sudah seperti sebuah reality show karena tuduhan korupsi acap kali digunakan untuk menjatuhkan lawan politik.
"Anda ditangkap meski tidak ada bukti. Seluruh proses hukum tetap berjalan dan Anda berakhir di pengadilan. Putusan bersalah kemungkinan besar tidak akan terjadi. Rakyatlah yang membayar untuk seluruh permainan boneka yang melibatkan pengadilan, politisi, dan polisi ini," kata Presiden Serbian Judiciary Trade Union, Sladanka Milosevic.
Pada 2014, mantan walikota Kosjeric Zeljko Prodanovic dijatuhi hukuman percobaan selama dua tahun. Ia dinyatakan bersalah karena menyetujui transfer uang sebesar 700.000 dinar (mata uang Serbia) dari akun Rumah Amal Pemerintah ke klub sepakbola setempat, Crnokosa, pada 2008.
Prodanovic tidak merasa bersalah. Ia menilai telah dijebak oleh lawan-lawan politik.
"Saya tidak terlibat sama sekali. Memang ada kesalahan prosedural, tetapi ini tidak ada hubungannya dengan korupsi sama sekali," Prodanovic membela diri.
Selain korupsi, ada juga pengaturan skor, keterlibatan para-militer dan mafia, budaya kekerasan, hingga pembunuhan yang menjadi masalah klasik dalam sepakbola Serbia.
***
Kompleksitas sepakbola Serbia berawal dari menjelang keruntuhan Kerajaan Yugoslavia di era Perang Dunia ke-II, lebih tepatnya pada 1944. Keberhasilan National Liberation Army mengambil alih kekuasaan membuat wajah sepakbola mereka berubah untuk selamanya.
Dua kesebelasan terbesar sebelum otoritas komunis berkuasa, Belgrade Sports Club (BSK) dan SK Yugoslavia, dibubarkan secara paksa. Nama mereka diubah hanya menjadi "Biru" (BSK) dan "Merah" (SK Yugoslavia) di semua dokumen Menteri Pendidikan. Klub-klub lain pun segera menyusul BSK dan SK Yugoslavia.
Sebagai penggantinya, lahirlah FK Crvena Zvevda (Red Star) pada 1945. Penamaan klub diambil dari lambang Yugoslavia yang baru di bawah bendera komunis. Mereka berhak mewarisi stadion, fasilitas, dan bahkan pemain-pemain SK Yugoslavia. Mereka juga dekat dengan pihak kepolisian.
Beberapa bulan setelah Red Star lahir, muncul klub lain bernama Central House of the Yugoslav Army. Nama mereka disingkat menjadi Partizan sebagai bentuk penghormatan kepada Yugoslav Partisans, nama lain dari National Liberation Army. Banyak anggota militer yang menjadi bagian dari manajemen klub. Salah satu anggota Partisans, Josip Broz Tito, diangkat menjadi Presiden Yugoslavia Seumur Hidup pada 1953.
Keuntungan tersebut membuat kedua klub asal Belgrade itu merajai sepakbola Yugoslavia. Red Star total 19 kali menjuarai liga, sementara Partizan 11 kali. Red Star bahkan pernah menjuarai Liga Champions dan Piala Dunia antarklub pada 1991.
Keberhasilan Red Star di pentas internasional sebenarnya tergolong unik. Maklum, di tahun tersebut, Yugoslavia tengah berperang dengan Krosia.
Tensi politik di Yugoslavia memang mulai meninggi sejak Tito meninggal pada 4 Mei 1980. Wacana Republik Kroasia dan Slovenia memisahkan diri dari mencuat ke permukaan.
Tribun stadion menjadi salah satu tempat perekrutan paling efektif bagi kaum nasionalis. Mereka mengumpulkan kekuatan. Perlahan tapi pasti, kebencian antar klub berubah menjadi kebencian antar etnis.
"Fans Partizan mungkin membenci Red Star, tetapi pada akhirnya, mereka tetaplah Serbia," jelas komentator sepakbola Serbia, Igor Todorovica, seperti yang dikutip Guardian.
Ketika Kroasia menyatakan kemerdekaan secara sepihak pada 1990, eskalasi ketegangan antar etnis memuncak.
Pertandingan Liga Yugoslavia antara Dinamo Zagreb (klub Kroasia) melawan Red Star di Stadion Maksimir, Zagreb pada 13 Mei 1990 pun menjadi salah satu momen penting dalam Perang Kroasia.
Kedua kesebelasan sama-sama memiliki kelompok ultras yang berideologi nasionalis, yaitu Delije (Red Star) dan Bad Blue Boys (Dinamo). Mereka datang ke stadion membawa kebencian untuk dilampiaskan satu dengan yang lain.
"Atmosfer (sejak laga belum dimulai) memang sudah tidak baik, sesuatu akan terjadi. Tetapi, kami tidak terkejut karena kami sudah memprediksinya," tutur fotografer Toma Mihajlovic yang berada di stadion ketika insiden terjadi dalam dokumenter The Real Football Factories.
Kedua pihak suporter saling melempar batu. Mereka merobohkan pagar tribun untuk bisa adu jotos. Pihak kepolisian, yang mayoritas adalah etnis Serbia, tidak bertindak sebagai semestinya.
Kapten Dinamo, Zvonimir Boban, turut mengambil peran. Ia menendang salah satu polisi yang memukuli suporter Dinamo.
"Di sinilah saya, seorang tokoh publik yang siap mempertaruhkan nyawa, karier, dan segala yang bisa dibeli oleh popularitas. Semua hanya untuk satu ide dan satu tujuan; Kroasia," ucap Boban menjelaskan aksinya. Sejak itu, ia dianggap sebagai pahlawan nasional bagi Kroasia.
Kerusuhan di Stadion Maksimir berlangsung selama beberapa jam. Ratusan orang terluka. Mobil polisi dan kursi tribun dibakar. Banyak yang mengklaim bahwa perang antara Serbia dengan Kroasia berawal pertandingan sepakbola.
Jika Kroasia menjadikan Boban sebagai pahlawan, Serbia juga memiliki pahlawannya sendiri, yaitu Zeljko "Arkan" Raznatovic.
Arkan ada di Stadion Maksimir ketika keributan terjadi. Ia adalah Kepala Keamanan Klub dan juga pemimpin Delije. Setelah kembali ke Belgrade, ia membentuk kelompok para-militer bernama Serb Volunteer Guard atau yang lebih dikenal sebagai Arkan`s Tigers.
Arkan`s Tigers mendapatkan kepercayaan langsung oleh Presiden Yugoslavia ketika itu, Slobodan Milosevic. Mereka menjadi alat pembunuh yang efektif dalam Perang Kroasia (1991-1995) dan Perang Bosnia-Herzegovia (1991-1992).
Setelah perang berakhir, Arkan menjadi figur yang ditakuti dan memiliki kekuasan besar di Serbia. Tidak ada yang berani mengusik bisnis kotor Arkan (penyelundupan narkoba, penjualan senjata ilegal), sekalipun itu terkait pembunuhan.
***
Serbia, yang telah berganti nama menjadi Serbia dan Montenegero, baru memulai kembali liga sepakbola mereka pada 1992. Permasalahannya, mereka mendapatkan sanksi berupa hiperinflasi di bawah embargo Persatuan Bangsa-Bangsa.
Di pengujung 1992, sekitar 3,7 liter bensin dijual dengan harga 15 Dolar US. Pembelian pun dibatasi hanya sekitar 10 liter per orang. Gross Domestic Product (GPD) Serbia jatuh dari 24 juta Dolar US pada 1990 ke angka di bawah 10 juta Dolar US pada 1993.
Salah satu cara untuk membangkitkan perekonomian negara adalah dengan "mengekspor" pemain keluar negeri. Hal ini dilakukan agar Serbia mendapatkan pemasukan mata uang asing.
"Ketika itu, Partizan berfungsi seperti perusahaan-perusahaan lain di negara ini. Kami harus banyak akal untuk bisa mendapatkan uang dari luar negeri," tutur mantan sekretaris klub Zarko Zecevic yang total menjual 150 pemain.
Di tengah kemiskinan, Red Star dan Partizan tetaplah klub elite di Serbia. Mereka mampu mendominasi liga baru, sebelum dibubarkan karena kemerdekaan Montenegero.
Dominasi kedua kesebelasan tidak terlepas dari sosok-sosok berkekuatan besar di dalam manajemen klub. Red Star disokong oleh mantan Deputi Perdana Menteri Slobodan Radulovic (juga pemilik waralaba supermarket terbesar di Serbia) dan mantan Perdana Menteri Mirko Marjanovic. Partizan didukung oleh salah satu aktor penyelundupan tembakau terbesar, Mirko Vucurevic, dan angkatan bersenjata.
Tentu tidak semua orang di Serbia menjadi miskin. Arkan, misalnya, bisa membeli sebuah klub bernama Obilic. Ia juga mempunyai rumah mewah dan banyak SPBU. Semua berkat hasil jarahan perang dan bisnis bawah tanah yang dijalani olehnya. Obilic bahkan sempat mematahkan dominasi Red Star dan Partizan dengan menjuarai liga pada 1997/98.
Arkan meninggal dunia karena pembunuhan pada Januari 2000. Meski tidak pernah terbukti, dalang pembunuhannya diyakini adalah kelompok mafia lain bernama Zemun Clan. Mereka juga membunuh Presiden ke-12 Serbia, Ivan Stambolic, dan Perdana Menteri, Zoran Dindic.
Arkan bukanlah satu-satunya figur sepakbola yang tewas terbunuh. Sekretaris Jenderal FSS, Branko Bulatovic, ditembak dua kali di kepala pada 2004. Pembunuhannya diyakini terkait dengan perseteruan antar mafia sepakbola.
Tradisi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di tubuh manajemen Red Star dan Partizan ternyata sulit untuk dihapus ketika memasuki industri sepakbola modern yang bernafas kapitalis di abad ke-21. Dominasi kelompok-kelompok mafia dan kerah putih dalam industri sepakbola Serbia (mayoritas) tetap dilindungi oleh pemerintah.
Perusahaan telekomunikasi negara Moblina telefonija Srbije merupakan salah satu sponsor utama Red Star dan Partizan. Hutang pajak Red Star sebesar 5,8 juta Euro (pada 2012) dan Partizan sebesar 4,6 juta Euro (pada 2015) tidak pernah menjadi masalah utama bagi pemerintah.
Kasus pengaturan skor juga masih kerap terjadi. Yang teranyar dilakukan oleh wasit Srdjan Obradovic dalam laga antara Spartak melawan Radnicki pada Mei lalu. Adapun budaya kekerasan antar suporter baru memakan korban nyawa satu suporter Red Star dalam bentrokan dengan suporter Partizan pada April.
***
Ekspektasi Serbia di Piala Dunia 2018 nanti tidak muluk. Milan Dusanovic, penggiat media sosial Twitter dengan akun bernama @SerbianFooty, mengatakan kepada CNN bahwa "Serbia sulit diprediksi dan kebanyakan orang hanya berharap kami bisa lolos grup. Itu akan menjadi sebuah pencapaian besar bagi kami".
Fans Serbia lainnya, Biljana Ptrovic, sudah memprediksi timnya tidak akan melangkah jauh. Baginya, bisa ambil bagian di Piala Dunia untuk yang pertama kalinya dalam delapan tahun saja sudah merupakan "sebuah kebahagiaan".
Para suporter mungkin mencoba bersikap realistis, tetapi Serbia sejatinya memiliki potensi yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Kebanyakan pemain membela klub-klub divisi pertama Eropa.
Skuat Orlovi merupakan perpaduan pemain-pemain berpengalaman dan pemain muda bertalenta. Milinkonvic-Savic, Pedrag Rajkovic, Andrija Zivkovic, Marko Grujic, dan Nemanja Maksimovic adalah bagian dari skuat Serbia yang memenangi Piala Dunia U-20 pada 2015 lalu.
Jika mampu berkonsentrasi penuh dan melupakan segala kontroversi di luar lapangan, bukan tidak mungkin tim nasional Serbia akan menciptakan sejarah baru bagi negara mereka.
Komentar