Dua tim pengoleksi gelar Champions League terbanyak, Real Madrid (14 trofi) dan AC Milan (7 trofi), lolos ke babak semifinal. Pembicaraan tentang adanya “DNA Eropa” dalam dua klub tersebut mencuat.
Istilah DNA Eropa memang merujuk pada banyaknya gelar Eropa yang diraih dua tim tersebut. Dalam sepuluh tahun terakhir, Real Madrid tiga kali menjuarai Champions League di saat mereka gagal meraih gelar La Liga.
Tidak mengherankan jika tiap El Real tampil moncer di kompetisi Eropa sementara di La Liga kalah bersaing dari Barcelona atau Atletico Madrid, para penggemarnya atau penikmat sepakbola secara umum akan menyemati Real Madrid dengan julukan DNA Eropa.
Sementara itu, AC Milan menunjukkan DNA Eropanya setelah berhasil menyingkirkan juara Serie A musim ini, Napoli di babak perempat final.
Dalam ilmu biologi, DNA atau Deoxyribose Nucleic Acid, merupakan molekul yang erat kaitannya dengan penurunan sifat genetik yang diwariskan.
Dalam sepakbola, genetik dalam sebuah klub yang selalu dibanggakan adalah berupa sejarah dan tradisi yang dibangun dengan cara tertentu. Tentu saja adalah sejarah juara, tradisi sebagai pemenang.
Sejarah dan tradisi itu, pada mulanya, tidak melulu dibangun dengan menciptakan sistem pembinaan yang baik dan merekrut pemain-pemain top - meski kedua hal tersebut tetap merupakan sebuah fondasi. Konteks politik, dalam sejarah kejayaan sebuah klub, kerap menjadi salah satu faktor kunci.
Real Madrid, misalnya. Lima kemenangan El Real di lima edisi perdana Champions League (dulu bernama European Champion Clubs’ Cup) tidak semata karena mereka mempunyai pemain-pemain hebat seperti Alfredo di Stefano, Ferenc Puskas, Raymond Kopa, atau Francisco “Paco” Gento.
Lebih dari itu, Presiden Real Madrid saat itu, Santiago Bernabeu, sangat antusias dengan ide pembentukan kompetisi bagi tim-tim Eropa.
Santiago Bernabeu pun punya andil besar dalam narasi kejayaan Real Madrid sebagai raja Eropa. Madrid adalah kota di mana peraturan awal Champions League ditetapkan pada 21 Mei 1955. Di tanggal tersebut, Bernabeu bertemu dengan utusan FIFA dan perwakilan Le Quipe sebagai inisiator turnamen bagi klub-klub Eropa.
Bernabeu pun menjadi otak di balik ekspansi Real Madrid di bidang ekonomi dengan merekonstruksi stadion Chamartin yang kemudian diganti dengan namanya sendiri pada 1955 dengan kapasitas fantastis, sekitar 120.000.
Situasinya semakin mendukung karena, di tahun 1950-an, prestasi Timnas Spanyol tidak bisa dibanggakan. Setelah menjadi peringkat 4 pada Piala Dunia 1950, La Furia Roja tidak lolos ke Piala Dunia 1954 dan 1958.
Baca Juga:Juara La Liga (Bukan) Tanda Kebangkitan Barcelona
Spanyol, yang saat itu dipimpin oleh Jenderal Franco, menggunakan Real Madrid alih-alih Timnas Spanyol untuk melakukan soft diplomacy ke dunia luar. Saat itu, Spanyol memang mengisolasi diri dari politik luar negeri.
Kemenangan Real Madrid lima kali beruntun di Champions League (1955-1960) menjadi cara rezim untuk mengintegrasikan masyarakat yang sedang kesulitan ekonomi serta membangun citra kepada negara-negara lain bahwa mereka punya daya tawar melalui sepakbola dan mereka layak dilibatkan ke dalam pergaulan politik internasional.
Saat Real Madrid mulai membangun tim megahnya, AC Milan pun bersiap menjadi tim yang matang. Mereka memenangkan Scudetto pada 1951, untuk yang pertama kali semenjak 1907. Di Champions League, AC Milan berhasil melaju ke semifinal pada edisi pertama (1955).
Awal mula narasi DNA Eropa AC Milan dimulai pada 1960-an, ketika mereka berhasil menjadi juara pada edisi 1962/1963 dan 1968/1969. Kedua gelar Eropa itu mereka raih bersama pelatih yang sama, yakni Nereo Rocco.
Rocco mengandalkan pemain-pemain hebat. Pada 1961, ia merekrut Gianni Rivera, seorang fantasisti yang sangat diandalkan. Rocco juga merekrut Dino Sani, gelandang Brasil yang juga bagian dari skuad juara Piala Dunia 1958, serta bek asal Peru, Victor Benitez.
Pernah Paceklik Gelar Eropa dan Berhasil Meraihnya Kembali
Real Madrid dan AC Milan pun mengalami pasang surut sebagaimana tim-tim lain. Ada periode di mana mereka sangat sulit mendapatkan kembali trofi Si Kuping Besar. Untuk mengembalikan kejayaan itu, kedua tim mengandalkan berbagai cara, tentu dengan mendatangkan pemain dan pelatih andal.
Setelah menjuarai edisi 1966, Real Madrid baru kembali meraih gelar Champions League pada 1998 atau lebih dari tiga dekade kemudian. Meski cukup dominan di liga domestik (memenangkan 15 La Liga dan 7 Copa del Rey). Kehadiran trofi itu rasa-rasanya kurang mantap jika tidak mendapatkan gelar Raja Eropa.
Mendatangkan pemain-pemain besar masih menjadi tradisi, dan di tangan Jupp Henynckes itulah para pemain bintang Madrid berhasil mengangkat trofi Champions League ketujuh; la septima.
Pada musim 1999/2000, El Real mendapatkan trofi kedelapan dan, dua tahun berselang, mendapatkan trofi kesembilan - yang diraih di bawah pelatih yang sama, Vicente del Bosque.
Setelah itu, Madrid cukup lama didera paceklik gelar Eropa. Mereka kembali meraih trofi kesepuluh - la decima - pada 2014 di bawah asuhan Carlo Ancelotti, yang juga membawa AC Milan juara pada 2007.
Di rentang masa paceklik tersebut, Presiden Real Madrid Florentino Perez mendatangkan pemain-pemain kelas wahid, sebut saja Cristiano Ronaldo, Kaka, Karim Benzema, serta Fabio Cannavaro.
Dekade 1980-an, AC Milan menunjuk Arrigo Sacchi sebagai pelatih untuk menangani skuad yang saat itu cukup terpuruk. Saat itu, AC Milan dihuni oleh calon bintang Italia macam Franco Baresi, Carlo Ancelotti, dan Paolo Maldini, serta trio Belanda Marco van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijkaard.
Sacchi berhasil membawa AC Milan kembali berjaya di Eropa. Si Kuping Besar kembali berhasil dibawa pulang dua kali berturut-turut, yakni musim 1988/1989 dan 1989/1990.
Pada 1993/1994, Fabio Capello berhasil membawa AC Milan menjadi kampiun Eropa setelah di partai final menjungkalkan Barcelona asuhan Johan Cruyff dengan skor telak 4-0.
Dua gelar terakhir AC Milan diraih bersama Carlo Ancelotti pada 2002/2003 dan 2006/2007. Ancelotti pula yang berhasil mengantarkan trofi kesepuluh atau la decima bagi Real Madrid pada 2014.
Baca Juga:Kemerosotan Leicester City
Tidak Semua Klub Punya DNA Eropa
Narasi DNA Eropa itu terdengar pas-pas saja di tengah makin maraknya klub-klub Eropa yang didanai oleh juragan-juragan asal Jazirah Arab nyatanya gagal (atau belum) menjuarai Champions League.
City dan PSG jadi contoh paling sahih. Kedua tim tidak punya sejarah menjuarai Champions League sebagaimana AC Milan dan Real Madrid. Kedua tim itu, dengan caranya sendiri, sedang membentuk dan DNA Eropa mereka. Kedua tim sama-sama jagoan di liga domestik, tapi belum pernah sekalipun mengangkat trofi si kuping besar sejak dibeli investor dari Qatar.
Contoh lain, misalnya, adalah Napoli. Penampilan E Partinopei di Serie A begitu memukau. Namun, di Liga Champions, mereka justru dikalahkan oleh AC Milan di babak perempat final.
Tampaknya jalan bagi Napoli untuk bisa menjadi tim yang diperhitungkan di Eropa masih jauh. Dan sejarah memang membuktikan bahwa mereka tak bisa berbicara banyak di Eropa bahkan saat masih diperkuat oleh Diego Maradona.
Tapi, di sisi lain, punya sejarah dan tradisi besar di Eropa pun tidak akan menjamin bahwa suatu klub akan menjadi raja sepakbola Eropa di era modern. AC Milan menjadi contoh bahwa membangun kembali mentalitas mereka di Eropa perlu banyak waktu. Real Madrid, sebagaimana tradisi mereka, selalu berhasil merekrut pemain-pemain penting agar mereka bisa terus menjaga sejarahnya; tradisinya - selain ada kepentingan bisnis di sana.
Yang pasti, membentuk dan mewariskan DNA Eropa itu tidak mudah.
Komentar