"Satu hari memang cuma 24 jam, tetapi hari-hari terasa berjalan dengan amat sangat pelan, juga karena tak bisa tidur. Di malam hari, Anda bisa mendengar semuanya (suara ledakan dari peperangan)," kata Roberto De Zerbi kepada Radio 105 ketika mengenang hari-hari menakutkan ketika terjadi perang di Ukraina.
Jika mengenang masa suram itu, De Zerbi merasa seperti hidup dalam mimpi buruk yang panjang. Namun, roda kehidupan memang sudah semestinya berputar bagi siapapun yang mau berjuang dan bangkit untuk kehidupannya. Hal ini juga terjadi pada De Zerbi. Ia dikritik, diragukan, dan disepelekan yang sudah menjadi makanan selama kariernya melatih sepakbola.
Meski demikian, ia tak menyerah pada karir dan filosofi permainannya. Setelah malam kelam di Ukraina, kini ia akhirnya merasakan pagi indah nan cerah di kota pantai Brighton & Hove, di timur Sussex. Sembari ia memimpin Brighton & Hove Albion F.C bertanding dan mempertontonkan permainan atraktifnya.
Brighton berhasil menampilkan performa yang fantastis selama musim 2022/23, meski sempat kehilangan pelatih yang sudah membuat tim ini berkembang yaitu Graham Potter pada September 2022 serta menjual banyak pemain kunci seperti Neal Maupay, Marc Cucurella, dan Yves Bissouma di musim panas. Kemudian disusul bintang mereka Leandro Trossard ke Arsenal di musim dingin 22/23.
Semua itu tidak serta merta membuat Brighton hancur. Tak sedikit pula yang menilai Brighton akan mengalami masa transisi pasca kepergian Potter ke Chelsea. Tapi sebaliknya, hal itu malah membuat Brighton semakin kuat karena mendapatkan pelatih yang tepat dan merupakan upgrade dari Potter dalam diri De Zerbi.
Pada awalnya, Brighton dinilai mengambil banyak risiko karena menunjuk pelatih yang minim pengalaman di EPL, tapi De Zerbi mampu mengatasi semua kritik dan keraguan yang ditujukan kepadanya. Namun semua penilaian tentang De Zerbi di awal, memang dirasa wajar karena memang faktanya demikian.
Sebelum melambung bersama Brighton, baik sebagai pemain maupun pelatih, De Zerbi memang belum punya prestasi yang dibanggakan. Ia juga sangat jauh dari perbincangan. Namun, ia memulai karir kepelatihannya dengan baik di klub Serie C, Foggia Calcio. Di klub ini juga De Zerbi mulai coba memainkan filosofi permainan sepakbolanya yang atraktif, mendominasi penguasaan bola, dan membangun serangan dari bawah.
Tak tanggung-tanggung ia berhasil membawa Foggia menjuarai Serie C pada musim 2015/16. Selama De Zerbi melatih, rataan gol Foggia berhasil mencapai 1,89 gol per laga. Barangkali dari pencapaian ini pula yang membuatnya diminati Palermo dan direkrutnya pada September 2016.
Namun performa buruk yang ia tunjukkan membuatnya hanya bertahan seumur jagung di Palermo. Dari 13 laga yang ia pimpin, klub ini hanya menang 1 kali dan kalah 10 kali. Ia juga mengalami rentetan kekalahan beruntun yang akhirnya berujung pada pemecatan pada bulan November 2016. Setelah pemecatan ini, De Zerbi menganggur hampir satu tahun lamanya sebelum akhirnya klub promosi Serie A, Benevento meminangnya di tahun 2017.
Setelah 29 laga ia jalani bersama Benevento dengan rekor yang kurang baik yaitu 6 menang, 3 seri, dan 20 kali kalah, ia menerima tawaran untuk melatih Sassuolo pada Juli 2018. Berbeda dengan hasil buruk di tiga klub sebelumnya, ia bertahan lebih lama di Sassuolo karena filosofi permainannya mulai memberikan hasil yang bagus. Di musim pertamanya, De Zerbi membawa klub berjuluk I Neroverdi itu finis di posisi 11 klasemen Serie A.
Kemudian ia membawa Sassuolo cukup stabil di pada dua musim terakhirnya yaitu finis di posisi 8 klasemen Serie A. Walau membawa hasil yang cukup baik untuk Sassuolo, De Zerbi mendapati banyak dikritik lantaran filosofi bermainnya yang dinilai sangat nekat. Benar saja, meski stabil di 10 besar dengan permainan atraktifnya, statistik gol dan kebobolan Sassuolo sangatlah tipis.
Di musim 2019/20 mereka mencetak 69 gol namun kebobolan 63 gol. Sedangkan di musim terakhirnya, anak asuh De Zerbi memasukkan 64 gol dan kebobolan 56 gol. Namun tentang ide permainan De Zerbi yang cenderung nekat ini memang cukup masuk akal ketika ia mengatakan bahwa idenya tersebut terinspirasi dari sosok Pep Guardiola. Ia terang-terangan mengenai hal ini ketika mengunjungi Pep saat masih melatih Bayern Munchen.
"Pengalaman yang sangat menarik. Tim Bayern dan Barcelona-nya adalah model yang menginspirasi saya," kata De Zerbi dikutip dari La Repubblica. "Tapi sejak masih menjadi pemain, saya sudah menghafal berbagai konsep dan mengadopsi mereka menjadi milik saya sendiri. Saya punya ide sepakbola saya sendiri," lanjutnya.
Baca Juga:Murid-Murid Pep Guardiola
Setelah tiga musim yang gemilang dan berbekal pengalaman berharga di Palermo dan Benevento, De Zerbi meninggalkan Sassuolo untuk menguji filosofi permainannya di negara lain, pergi jauh dari Italia untuk melatih Shakhtar Donetsk pada 2021. Di Shakhtar, kesuksesannya semakin terlihat ketika berhasil memberikan gelar Piala Super Ukraina pada musim 2021/22. Namun kesuksesannya bersama Shakhtar harus berakhir lebih cepat lantaran perang di Ukraina. Pada saat itu, ia sama sekali tidak bisa memikirkan tentang sepakbola.
"Ada yang tidur di bunker, ada yang tidur di kamar sendiri. Saya tidur di kamar untuk memahami apa yang terjadi di luar hotel, tetapi saat mendengar ledakan, saya lari ke bunker," kenang De Zerbi.
Waktu berlalu, mimpi buruk itu pun kini tinggal menjadi kenangan, namun apa yang ia alami akan selalu menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Kemudian, setelah semua mimpi buruk dan meninggalkan Ukraina pada 2022, De Zerbi yang awalnya dinilai akan kembali ke Italia justru memilih Inggris sebagai rumah barunya. Pada September 2022, De Zerbi akhirnya menerima tawaran untuk mengisi posisi pelatih Brighton yang kosong sepeninggal, Potter yang hijrah ke Chelsea.
Pada awal kedatangannya, ia sudah menerima sambutan sinis dari legenda Liverpool, Graeme Souness yang mengatakan bahwa kalau De Zerbi adalah pelatih bagus dia tidak akan melatih tujuh tim berbeda dalam sembilan tahun terakhir. Ia juga mengatakan bahwa De Zerbi tidak tahu menahu soal EPL.
"Menurut saya ini berisiko. Anda menunjuk seseorang yang tidak tahu sepakbola kita," kata legenda Liverpool itu kepada talkSPORT. "Kalau dicari di Google, Anda bakal menemukan dia melatih tujuh tim berbeda dalam sembilan tahun. Kalau Anda memang seorang pelatih bagus, harusnya tim mau mempertahankan Anda," lanjutnya.
Namun setelah tujuh bulan melatih Brighton, segala kritik, keraguan dan ketakutan tentang dirinya, akhirnya bisa diredam lantaran ide dan filosofinya yang kian menyempurnakan Brighton. De Zerbi pun berterima kasih kepada Potter karena telah mewariskan tim hebat padanya.
"Saya harus berterima kasih kepada Graham Potter karena saya menemukan tim yang sangat hebat dan kuat dan sekarang saya mencoba untuk memberikan ide saya," kata De Zerbi setelah mengalahkan Chelsea 1-2 di Stamford Bridge pada (15/4) lalu.
Baca Juga:Kim Min-jae : Bek Tengah Super Lengkap
Brighton: Dibangun Potter, Disempurnakan De Zerbi
Setelah lolos dari degradasi di musim 2020/21 dengan finis di peringkat 16, klub berjuluk The Seagulls ini meledak di musim berikutnya bersama Potter. Di musim-musim sebelumnya Brighton hanya bersaing menghindari degradasi, di musim 2021/22 mereka tak lagi khawatir dengan degradasi dan finis di peringkat sembilan klasemen Liga Primer Inggris.
Ini juga menjadi rekor peringkat tertinggi Brighton saat tampil di kasta tertinggi Liga Primer Inggris. Sebelumnya, rekor terbaik mereka adalah di musim 1982/82 yaitu finis di peringkat 13. Sebelum Potter pindah ke Chelsea di tengah musim 2022/23 mereka sempat mencapai peringkat empat klasemen sementara Liga Inggris di pekan ke enam.
Pada musim 2021/22 di bawah asuhan Potter, Brighton berhasil mengadopsi gaya permainan menyerang yang agresif dan sering menguasai bola, serta fokus membangun serangan dari bawah. Formasi tiga bek seperti 3-4-2-1 atau 3-5-2 menjadi pakem favorit Potter di masa kepelatihannya di Brighton. Ia menilai formasi ini mampu memberikan lebih banyak opsi dalam membangun serangan dan menciptakan kreativitas di lapangan tengah. Selain itu, formasi ini juga dinilai akan memberikan perlindungan ekstra di bagian pertahanan dan keseimbangan baik dari menyerang ataupun bertahan.
Alexis Mac Allister menjadi pemain yang memiliki peran krusial dalam sistem permainan Potter tersebut. Mac Allister yang awalnya adalah seorang ‘pemain no 10’ diubah perannya menjadi ‘nomor 6’ yang beroperasi dengan lancar menguasai bola, bersama Moises Caicedo sebagai gelandang box-to-box yang punya peranan lebih defensif. Peran itu memberikan kebebasan bagi Pascal Gross untuk bermain di beberapa peran bersama Trossard yang bermain sebagai second striker di belakang Danny Welbeck.
Dalam sistem ini, Trossard berkembang pesat saat diberi ruang untuk berlari dan membawa bola ke depan jika memungkinkan. Di posisi bek sayap, Potter biasa memakai Solly March dan Pervis Estupinan. Mereka berdua bermain di sisi sayap untuk menjaga kelebaran tim.
Sedangkan di posisi bek, trio Lewis Dunk, Joel Veltman, dan Adam Webster tak tergantikan. Posisi penjaga gawang Robert Sanchez juga sangat berpengaruh dengan ikut serta dalam proses membangun serangan. Kontribusi mereka tidak dapat dilewatkan dalam sistem permainan Potter di Brighton.
Dalam fase membangun serangan, Potter menilai Sanchez adalah penyerang pertama dalam tim dari belakang. Formasi 3 bek juga membantu dalam menciptakan lebih banyak opsi passing untuk penjaga gawang. Bahkan Guardiola sempat memuji bagaimana kualitas Sanchez dalam membangun serangan.
“Mereka (Brighton) tahu persis apa yang harus dilakukan. Mereka melakukan build-up dengan penjaga gawang yang bagus,” kata Guardiola dikutip dari The Athletic.
Berbeda dengan Potter, dari awal karirnya De Zerbi mematenkan formasi 4-2-3-1 dan 4-3-3 seperti yang ditunjukkan di Sassuolo. Di bawah kepemimpinan De Zerbi, Sassuolo mengadopsi gaya permainan menyerang dan menekan lawan dengan intensitas yang tinggi. Mereka cenderung menguasai bola dan mencoba untuk menciptakan banyak peluang dengan melakukan pergerakan-gerakan yang cepat dan menggiring bola dengan kecepatan tinggi.
Sassuolo sering memainkan kombinasi-kombinasi pendek dengan para pemain mereka, yang membantu mereka mempertahankan penguasaan bola dan membuat pergerakan yang sulit diprediksi oleh lawan. Meskipun gaya permainan Sassuolo yang menyerang terkadang dapat meninggalkan lini belakang mereka terbuka, De Zerbi telah berhasil membangun sistem pertahanan yang cukup solid.
Sassuolo sering menggunakan pressing yang intens dan tekanan yang tinggi untuk memenangkan bola di daerah lawan, yang membantu mencegah serangan balik lawan dan mengurangi tekanan pada lini belakang mereka. Hal ini yang kemudian ia terapkan di Brighton. Sama seperti Potter, De Zerbi punya ide permainannya sendiri dan dia memegang teguh hal tersebut.
Meski awalnya ia menjaga bentuk tiga bek dari Potter sembari membiasakan diri dengan skuadnya. Namun segera setelah ia menemukan momen yang tepat, ia kembali dengan 4-2-3-1 kesayangannya. Sejak De Zerbi mengambil alih, Brighton berhasil memenangkan 16 laga dari 32 pertandingan dan membuat rataan gol tinggi yaitu mencapai 2,34 gol per laga. Sangat tinggi bahkan lebih tinggi dari Potter saat menangani Chelsea yang hanya catatkan 1,06 gol per laga dari 31 pertandingan sebelum akhirnya ia dipecat pada awal April lalu.
Walau kehilangan beberapa pemain kunci Potter, tampaknya hal itu tidak dipermasalahkan De Zerbi. Ia bahkan berhasil menyulap beberapa pemain yang berhasil menjalankan peran baru seperti Mac Allister, March, Gross, dan Veltman. Meski mendapat peran baru, mereka mampu menjawab kepercayaan pelatih dengan sangat baik.
Mac Allister yang bermain lebih ke belakang kini dikembalikan ke posisi 10 menjadi pemain kreatif di tim. March juga menjelma jadi pemain yang lebih berbahaya setelah dijadikan winger kanan dalam sistem De Zerbi. March berhasil mencetak 7 gol 7 assist dari 31 pertandingan di EPL musim 2022/23 ini. Sangat jomplang jika dibandingkan dengan musim lalu yang hanya mencetak 2 assist dan tanpa gol sama sekali di EPL.
Jika Mac Allister dan March mengalami kemajuan dalam aspek serangan, Gross yang di awal musim tampil mengejutkan dengan mencetak 3 gol dan 1 assist di 6 pekan awal musim 2022/23 ketika bermain di posisi belakang striker, kini ia mendapatkan peran baru sebagai penjaga keseimbangan lini tengah Brighton ala De Zerbi. Sedangkan Veltman yang berposisi sebagai bek tengah-kanan saat bersama Potter diubah menjadi bek kanan oleh De Zerbi. Namun yang paling membedakan De Zerbi dan Potter adalah bagaimana fase build-up.
Dalam artikel yang ditulis Guillaume, ia mengatakan bahwa fase build-up Brighton era De Zerbi membentuk layaknya jam pasir. Jam pasir yang ia maksud adalah membangun serangan melalui dua bek tengah, dua gelandang tengah, dan dua penyerang dalam formasi 4-2-3-1. Guillaume juga mengatakan bahwa struktur ini dinamai demikian karena analogi simbolisnya dengan waktu dan tempo.
Hebatnya, dalam melakukan fase build-up ini, para gelandang Brighton memposisikan diri mereka bergantung terhadap rekan satu tim mereka, tidak tidak bergantung terhadap posisi lawan. Singkatnya apapun yang terjadi, perlahan namun pasti, jam pasir ini akan terbentuk dengan sendirinya, tergantung pergerakan dari pemain Brighton itu sendiri terutama Caicedo dan Gross yang jadi inti dari leher jam pasir. Hal ini juga yang menjadikan Brighton sebagai tim dengan fase membangun serangan terbaik di dunia. Bahkan hal ini menuai pujian langsung dari inspiratornya, Guardiola.
“Tim terbaik di dunia dalam hal membangun serangan dari belakang adalah Brighton,” kata Pep dilansir dari ESPN. “Tidak ada tim yang lebih baik yang membuat proses membawa kiper, bola, ke kuarter terakhir. Tidak ada tim yang lebih baik dalam sepak bola modern saat ini," lanjutnya.
Menarik mengikuti kiprah De Zerbi dalam menyempurnakan Brighton untuk merusak dominasi tim ‘big six’ di EPL setiap musimnya. Bukan tidak mungkin De Zerbi mampu mengeluarkan terobosan-terobosan baru bukan untuk bersaing jadi juara EPL, namun paling tidak mereka akan selalu jadi tim yang paling menghibur di EPL.
Komentar