Sekitar 62 tahun lamanya (1824 –1886), tanah Burma dikuasai oleh Inggris. Di sela-sela menduduki Burma, penjajah Inggris bernama James George Scott memperkenalkan olahraga populer dari negaranya.
Masyarakat Burma saat itu sebenarnya sudah familiar dengan permainan mengontrol bola dari kaki ke kaki. Chinlone atau sepak takraw merupakan permainan bagi raja-raja Burma 1.500 tahun silam. Perkara yang mudah bagi pribumi dalam memainkan sepakbola, lantaran kaki masyarakat Burma terbiasa “berlenggok” dengan sebuah bola.
Hingga pada tahun 1920, seorang pemain sepakbola Burma, U Kyaw Din, membawa ajaran dan kurikulum sepakbola ke penjuru Asia, diawali dari tanah Jepang yang dipijaknya pada tahun 1900. Teknik permainan bola pendek dari kaki ke kaki diukir dalam sebuah buku. Buku tersebut menjadi kitab pedoman yang melahirkan barisan pemain hebat di era 1950.
Era keemasan Burma terjadi pada tahun 50-an yang diawali oleh perhelatan Asian Games 1954 di Filipina. Tim sepakbola Burma meraih medali perunggu, di antara pesaing negara raksasa asia lain seperti Jepang, Korea Selatan, India, Indonesia, hingga Tiongkok.
Torehan manis kembali terjadi di perhelatan Asian Games 1966 di Bangkok. Burma meraih medali emas, setelah menyingkirkan tim raksasa Asia, Iran dengan skor 0-1. Dua tahun berselang, Burma menduduki peringkat kedua dalam perhelatan AFC Asian Cup, hanya kalah dari Iran. Di awal tahun 1970, untuk pertama kalinya, Burma menjadi wakil Asia bersama Malaysia untuk mengikuti Olimpiade musim panas 1972 di Munich, Jerman Barat.
Di Asian Games 1970, Burma kembali membawa pulang medali emas, setelah mengalahkan Korea Selatan di babak final. Capaian medali emas untuk kedua kalinya bagi tim sepakbola Burma di Asian Games 1970 membuat para pemainnya dideklarasikan menjadi pahlawan nasional.
Sepak terjang Burma di sepakbola Asia Tenggara menjadi momok bagi lawan-lawannya. Cabang olahraga sepakbola Burma menyabet lima medali emas beruntun dalam perhelatan South-East Asian (SEA) Games, tepatnya pada SEA Games Tahun 1965, 1967, 1969, 1972, dan 1973.
Pasca meraih medali emas di Asian Games 1970 dan SEA Games 1973, Burma mulai puasa dalam peraihan gelar medali emas di ajang besar. Generasi emas Burma perlahan meredup.
Hal ini tak terlepas dari kudeta militer yang terjadi pada 1962. Sejak kepemimpinan jatuh ke tangan Ne Win, Burma mengalami ketidakstabilan ekonomi. Pembangunan infrastruktur yang kurang, tertutupnya negara, pasar gelap, hingga terjadinya beberapa pemberontakan dari rakyat Burma berimbas pada merosotnya prestasi di ranah sepakbola.
Belum lagi, para pemain dicegah untuk berkiprah di luar negeri, membuat mereka pada akhirnya memutuskan untuk pensiun. Negara Asia Tenggara lain, seperti Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Thailand mengalami perkembangan yang cukup signifikan, sedangkan kejayaan Burma semakin memudar.
Kebangkitan sepakbola Myanmar tentunya menjadi satu dari sekian dampak dari terbukanya kembali negara Myanmar kepada dunia luar. Myanmar melakukan reformasi pemerintahan menuju demokrasi dan mengawali transisi pada tahun 2010.
Di tahun 2011, timnas Myanmar memanggil Gerd Zeise untuk menunggangi skuad kelompok umur. Di tahun tersebut menjadi titik awal kembali terciptanya generasi emas, setelah pudarnya kekuatan Myanmar selama berpuluh-puluh tahun.
Di beberapa turnamen kelompok usia antar negara, seperti BIDC-Cup dan Tropi Hassanal Bolkiah tahun 2014, Myanmar berhasil menyabet medali emas. Hingga, untuk pertama kalinya dalam sejarah, timnas Myanmar kelompok usia di bawah 20 tahun berpartisipasi di Piala Dunia U20 2015 di Selandia Baru. Tergabung dalam grup, Myanmar bersaing dengan negara besar sepakbola seperti Ukraina, Amerika Serikat, dan tuan rumah, Selandia Baru. Meskipun finis sebagai juru kunci, berpartisipasi dalam kompetisi tertinggi kelompok umur tersebut menjadi sejarah baru di dunia sepakbola Myanmar.
Kendati demikian, generasi yang digadang-gadang merupakan generasi emas Myanmar nampaknya tidak berumur panjang. Skuad yang didaftarkan Myanmar untuk berkiprah di Piala AFF 2020 hanya lima pemain alumni Piala Dunia U20 2015, yakni Min latt Myo, Maung Lwin, Yan Naing Oo, Pain Than, dan Myo Ko Tun.
Hasil negatif di lima pertandingan terakhir sekiranya menjadi gambaran kekuatan Myanmar di Piala AFF 2020. Satu kali menang dan empat kali kalah secara beruntun merupakan hasil yang tidak diinginkan oleh publik Myanmar. Apalagi empat kekalahan diterima dengan skor yang telak (0-10 vs Jepang, 1-8 vs Kirgizstan, 0-4 vs Tajikistan, 1-4 vs Indonesia). Meski sebenarnya hasil-hasil tersebut juga tak bisa dilepaskan dari situasi dalam negeri yang diguncang oleh kudeta militer.
Lini pertahanan menjadi pekerjaan rumah besar bagi pelatih asal Jerman, Antoine Hey. Seperti di laga terakhir kontra Indonesia, lini tengah dan pertahanan Myanmar kesulitan saat menghadapi pressing ketat dari para pemain depan cepat Indonesia. Dua gol dari Witan dan Irfan Jaya membuktikan lemahnya lini pertahanan karena kewalahan dalam mengantisipasi operan terobosan dari lini tengah Indonesia.
Tergabung di Grup A dengan Thailand, Filipina, Timor Leste, dan Singapura, menjadi tantangan tersendiri bagi Myanmar untuk membuktikan tajinya di Asia tenggara.
Komentar