Bagi Leonardo Veliz, semuanya berubah ketika kudeta terjadi.
Veliz, selain sebagai pemain timnas Chili, juga merupakan pendukung Allende. Ia juga terlibat dalam beberapa pekerjaan pemerintahan sebagai bagian dari upaya mewujudkan Jalan Sosialisme Chili.
Ketika pesawat Hawker Hunter terbang di sekitaran langit Istana Presiden La Moneda, Veliz menyimak berita kudeta itu dari radio. Ia benar-benar cemas. Allende ditemukan tewas di Istana La Moneda.
Baca Juga: Ketika Stadion Nasional Dijadikan Penjara (Kudeta Pinochet dan Sepakbola Chili Bagian 1)
Veliz merupakan bagian dari timnas Chili untuk menghadapi play off Piala Dunia 1974. Ketika kudeta terjadi, ia dan rekan-rekannya sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi laga melawan Uni Soviet. “Ketika saya tahu Allende tewas, saya tak keluar rumah selama tiga hari. Itu sangat berbahaya,” katanya, kepada jurnalis The Blizzard, Carl Worswick.
Chili semakin berbahaya. Mereka yang diduga berhubungan dengan organisasi sosialis dan komunis dipenjarakan dan dibunuh. Veliz barangkali beruntung karena ia merupakan pemain sepakbola yang dikenal masyarakat Chili. Dalam kondisi kudeta, segalanya jadi serba ruwet. Bandara Santiago ditutup sehingga tim Chili tak bisa berangkat ke Uni Soviet melalui Santiago.
Mereka berangkat dari bandara Cerrillos. Itu perjalanan yang panjang. Untuk membunuh waktu perjalanan, Veliz membawa kaset-kaset musik musisi kesukaannya yang, tak jauh-jauh dari ideologi sosialisme, seperti Quilapayun dan Victor Jara.
Ketika tiba di Uni Soviet, masalah kembali menghantam skuad Chili. Carlos Caszely, striker andalan mereka, tak diizinkan masuk ke Uni Soviet lantaran menurut pihak berwenang, foto di paspor Caszely tak sesuai dengan wajah aslinya. Caszely saat itu berkumis sementara tak ada kumis dalam foto paspornya.
Veliz dan rekan-rekannya tahu bahwa kondisi negaranya sangat tidak kondusif dan seorang jenderal diktator telah duduk sebagai penguasa. Pada 1974, sebelum mereka berangkat ke Jerman Barat, Pinochet mengundang seluruh punggawa timnas Chili dalam sebuah jamuan.
Carlos Caszely sadar betul siapa Pinochet. Maka, ketika ia tak menjabat tangan Pinochet pada jamuan makan malam itu, ia tak mungkin tak memikirkan risikonya. Ibu Caszley kemudian ditahan dan baru dibebaskan pada 1990 - di tahun yang sama ketika Pinochet turun tahta.
Pada 1985, kedua orang itu bertemu lagi dan bercakap-cakap seperti yang ditulis oleh Andreas Campomar dalam Golazo! A History of Latin America Football.
Pinochet: Kamu selalu memakai, dan tak pernah terpisah, dari dasi merah ini.
Caszley: Jadi, Pak Presiden. Saya memakainya dan dekat dengan hati saya.
Pinochet: (Dengan dua jarinya memeragakan sebuah gunting) Saya akan memotongnya.
Caszley: Anda bisa melakukannya, tapi hati saya akan tetap merah.
Caszley mendukung sayap kiri sejak 1960-an, dan ia merupakan pendukung Unidad Popular. Ia juga pendukung Gladis Maryn, yang pada 1994 diangkat menjadi Sekretaris Jenderal Partai Komunis Chili, dan orang pertama yang mengajukan gugatan kepada Pinochet.
Baca Juga: Para Eksil dan Sepakbola (Kudeta Pinochet dan Sepakbola Chili Bagian 3)
Pertandingan play off Piala Dunia di Uni Soviet dijadwalkan pada 26 September 1973 - dua minggu setelah kudeta terjadi. Di Chili, Pinochet terus memburu orang-orang yang diduga terlibat dengan sayap kiri. Stadion Nasional diubah menjadi penjara raksasa.
Sebelum menuju Uni Soviet, pemain timnas Chili transit di Argentina, Brasil, Panama, Guatemala, Meksiko, Prancis, Swiss, dan Jerman - dan mereka melakukan pertandingan uji di Swiss menghadapi Neuchatel Xamax FCS. Veliz ditunjuk sebagai kapten di pertandingan itu.
Ia tentu saja merasa bangga. Namun demikian, kesedihan tetap menyelimutinya lantaran penyair besar Chili dan orang yang ia kagumi, Pablo Neruda, meninggal di hari yang sama ketika pertandingan persahabatan itu digelar.
Chili rencananya juga akan melakoni laga persahabatan melawan Inter Milan, namun dibatalkan karena alasan politis. Drama lain terjadi saat bek andalan mereka, Elias Figueroa, yang disebut-sebut sebagai salah satu pesepakbola paling fenomenal Chili, baru tiba di Italia dan tak tahu harus ke mana.
Bahkan, Rusia juga mempertanyakan, apakah pertandingan itu bisa digelar. Dengan banyak rintangan yang telah dilalui, hasil imbang di Uni Soviet merupakan prestasi yang luar biasa bagi Chili. Leg kedua rencananya akan dimainkan di Stadion Nasional.
Uni Soviet tak mau bermain di Stadion Nasional sebagai sebentuk aksi solidaritas. Mereka menganggap Stadion Nasional bukan lagi sebagai sebuah stadion yang digunakan untuk menggelar sepakbola, melainkan tempat penyiksaan dan tempat eksekusi para patriot yang mendukung pemerintahan Allende.
Uni Soviet mengusulkan agar pertandingan digelar di negara yang netral, namun FIFA menolaknya. Laporan New York Times menyebut bahwa Helmut Kaeser, Sekjen FIFA kala itu, secara rahasia berbicara pada Federasi Sepakbola Chile untuk menyetujui pertandingan digelar di kota lain di negara Chili.
Namun, Uni Soviet tetap bersikeras dengan sikapnya, bahwa mustahil memainkan pertandingan di Chili. FIFA memutuskan mendiskualifikasi Uni Soviet. Namun, Chili harus tetap bermain meski tanpa lawan.
“Bayangkan, apa yang saya rasakan pergi ke Stadion Nasional untuk melakoni salah satu pertandingan paling memalukan dalam sejarah sepakbola yang seharusnya tidak pernah terjadi. FIFA telah memberitahu kami bahwa kami harus tetap tampil dengan perlengkapan kami, kick-off dan kami mencetak gol meski tak ada lawan di sana,” ujar Veliz kepada Carl Worswick.
Chili menang dengan skor 1-0. Chili, negara yang telah dikuasai militer berkat dukungan Amerika, lolos ke Piala Dunia 1974 dengan mundurnya Uni Soviet. Federasi Sepakbola Uni Soviet didenda sebesar 1.700 dolar. Itu merupakan kali pertama sebuah negara didiskualifikasi dari kualifikasi Piala Dunia karena alasan politik.
Komentar