Derbi Italia, atau Derby d`Italia, adalah pertandingan sengit antara Internazionale Milan dengan Juventus. Dua klub sepakbola ini berasal dari dua kota terbesar di kawasan utara Italia. Baik Inter maupun Juventus memiliki sebaran pendukung di hampir seluruh Italia; ada pendukung Inter di Kota Turin, ada pula pendukung Juventus di Kota Milan. Hal itu tercatat di laman resmi klub masing-masing.
Maka dari itu, Derbi Italia ini bisa dibilang pertandingan terbesar di Negeri Pizza. Apalagi, kedua klub ini selalu difavoritkan meraih scudetto (gelar juara Serie-A), hampir di setiap musimnya. Pertandingan antara Inter dengan Juventus dilehat pertama kali pada 14 November 1909 di Turin, dimenangkan oleh tuan rumah lewat dua gol Ernesto Borel, tanpa balas.
Selanjutnya, pertandingan ini dianggap sebagai `puncak` dari semua laga sepakbola di Italia. Sebab, Derby d`Italia adalah pertandingan besar antar kota yang paling intens sejak 1930-an. Sementara, istilah Derby d`Italia dipopulerkan oleh jurnalis Italia bernama Gianni Brera. Ia menggambarkan pertandingan ini adalah antara dua klub paling sukses di Italia dalam hal gelar domestik, yakni Serie-A dan Coppa Italia. Di sisi lain, pertandingan ini penuh gairah dan permusuhan lintas kota Milan dengan Turin.
Internazionale Milan yang Merasa Tertipu
Invasi lapangan karena tribun yang membludak adalah intrik dan cerita buruk pertama pertandingan Derby d`Italia. Itu terjadi pada Serie-A 1960/61. Angelo Moratti masih menjabat Presiden Inter dan Helenio Herrera adalah pelatih skuadnya saat itu. Bersama Herrera, Inter mulai mengancam ambisi Juventus untuk menguasai gelar juara sepakbola Italia pada 1960-an.
Kesempatan Inter untuk lebih dekat dengan Juventus di klasemen sementara saat itu adalah pada 16 April 1961 di Stadion Comunale (sekarang Stadion Olimpico Grande Torino). Jelang pertandingan, Kota Turin sudah disesaki para pendukung Juventus, begitu pula di tribun stadion. Namun rupanya, tribun stadion saat itu tidak mampu menampung semua penonton yang datang.
Alhasil, kerumunan suporter pun sampai harus masuk ke trek atletik. Bahkan beberapa di antaranya sudah berada di bangku cadangan pemain dan tiang gawang. "Dekatnya jarak dengan orang-orang hanya beberapa meter saja. Tapi tidak ada ancaman bahaya yang nyata," celoteh Aristide Guarneri, kiper Inter saat itu, seperti dikutip dari Storie di Calcio.
Guarneri yang merasa situasi masih aman itu berbeda dengan Genoa Gambarotta, wasit pertandingan. Ia menghentikan pertandingan pada menit ke-31. Regulasi pada saat itu menyatakan kemenangan seharusnya diberikan kepada Inter sebagai tim tamu. Keputusan tersebut awalnya diharapkan membantu klub berjuluk I Nerazzurri ini meraih scudetto. Kenyataan jadi berkata lain karena Federasi Sepakbola Italia menerima banding partai ulangan dari Juventus.
Mereka pun tak ingin dirugikan karena invasi yang bisa mengganjal perburuan Scudetto ke-12. Keputusan itu mengundang protes, kecurigaan, dan tuduhan yang ditumpahkan ke dalam banding tersebut. Apalagi Umberto Agnelli menjabat Presiden Juventus sekaligus Federasi Sepakbola Italia saat itu. "Kami terpeleset dua poin dari Juve. Kami merasa tertipu," timpal Guarneri.
Pertandingan itu pun diulang pada 10 Juni 1961. Sebagai protes, Inter hanya menurunkan pemain primavera yang rataan usianya adalah 19 tahun. Kebanyakan para pemainnya saat itu masih harus berurusan dengan pendidikan sekolahan. Salah satunya Sandro Mazzola yang mencetak satu-satunya gol Inter pada laga tersebut. Sementara Juventus menurunkan hampir semua skuad utama, termasuk Omar Sivori yang berambisi menjadi pencetak gol terbanyak dan meraih Ballon d`Or.
Penyerang kelahiran 2 Oktober 1935 itu mencetak enam gol dalam laga yang dimenangi 9-1 oleh Bianconeri. Enam gol itu sempat membuat kecewa Sergio Brighenti, penyerang Sampdoria. Namanya di puncak pencetak gol terbanyak sementara sempat tersingkir oleh enam gol Sivori (sebelum kembali mengejar di sisa musim). Ini pun berdampak terhadap Ballon d`Or 1961 yang diraih Sivori. Sesuatu yang menyempurnakan scudetto Juventus pada Serie-A 1960/1961 itu.
Keputusan Pengadil yang Berbeda
Kontroversi terasa familiar dalam rivalitas Inter dan Juventus. Salah satunya dalam perebutan titel juara Serie-A 1997/98 yang terasa menyakitkan bagi garis keturunan Moratti. Inter yang kali ini dipresideni Massimo Moratti menjadi saksi mata keputusan kontroversial wasit yang cenderung menguntungkan Juventus dalam Derby d`Italia pada 26 April 1998 di Turin.
Misal, ketika Ronaldo dilanggar Mark Iuliano di dalam kotak penalti, namun pertandingan terus berjalan. Tapi ketika Alessandro Del Piero dilanggar Taribo West di dalam kotak penalti, wasit justru memberikan hadiah penalti. Meskipun Del Piero gagal mengeksekusinya, kekacauan tetaplah terjadi. Hampir seluruh pemain Inter protes kepada wasit dan hampir memicu beberapa perkelahian.
Pukulan berat terasa semakin berat karena Juventus meraih Scudetto 1997/98. Sementara, Inter harus puas sebagai runner-up dengan ketertinggalan lima poin pada akhir musim waktu itu.
Insiden di Turin menyebabkan perdebatan sengit di antara penikmat sepakbola di seluruh Italia. Bahkan perdebatan sampai di parlemen Italia. "Kami tidak berada di stadion. Ini adalah tontonan yang tidak layak, memalukan, dan aneh," kata Wakil Perdana Menteri,Walter Veltroni, seperti dikutip dari BBC.
Ada pandangan bahwa insiden itu adalah serangkaian kesalahan wasit yang menguntungkan Juventus dalam perebutan juara Serie-A. Perdebatan itu juga melebarkan pertanyaan tentang apakah wasit di Italia benar-benar objektif, atau tidak berani melawan institusi klub sepakbola besar seperti Juventus. Hubungan Inter dan Juventus pun semakin memanas.
Intrik di antara keduanya semakin mengakar dalam setiap pertemuan. Laga Derby d`Italia pun semakin menjadi salah satu pertandingan terpanas di Italia. Seperti tinjuan Paolo Montero kepada wajah Luigi Di Bagio pada Desember 2000. Begitu pun dengan pukulan Zlatan Ibrahimovic kepada Ivan Cordoba serta tandukannya kepada Sinisa Mihajlovic pada 2005.
Semakin Panas Setelah Calciopoli
Hubungan antara dua klub ini pun semakin penuh intrik setelah skandal Calciopoli pada 2006 lalu. Kredibilitas sepakbola Italia juga menjadi berada di titik yang sangat rendah akibat Calciopoli. Padahal Italia baru menjuarai Piala Dunia 2006. Tapi Calciopoli paling terasa bagi Juventus dan para pendukungnya. Sebab Calciopoli telah mengguncang bangunan megah klub berjuluk Si Nyonya Tua itu menjadi goyah.
Kasus ini jugalah yang membuat Juventus terpaksa kehilangan gelar Serie-A 2004/05 dan 2005/06 dan harus diberikan kepada Inter. Luciano Moggi sebagai Direktur Sepakbola Juventus saat itu pun ditangkap. Antara kubu Inter dengan Juventus pun terus saling tuding. Juventus merasa diperlakukan secara kejam dan terus mencari bukti-bukti baru untuk cahaya pembelaan.
Inter juga dituduh banyak pendukung Juventus telah mencuri gelar dan pemain-pemainnya.
Meskipun faktanya, Juventus putus asa sehingga memotong gaji pemain setelah degradasi sehingga melepas Ibrahimovic dan Patrick Vieira. Sementara Moratti dan Inter, merasakan pembenarannya meski dianggap sebagai keputusan paling kontroversial. Moratti justru menganggapnya sebagai "scudetto dari kejujuran".
Juventus pun membutuhkan waktu yang lama untuk pulih. Satu musim mereka berjuang promosi dari Serie-B 2006/2007. Kemudian berjuang di Serie-A selama empat musim, hingga akhirnya meraih Scudetto sembilan kali berturut-turut sejak Serie-A 2011/2012. Dan sekarang, Inter harus mengakui bahwa Juve masih penguasa sepakbola Italia yang terbesar.
Sejak Calciopoli, memang kritik terus meningkat kepada klub-klub yang paling terpengaruh atas keputusan pengadilan olahraga Italia ini. Menurut situs Repubblica.it pada 2007, sebanyak 88 persen dari orang-orang yang diwawancarai, menganggap bahwa mendukung klub sepakbola di Italia sudah tidak kredibel karena terlalu banyak kepentingan. Banyak juga suporter yang menjadikan Juventus sebagai klub yang tidak disukainya.
Meskipun dari kubu AC Milan lebih condong semakin tidak suka kepada Inter. Disamping itu, mantan kesebelasan Javier Zanetti itu pun menjadi sasaran kritik dan kecurigaan sedemikian rupa. Inter pun dianggap menjadi salah satu klub sepakbola yang tidak menyenangkan di Italia meskipun tidak sekental Juventus. Namun pada saat yang sama, Si Nyonya Tua masih menjadi klub sepakbola yang masih banyak dicintai sekaligus paling dibenci di Italia.
Tersudutkan oleh banyak populasi suporter di Italia, para pendukung Juventus justru tampil jauh lebih militan dan lebih jelas menunjukan kemarahannya. Hal itu terlihat jelas bagaimana dukungan mereka menjadi salah satu faktor Juventus kembali promosi kepada Serie-A 2007/08. Musim itu jugalah sebagai tanda kembali normalnya sepakbola Italia karena kembalinya Juventus.
Sejak musim itu jugalah pertandingan Derby d`Italia lebih berisiko terjadi kekerasan daripada pertemuan-pertemuan sebelum terjadi Calciopoli. Pertemuan panas yang paling panas setelah Calciopoli adalah Derby d`Italia pada 5 Desember 2009 di Turin. Sebelum pertandingan, Juventus membuat surat terbuka kepada para pendukungnya agar menahan diri menyanyikan lagu rasis kepada Mario Balotelli, penyerang Inter saat itu.
Saat pemain Inter tiba di Turin, bus dilempari telur oleh beberapa pendukung Juventus. Pertandingan ini diwarnai tujuh kartu kuning, satu kartu merah untuk Felipe Melo dan sejumlah pertengkaran sengit di lapangan. Khususnya adalah antara Gianluigi Buffon dengan Thiago Motta. Jose Mourinho dikeluarkan pada babak pertama karena berdebat dengan wasit.
Mourinho tidak terima atas dorongan Walter Samuel kepada Alessandro Del Piero yang menjadi tendangan bebas untuk Juventus.
Nama Baru Pertandingan Inter VS Juventus?
Sementara itu, julukan Derby D`Italia semakin dipersoalkan dalam satu tahun terakhir. Secara tradisional, kedua klub ini menjadi yang paling sering bersaing di papan atas Serie-A. Inter berhasil menjuarai kompetisi pertama dengan format Serie-A pada 1929/30. Sementara Juventus sudah menjadi klub sepakbola yang sukses sejak sepakbola Italia didirikan pada 1898.
Kedua klub ini pun merupakan peraih scudetto terbanyak sampai 1994. Tapi lewat dari waktu tersebut, Milan mampu meraih gelar lebih banyak daripada Inter. Itu adalah pemantik pertama atas keberatannya Derby d`Italia ini. Faktor paling relevan dalam julukan Derby d`Italia adalah persoalan degradasi. Salah satu faktor julukan Derby d`Italia lainnya yaitu tidak pernah terdegradasinya salah satu dari Inter maupun Juventus.
Namun semakin menjadi faktor utama persoalan nama Derby d`Italia setelah Juventus terdegradasi ke Serie-B 2005/2006. Apalagi degradasi atas terkuaknya kasus Calciopoli terhadap mantan klub Zinedine Zidane ini. Nama Derby d`Italia pun menjadi dipermasalahkan setelah Juventus degradasi ke Serie-B pada musim 2005/2006. Artinya, sangat jurnalis asal Italia perlu memberi nama baru terhadap pertemuan akbar sepakbola di Italia ini.
Namun sepakbola Italia dalam persepsi Calciopoli ibarat seperti dalam paradoks. Sebab efek utama dari aib itu tidak hanya menyulut persaingan dan saling kecurigaan antara seluruh elemen klub sepakbola Italia, melainkan juga mengorbankan gairah. Di antaranya adalah gairah-gairah pengungkapan pengaturan skor lain bagi segelintir orang yang masih mempercayainya. Baik di Italia, maupun dunia.
Komentar