Ketika bicara Perancis maka tidak bisa dipisahkan dari sejarah Revolusi Perancis pada 1789. Pasca peristiwa itu, terjadi perubahan besar-besaran dalam tatanan sosial-politik di seluruh wilayah Perancis. Tradisi yang mengakar bertahun-tahun lamanya berkat otoritas raja dan gereja, tiba-tiba dicabut dan tergantikan oleh prinsip-prinsip baru: liberte (kebebasan), egalite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan). Bendera Perancis yang terdiri dari tiga warna (tricolore) itu, konon diilhami dari tiga prinsip tadi.
Konsep kebebasan, persamaan dan persaudaraan tidak hanya diaplikasikan ke dalam lapangan sosial-politik, tetapi juga ke lapangan sepakbola. Perancis memberi kebebasan, menjamin persamaan, dan menjalin persaudaraan dengan para imigran. Hal itu tampak pada komposisi Timnas Perancis yang mayoritas dihuni para imigran dan keturunan imigran.
Berawal dari Piala Dunia 1998
Puncak kejayaan Perancis dalam olahraga sepakbola adalah tahun 1998. Kala itu Les Blues—julukan Perancis, berhasil menjadi juara dunia dengan mengalahkan Brasil 3-0 di partai puncak. Dalam momen kejayaan itu, Perancis tidak bisa tidak berterima kasih kepada para imigran.
Setidaknya terdapat lima pemain imigran dan keturunan imigran yang turun sebagai starter pada pertandingan final melawan Brasil. Marcel Desailly yang hari itu bertugas menjaga pertahanan Perancis, lahir di Ghana. Saat lahir ke dunia, ia bernama Odenke Abbey. Namun nama itu diganti oleh ayah angkatnya di Nantes karena sulit dilafalkan.
Selain itu ada nama Lilian Thuram, bek serba bisa yang berhasil mencetak dua gol di semifinal sekaligus membawa Perancis ke partai final. Thuram pindah ke Perancis saat usianya sembilan tahun. Sebelumnya ia pernah tinggal di Kepulauan Karibia atau lebih tepatnya di Pulau Guadeloupe yang masih milik pemerintah Perancis secara politik.
Di lini tengah ada nama Christian Karembeu yang lahir di Lifou, Kaledonia Baru. Nama tempat itu terdengar asing karena letaknya yang amat terpencil di Samudera Pasifik. Sementara rekannya sesama imigran sudah mengenal Perancis sejak kecil, Karembeu pindah ke Perancis saat usianya sudah 17 tahun. Ia mendapat beasiswa dari pemerintah Perancis untuk mempelajari sepakbola. Alih-alih sekadar mempelajari teori, Karembeu juga berpraktik sebagai gelandang tengah dalam permainan sepakbola.
Keturunan imigran lainnya yang tampil pada laga final Piala Dunia 1998 adalah Youri Djorkaeff. Meski ia lahir di Lyon yang notabene merupakan wilayah Perancis, tapi ayah dan ibunya bukan orang Perancis. Dalam diri Djorkaeff mengalir darah Polandia berkat sang ayah dan darah Armenia berkat sang ibu. Kedua orang tuanya hijrah ke Perancis saat Perang Dunia II karena diburu oleh tentara Nazi.
Keturunan imigran berikutnya yang bermain untuk Perancis pada final 1998 adalah Zinedine Zidane. Nama itu tercatat di papan skor dua kali berkat dua gol yang ia cetak ke gawang lawan. Nama itu pula yang sampai saat ini dielu-elukan masyarakat Perancis. Bahkan sebagian dari mereka menjadikan pria keturunan Aljazair itu sebagai pahlawan Perancis.
Keberagaman dalam skuat Perancis diabadikan oleh pers lewat semboyan “Black, Blanc, Beur” atau yang jika diterjemahkan secara bebas menjadi “hitam, putih, dan Arab”. Hal itu juga sebagai representasi tiga warna pada bendera Perancis. Lantas mengapa skuat Perancis bisa dihuni oleh pria kulit hitam dan pria berhidung mancung dari Arab?
Hitam, Putih, Arab
Berdasarkan laporan Vox, Perancis mulai terbuka kepada para pendatang pasca Perang Dunia II. Saat itu negeri yang terkenal dengan menara Eiffel ini hancur lebur porak poranda akibat perang.
Untuk membangun kembali fisik Perancis, dibutuhkan banyak manusia yang sialnya berjumlah sedikit karena sebagian telah gugur di medan perang. Maka tidaklah heran Perancis memaksa masuk para pendatang dari Afrika Utara, Afrika Barat, dan beberapa di wilayah Pasifik untuk memakmurkan kembali negeri Perancis. Adapun wilayah-wilayah itu dipilih karena dahulu merupakan koloni bangsa Perancis.
Seiring berjalannya waktu, para imigran ini beranak pinak hingga membentuk sebuah keluarga di Perancis. Hal ini kemudian menjadi berkah khususnya bagi persepakbolaan Perancis. Pada 1998, Perancis berjaya lewat keberagaman dalam skuat mereka.
Baca juga: Belajar Keberagaman dari Sepakbola
“Saya ingat persis ketika kami akan berjalan masuk ke lapangan dan melihat pemain Brasil. Lantas saya berpikir mereka tidak mungkin bisa menang karena mereka hanya 11 sedangkan kami ada jutaan,” kata Lilian Thuram ketika ditanya apa resep mengalahkan Brasil sebagaimana dilansir BBC.
Thuram tidak bercanda ketika ia bilang Perancis ada jutaan. Selain fakta bahwa Perancis tampil di hadapan publik sendiri, Brasil juga bakal meladeni para pemain dari berbagai bangsa. Brasil tak hanya melawan Timnas Perancis, tapi juga kekuatan pemain asal Afrika, pemain dari Pasifik, dan pemain dari Eropa Timur.
Para pemain di dalam skuat Perancis sadar betul perbedaan di antara mereka. Alih-alih menjadi bahan perpecahan, segala perbedaan yang ada dikemas jadi bahan kekuatan. Ternyata bahan yang terbuat dari perbedaan itu cukup kokoh hingga mengantarkan mereka ke final dan keluar sebagai juara dunia. Nama bahan itu adalah keberagaman.
“Saya pikir apa yang benar-benar terjadi dengan Timnas Perancis saat itu yakni orang-orang punya koneksi dengan timnas. Hal itu disebabkan perbedaan budaya dalam tim. Siapapun Anda dan apapun latar belakang Anda, Anda dapat melihat diri Anda sendiri dalam tim itu. Sesungguhnya itu adalah perasaan yang luar biasa.” Kata Thierry Henry yang saat itu masih berusia 20 tahun.
Tidak hanya pemain, pelatih pun sudah menyadari kekuatan tim yang terletak dalam keberagaman mereka. Jauh sebelum pertandingan final, Aime Jacquet berkata kepada majalah FourFourTwo bahwa sesuatu yang “penting” bakal terjadi, hanya saja orang-orang belum sepenuhnya menyadari.
Di sebuah pusat pelatihan yang terletak di daerah Clairefontaine, sebelah barat daya Perancis, pelatih berkacamata itu mengumpulkan para pemain untuk membentuk lingkaran. Kala itu cuaca Perancis sedang hangat dan matahari terlihat bersinar dan membentuk lingkaran penuh. Sang pelatih berdiri di tengah dan seketika menjadi pusat lingkaran yang terbentuk dari para pemain. Lantas ia berkata: “I want us to be together in this.”
Sempat Mendapatkan Pertentangan dari Pemerintah
Apa yang Jacquet inginkan, ternyata tidak sejalan dengan anggapan Jean-Marie Le Pen. Pemimpin partai politik sayap kanan Front Nasional itu menganggap keberagaman Les Bleus hanya buatan belaka. Menurutnya, Zidane dan kolega hanya sekumpulan pemain yang cuma berjuang demi trofi, bukan untuk Perancis itu sendiri.
Dalam imajinasi Le Pen, Perancis masih tergambar sebagai bangsa kulit putih yang makmur dan sejahtera. Tak heran ia vokal menyuarakan kebijakan anti-imigran karena para imigran tak ubahnya parasit yang menggerogoti kesejahteraan masyarakat “asli” Perancis.
Namun berkat penampilan apik para pemain imigran dan keturunan imigran, Perancis perlahan tapi pasti membungkam sentimen politisi sayap kanan. Bahkan Zidane sukses membuat kuping Jean-Marie Le Pen panas berkat dua gol di pertandingan final. Orang-orang Perancis yang menyaksikan gol itu turun ke jalan dengan membawa potret Zidane lengkap dengan bendera Perancis. Beberapa di antara mereka bernyanyi “Zidane for president”, sebuah lagu yang tentunya tidak ingin Le Pen dengar.
Akan tetapi kejayaan Perancis pada Piala Dunia 1998 tidak mengubah pandangan politik partai Front Nasional. Bahkan setelah Jean-Marie Le Pen minggat dari kursi pimpinan partai, anaknya bernama Marine Le Pen melanjutkan perjuangan sang ayah.
Marine secara aktif mengkritik timnas Perancis dan mempertanyakan kredibilitas para pemain keturunan imigran yang menurut Marine tidak berjiwa nasionalis. Masalahnya mungkin sepele: ketika La Marseillaise diputar, mulut para pemain diam seolah tidak hafal lagu kebangsaan tersebut.
Kritik itu kini hanya akan jadi angin lalu saja mengingat Perancis tampil menjanjikan selama di Rusia. Perancis mungkin tidak lolos dari Grup C dengan meyakinkan. Namun anak-anak asuh Didier Deschamps tampil baik ketika memasuki fase gugur dengan mengalahkan Argentina dan Uruguay. Bukan tak mungkin, Perancis versi 2018 bakal mengulang sejarah 1998.
Keberagaman Kembali Tercermin di Skuat Piala Dunia 2018
Mayoritas skuat Perancis pada Piala Dunia 2018 juga dihuni para pemain keturunan imigran. Bahkan beberapa nama sanggup menjadi tulang punggung karena dipercaya menjadi starter. Sebut saja Samuel Umtiti, bek Perancis yang lahir di Kamerun. Berkat kemampuannya, PSSI-nya Kamerun berulang kali mendekati Umtiti agar lebih memilih Kamerun ketimbang Perancis. Namun sia-sia belaka karena Umtiti kadung mencintai Les Blues.
Selain itu ada nama N’Golo Kante di lini tengah. Pemain mungil dengan senyum tanpa dosa ini lahir di Paris. Namun orang tua Kante asli Mali sehingga tak heran PSSI-nya Mali sempat mendekati Kante agar mau tampil dalam gelaran Piala Afrika pada 2015 silam. Alih-alih tertarik dengan tawaran itu, Kante lebih memilih tinggal di Perancis dan fokus berkarier di Ligue 1 sebelum hijrah ke Inggris dan menyabet gelar pemain terbaik di sana.
Tandem Kante di lini tengah ada Paul Pogba. Seperti halnya Kante, Pogba juga lahir di Perancis. Namun orang tuanya berasal dari Guinea. Sementara dua kakak Pogba yakni Florentin dan Mathias bermain untuk timnas Guinea, Pogba memilih untuk berkostum Perancis.
Sementara di lini depan, Perancis mengandalkan Kylian Mbappe. Pemain yang masih berusia 19 tahun itu mencuri perhatian publik lewat dua gol yang dicetak ke gawang Argentina pada pertandingan babak 16 besar. Tidak bisa tidak perbincangan tentang Mbappe juga melebar ke masalah kewarganegaraan. Mbappe dibesarkan dalam lingkungan imigran. Ayahnya berasal dari Kamerun sementara sang ibu berasal dari Aljazair. Kedua orang tuanya bertemu di Paris dan menikah di sana.
“Menjadi seorang manajer adalah tentang mengenali bakat dan mengetahui bagaimana menggunakannya dalam konteks yang benar. Anda perlu melihat hal-hal yang memberi tahu Anda bahwa ‘Dia adalah orang yang saya perlukan di sini`. Pilihan Anda adalah investasi manusia; Anda harus meluangkan waktu untuk mengenal para pemain lebih baik. Mereka punya kehidupan, kepribadian, budaya, latar belakang, bahkan pandangan hidup yang berbeda. Jadi Anda harus dapat mendengarkan mereka dan satu frekuensi dengan mereka. Manajemen manusia telah menjadi sesuatu yang sangat penting,” kata Deschamps kepada Guardian pada September 2017.
Seperti halnya Jacquet pada 1998, Deschamps juga menyadari keberagaman di dalam skuat Perancis. Deschamps yang pada 1998 menjadi kapten Perancis, tentu sudah tak asing dengan sebuah kelompok yang multi-kultur. Bukan tidak mungkin Perancis akan kembali berjaya dengan keberagaman yang mereka miliki.
Komentar