Cerita Suap di Balik Terpilihnya Qatar Sebagai Tuan Rumah Piala Dunia 2022

Cerita

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Cerita Suap di Balik Terpilihnya Qatar Sebagai Tuan Rumah Piala Dunia 2022

Qatar didaulat menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 pada 2 Desember 2010, setelah bersaing dengan Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Amerika Serikat. Yang “menarik”, jalan Qatar untuk menjadi tuan rumah adalah dengan jalan suap.

FIFA, menurut Simon Kuper, dalam tulisannya yang terbit di askmen.com, lebih condong memilih negara yang belum pernah mempunyai pengalaman menjadi tuan rumah turnamen besar seperti Piala Dunia. Sepp Blatter, yang masih menjabat sebagai Presiden FIFA kala itu, ingin memberi warisan. Qatar merupakan negara potensial dengan target pasar baru. Blatter tak ingin meninggalkan titik putih sepakbola dalam sejarah kepemimpinannya.

Keberlimpahan minyak bumi di Qatar menjadikan negara tersebut mampu melakukan apa saja dalam usaha untuk terpilih menjadi tuan rumah. Qatar pernah mensponsori pertemuan Konfederasi Sepakbola Afrika (CAF) di Angola. Di sana, Qatar melakukan presentasi agar anggota Exco FIFA dari Afrika memilih Qatar dalam proses pemilihan.

Setelah itu, dilansir dari The Guardian, Issa Hayatou, Wakil Presiden FIFA dari Kamerun, dan Jacques Anouma dari Pantai Gading dikabarkan menerima suap sebesar US$ 1,5 juta untuk memilih Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.

Mohammed bin Hammam “Membeli” Piala Dunia

Sosok yang berpengaruh dalam terpilihnya Qatar sekaligus isu suap di balik pemilihannya adalah Mohammed bin Hammam, pria berkewarganegaraan Qatar yang juga menjabat Presiden AFC dari 2002 hingga 2011.

Dalam pemilihan tuan rumah, Bin Hammam bercerita kepada Kuper bahwa ia tak memilih negara mana yang akan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018. Namun, untuk 2022, tentu saja ia memilih Qatar. Bukan perkara ia merupakan orang Qatar, melainkan ia juga ingin mencalonkan diri sebagai Presiden FIFA.

Sebelumnya, mantan ketua federasi sepakbola Qatar itu merupakan salah satu orang yang mendukung Blatter dalam pemilihan Presiden FIFA pada 1998 (ketika Joao Havelange pensiun). Ia menyuap pejabat FIFA dari Afrika untuk memilih Blatter. Bin Hammam menjadi orang kepercayaan Blatter dan, pada 2007, tiba saatnya Blatter membalas jasa Bin Hammam.

Di tahun itu, Blatter dan Bin Hammam berada dalam satu meja dalam sebuah acara makan malam privat. Blatter menunggu hingga percakapan terjeda, menyesap minuman sembari bersandar dalam kursinya, dan mengembangkan senyum yang cemerlang. “Kita akan membawa Piala Dunia ke Qatar,” kata Blatter. Adegan itu terekam dalam buku The Ugly Game: The Qatari Plot to Buy the World Cup yang ditulis oleh Heidi Blake dan Jonathan Calvert.

Blake dan Calvert menelusuri jejaring orang-orang yang menerima suap dari Bin Hammam, yakni mereka yang berasal dari konfederasi sepakbola Asia dan Afrika. Melalui perusahaan miliknya, Kemco, Bin Hammam menyetorkan uang kepada para delegasi yang hadir pada sebuah pertemuan AFC di Kuala Lumpur.

Dua tahun jelang pemilihan tuan rumah Piala Dunia 2022, Bin Hammam telah membayar lebih dari $5 juta kepada para pemimpin 30 federasi sepak bola di seluruh Afrika dalam bentuk uang tunai dan transfer sebanyak $200.000 dari dana gelap yang dioperasikan oleh stafnya di Kemco.

Surat Kabar Sunday Times menyebut bahwa Bin Hammam juga diduga mentransfer uang sejumlah $1,6 juta ke rekening bank Jack Warner yang menjabat sebagai wakil presiden FIFA (1997-2011). Senilai $450.000 di antaranya sebelum pemungutan suara untuk Piala Dunia,.

Pada 2011, Bin Hammam mencoba mematahkan dominasi Blatter dengan berencana mencalonkan diri sebagai presiden FIFA. Ia berjanji akan membuat FIFA menjadi organisasi yang lebih transparan. Namun, ia mundur tiga hari sebelum pemungutan suara.

Setelah itu, Bin Hammam dihukum tidak boleh beraktifitas dalam sepakbola seumur hidup oleh Komite Etik FIFA dengan alasan suap yang diberikan kepada 25 anggota Asosiasi Sepakbola Karibia (CFU).

Intrik FIFA Memudahkan Qatar

“Ketika kita memiliki kepala negara yang sangat cepat mengambil keputusan, seperti yang mungkin dilakukan Vladimir Putin pada tahun 2018, hal itu lebih mudah bagi kami (FIFA) sebagai penyelenggara daripada negara seperti Jerman, di mana kita harus bernegosiasi di tingkat yang berbeda,” ujar Sekretaris Jenderal FIFA 2007-2015, Jerome Valcke, dikutip dari BBC.

Dibandingkan dengan empat negara pesaingnya, Qatar tentu saja sangat sesuai kriteria FIFA. Selain belum pernah menyelenggarakan turnamen besar sepakbola dunia, Qatar merupakan negara yang otoriter dengan sistem monarki absolut. Saat ini, Qatar dipimpin oleh seorang Emir bernama Tamim bin Hamad Al Thani, yang menggantikan ayahnya, Sheikh Khalifa bin Hamad Al Thani, pada 2013.

FIFA diketahui telah menjalin hubungan dengan Qatar sejak Sheikh Khalifa bin Hamad Al Thani masih berkuasa lewat Bin Hammam.

Mehran Karava, dalam penelitian berjudul Royal Factionalism and Political Liberalization in Qatar, menyebut bahwa negara Qatar menikmati kapasitas yang signifikan dalam hubungannya dengan masyarakat. Peningkatan kapasitas negara ini sebagian besar telah berkembang melalui penetrasi efektif negara atas domain sosial, menjadikan masyarakat sipil tidak relevan, dan melalui negara yang mengikatkan dirinya pada modal internasional.

Mehran melanjutkan bahwa ada juga beberapa inovasi kelembagaan, yang ditandai dengan berdirinya Qatar Foundation dan banyaknya organisasi yang berafiliasi dengannya. Hal itu sekaligus meningkatkan kemampuan transformatif negara dalam kaitannya dengan aktor sosial dan politik utama. Sejauh ini, yang paling penting dari aktor-aktor kunci tersebut adalah anggota keluarga penguasa. Persaingan dan/atau gesekan politik terbatas pada lingkaran dalam penguasa langsung itu sendiri.

Jika dibandingkan dengan empat pesaingnya untuk menjadi tuan rumah, maka dengan penjelasan Mehran di atas menjadi logis bahwa FIFA akhirnya memuluskan jalan untuk Qatar. Qatar negara kecil namun sangat kaya dan kondisi negaranya dipegang oleh sebuah monarki. Rusia, misalnya, meski tidak dipimpin dengan sistem monarki, meminjam istilah Jerome Vlacke, memiliki presiden yang sangat kuat. Di sisi lain, Qatar juga pangsa pasar baru di mana FIFA lebih cenderung memilih negara yang belum pernah menyelenggarakan turnamen sepakbola besar sebelumnya.

Lalu apa yang akan diperoleh Qatar setelah melangsungkan Piala Dunia? Tentu saja tak jauh-jauh dari bisnis.

Setelah resmi diumumkan menjadi tuan rumah, Qatar sangat aktif dalam urusan sepakbola. Qatar Foundation, misalnya segera mensponsori klub-klub besar Eropa, sebagaimana Qatar Airways. Jangan lupakan pula bahwa Qatar National Bank (QNB) pernah menjadi sponsor Liga Indonesia.

Dalam aspek bisnis, Qatar ingin menunjukkan kepada negara-negara Timur Tengah, khususnya kepada Uni Emirates Arab yang secara ekonomi global khususnya sepakbola menjadi pesaing mereka, bahwa mereka bisa menyelenggarakan Piala Dunia dan ada potensi bisnis tertentu yang bisa diraup dari sana.

Kematian Buruh Migran

Terpilihnya Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 mendapat banyak sorotan. Selain suap, yang menjadi perhatian dunia adalah pelanggaran kemanusiaan kepada buruh yang membangun infrastruktur Piala Dunia. Banyak laporan dari berbagai media internasional yang menyebut bahwa pembangunan Piala Dunia merenggut ribuan korban jiwa pekerja dari Asia Selatan.

The Washington Post pada 2015 menyebut ada sekitar 1.200 pekerja yang meninggal. Jumlah kematian yang dilaporkan The Washington Post adalah jumlah pekerja yang meninggal selama mempersiapkan infrastruktur untuk Piala Dunia. Jumlah pekerja migran di Qatar memang sangat tinggi.

Laporan tersebut membuat otoritas Qatar murka. Saif Al Thaini, dari departemen komunikasi Qatar, mengirim surel kepada Washington Post. Ia menyatakan kekecewaan terhadap pemberitaan surat kabar tersebut. “Sebagai hasil dari artikel online Washington Post, pembaca di seluruh dunia kini telah dituntun untuk percaya bahwa ribuan pekerja migran di Qatar telah meninggal, atau akan meninggal karena membangun fasilitas untuk Piala Dunia 2022 – sebuah klaim yang sebenarnya tidak ada dasar,” tulis Al Thaini dikutip dari The Guardian.

Washington Post pada akhirnya memberi penjelasan tambahan bahwa angka-angka yang mereka sodorkan adalah angka akumulasi kematian pekerja migran di Qatar, bukan hanya kematian pekerja infrastruktur Piala Dunia.

The Guardian, pada Februari 2021 menyebut bahwa ada sekitar 6.500 pekerja yang meninggal di Qatar. Pemerintah Qatar menyebut bahwa jumlah tersebut termasuk pekerja kerah putih yang telah meninggal di Qatar setelah bekerja bertahun-tahun. Selain itu, 20% pekerja migran bidang konstruksi memang berasal dari negara-negara Asia Selatan dan telah terjadi 10% angka kematian di sektor tersebut.

***

Dengan sederet permasalahan yang ada, mulai dari suap, kematian pekerja migran, hingga diskriminasi terhadap suatu kelompok, Piala Dunia 2022 bisa jadi menjadi Piala Dunia yang paling kontroversial. Tidak mengherankan beberapa kelompok suporter menyatakan memboikot Piala Dunia 2022.

Komentar