Tidak banyak hal yang bisa dibanggakan Laos sepanjang keikutsertaannya di Piala AFF. Bagi mereka, meraih satu kemenangan pun sudah terbilang memuaskan.
Sejak Piala AFF digelar pada 1996 (dahulu bernama nama Tiger Cup), Laos hanya mampu mengoleksi dua kemenangan. Itu pun di edisi pertama dan 2004! Bahkan, di Piala AFFPiala AFF 2016, Laos gagal lolos kualifikasi.
Dari total 37 pertandingan yang dijalani, sebanyak 31 di antaranya berakhir dengan kekalahan dan mereka sudah kemasukan 141 gol. Jumlah tersebut menjadikan Laos sebagai tim dengan pertahanan terburuk sepanjang sejarah AFF.
Bukan tanpa alasan Laos remuk redam di kancah si kulit bundar. Jika berbicara usia, mereka terbilang masih muda. Federasi Sepakbola Laos (LFF) baru resmi berdiri pada 1951 dan mereka masih berada di bawah kekuasaan kolonialisme Prancis ketika itu.
Di partai perdana internasionalnya, Laos menghadapi Vietnam Selatan (sebelum jadi satu Vietnam) pada 12 Desember 1961. Vietnam Selatan, yang sudah merdeka dari Prancis terlebih dahulu, mampu menjebol tujuh kali gawang Laos tanpa balas. Berselang satu hari usai kalah dari Vietnam Selatan, Laos kembali menggelar laga kontra Thailand yang juga berakhir dengan kekalahan.
Takdir sepakbola Laos yang seakan tak jauh dari keterpurukan sendiri berkaitan erat dengan inkompetensi para pengurusnya. “Ini adalah jalan menuju (kantor) federasi, bukan Distrik Sanamxay,” ucap mantan Presiden Vientiane Football United, Phijika Boonkwang, kepada Radio Free Asia. Sosok berusia 33 tahun itu menjadikan sebuah musibah banjir bandang yang menelan puluhan korban jiwa dan membuat lebih dari 100.000 penduduk mengungsi pada 2018 untuk menggambarkan buruknya kepengurusan LFF.
Apakah berlebihan? Bisa jadi, tetapi kekesalan mungkin memang sudah memuncak. Untuk diketahui, sepakbola Laos pernah dinodai oleh skandal demi skandal match-fixing. Timnas Laos beberapa kali terbukti melakukan kecurangan dalam pertandingan tingkat Asia.
Pada 2016, saat melawan Sri Lanka, Laos divonis telah mengatur pertandingan oleh AFC. Sanksi jatuh kepada empat pemain: Saynakhonevieng Phommapanya, Chintana Souksavath, Moukda Souksavath dan Phatthana Syvilay dilarang bertanding selama 60 bulan.
Berselang satu tahun kemudian, pemain Laos lagi-lagi kedapatan mencurangi pertandingan. Kiper Thipphonexay Inthavongsa dinilai sengaja membiarkan gawangnya kebobolan hingga empat gol saat laga kontra Hong Kong. Ia diganjar hukuman larangan ikut serta di sepakbola seumur hidup pada 2020.
Seakan tidak berbenah dengan kasus yang sama, Laos terlibat lagi persoalan match-fixing, bahkan yang satu ini lebih parah. Partai Laos vs Kamboja dihujani kecurangan oleh 22 pemain dan perangkat klub; 15 di antaranya adalah pemain Laos. Semua pihak yang terjerembab dihukum larangan berpartisipasi dalam sepakbola selamanya.
Berasal dari "Diri Sendiri"
Dari semua persoalan match-fixing yang mendera Laos di kancah internasional, kita bisa melihat akarnya berada dari dalam negeri. Contoh paling heboh adalah skandal Lao Premier League (LPL) 2017. Terdapat enam klub peserta yang gugur akibat dugaan manipulasi hasil pertandingan. Salah satu kesebelasan yang memutuskan cabut adalah Lanexang United.
Padahal, Lanexang berstatus sebagai juara bertahan setelah menjuarai LPL 2016. Namun, buruknya pengelolaan liga ditambah sponsor yang menghidupi klub hengkang, memaksa mereka dan lima klub lain berhenti berkompetisi.
Bukan hanya urusan match-fixing. Champasak United pernah terlilit kasus pembajakan pemain ilegal. Sebanyak 23 pemain berumur di bawah 18 tahun bergabung dengan Champasak untuk menghuni kesebelasan dan akademi. Hal tersebut lantas melanggar aturan FIFA tentang batas umur transfer pemain.
Para pemain yang diimpor berasal dari Afrika Barat. Mereka dibujuk dengan kontrak yang cukup menggiurkan. Tanpa mereka sadari, rupanya nasib berkarir di Laos tidak seasyik itu. Salah satu pemain impor, Kesselly Kamara, mengaku kepada BBC bahwa ia tidak mendapat gaji sesuai kontrak kerja. Bahkan tidur pun hanya beralaskan karpet di dalam stadion.
Pihak yang bertanggung jawab atas seluruh polemik di atas bisa dikatakan adalah federasi. Sebagai pemegang tanggung jawab atas sepakbola Laos, LFF gagal menciptakan kompetisi yang bersih dan sehat.
Declan Hill dalam satu waktu mewawancarai petinggi UEFA tentang bagaimana federasi sebenarnya jadi biang masalah pengaturan skor. “Jujur saja, kadang mereka (federasi) adalah masalahnya! Pada banyak kasus liga dijalankan oleh federasi, dan liga dimainkan oleh pihak klub-klub. Jadi ada konflik kepentingan di sana,” kata petinggi UEFA yang tak diungkap identitasnya, seperti yang dikutip dari “The Insider’s Guide to Match Fixing in Football”.
Bukan tidak mungkin Laos menjadi target para mafia bola. Data dari Trading Economics, Laos memiliki pendapatan per kapita sebesar 2546 dollar, nilainya hanya di atas Kamboja, Timor Leste, dan Myanmar. Nilainya cukup kecil mengingat populasi Laos hanya sekitar 7 juta lebih, terkecil se-Asia Tenggara.
Terlepas dari bobroknya LFF, agenda perbaikan nasib sudah di depan mata. Piala AFF harusnya bisa dimaksimalkan untuk melanjutkan eksistensi sepakbola Laos. Bagi masyarakat Laos, sepakbola adalah kehidupan. Olahraga satu ini sangat digandrungi oleh berbagai lapisan masyarakat, walaupun di kompetisi internasional selalu menjadi bulan-bulanan kesebelasan lain.
Apalagi, Laos akan diperkuat Billy Ketkeophomphone yang membela klub Ligue 2, USL Dunkerque. Striker berusia 31 tahun itu dinaturalisasi lantaran memiliki darah Laos dari kedua orangtuanya yang bermigrasi ke Perancis. Ia sudah melanglang buana di kompetisi Eropa. Bahkan, Billy juga sempat merumput dengan klub Ligue 1, Angers SCO. Pengalamannya ini bisa mendorong Laos agar terlepas dari julukan underdog.
Komentar