Sebagai tim medioker selama bertahun-tahun, wajar jika tidak banyak memori yang melekat tentang Aston Villa. Sebagian besar dari para penikmat sepakbola Gen Z mungkin tidak mengetahui bahwa Kyle Walker pernah dipinjamkan ke Aston Villa, Robert Pires pernah menghabiskan masa tuanya di sana selama delapan bulan, dan Garry Cahill yang mengawali karirnya di Aston Villa U-18.
Beruntung seiring berkembangnya teknologi, para penikmat sepakbola lebih mudah terpapar informasi, termasuk informasi dari klub-klub papan tengah seperti Aston Villa. Dampak lebih lanjut, memori kita terhadap klub asal Birmingham ini semakin kaya. Kita semua tentu ingat bahwa pada musim 2020/2021 Liverpool menderita kekalahan telak 7-2 di Villa Park. Kita juga ingat munculnya beberapa pemain potensial yang terbukti mampu bersaing di Liga Inggris seperti Jack Grealish, Emiliano Martinez, hingga yang paling hangat, Ollie Watkins.
Meski demikian, 28 musim berkompetisi di level tertinggi Liga Inggris, belum ada satu pun gelar yang mereka raih. Prestasi terbaiknya adalah finis di peringkat kedua pada musim pertama era Premier League (1992/1993). Dalam dua dekade terakhir, Aston Villa hanya lima kali merasakan bertengger di 10 besar klasemen akhir. Sisanya, mereka lebih sering menghuni papan bawah dan sesekali papan tengah.
Prestasi terburuk Aston Villa adalah ketika mereka berakhir di dasar klasemen pada musim 2015/2016. Dari 38 pertandingan, tim berjuluk The Villans tersebut hanya memenangkan tiga pertandingan. Tidak heran jika hingga akhir musim, mereka hanya mampu mengumpulkan 17 poin saja (selisih 17 poin dari peringkat dua terbawah). Aston Villa pada musim tersebut sangat tidak stabil. Pergantian empat pelatih dalam satu musim tidak terhindakan dan hanya memperparah keadaan. Musim 2015/2016 menjadi awal dari masa kelam Aston Villa hingga mereka harus berjuang di Divisi Championship.
Apa penyebabnya?
Degradasi adalah muara dari berbagai masalah yang hinggap di kubu Aston Villa. Mulai dari skala kecil yang terus bergulir dan membesar seperti bola salju. Kemunculan masalah berasal dari internal klub yang berkutat antara keputusan pemilik, cepatnya perputaran komposisi tim, dan pemilihan pelatih yang tidak tepat sasaran. Kebijakan finansial turut memperburuk situasi tanpa ada solusi yang efektif dan efisien.
Randy Lerner mengambil alih kepemilikan Aston Villa pada pertengahan Agustus tahun 2006. Pria yang (pada saat itu) masih berusia 44 tahun tersebut mengemban misi membawa Aston Villa meraih kesuksesan secara berkelanjutan. Ia juga menegaskan bahwa untuk menuju tujuan tersebut membutuhkan waktu yang panjang.
“Kami berencana untuk membangun sebuah klub yang meraih kesuksesan secara berkelanjutan dan berjangka panjang. Rencana kami tidak akan terwujud dalam semalam. Akan tetapi, rencana-rencana tersebut akan dipertimbangkan dan dipikirkan dengan matang, lalu dikomunikasikan dengan jelas kepada para pendukung kami. Meskipun masih di awal musim, saya ingin memberikan pujian kepada Martin O`Neill dan skuatnya atas awal yang telah mereka lakukan di musim yang baru ini” ujar Randy Lerner dilansir melalui The Guardian (20/09/2006).
Kebijakan Lerner yang Salah Arah
Akuisisi Randy Lerner berdampak instan terhadap prestasi tim (setidaknya memperbaiki posisi klasemen). Musim sebelumnya Aston Villa hanya duduk di peringkat ke-16. Melihat situasi tersebut, sebelum musim kompetisi pertamanya dimulai (2006/2007) ia mengeluarkan dana sekitar 22 juta paun untuk mendatangkan pemain baru, yaitu Ashley Young (Watford), Stylian Petrov (Celtic), Shaun Maloney (Celtic) dan beberapa pemain pinjaman. Di akhir musim, Aston Villa finis di peringkat ke-11 (lima tingkat lebih baik dari musim sebelumnya).
Melihat peningkatan tersebut, Lerner semakin “berani” mengeluarkan dana untuk merekrut lebih banyak pemain yang dianggap lebih berkualitas. Rasa kecintaannya kepada Aston Villa kian membesar dan semakin berambisi membawa Villa ke level tertinggi. Martin O’Neil sebagai pelatih menghabiskan hampir 50 juta paun untuk menyambut musim 2008/2009. Salah satu rekrutannya adalah gelandang yang saat ini membela Brighton and Hove Albion, yaitu James Milner. Optimisme Lerner semakin tinggi sebab dana yang ia kucurkan diiringi dengan posisi klasemen yang semakin baik. Musim 2007/2008 dan 2008/2009 Aston Villa berhasil menembus enam besar dan berkompetisi di Eropa.
Meski demikian, keberanian Lerner dalam mengeluarkan dana transfer berdampak pada keuangan yang tidak sehat. Laporan keuangan (Mei 2009) yang dilansir dari Bleacher Report menjelaskan rekor kerugian klub sebesar 46,2 juta paun. Padahal, tahun sebelumnya angka kerugian hanya sebesar 7,3 juta paun (ada peningkatan 38,9 juta paun). Biaya operasional melonjak 50% dari 70,8 juta paun menjadi 105,1 juta paun. Penyebab utamanya adalah biaya upah staf dari yang jumlahnya 86 staf menjadi 134 staf. Sayangnya klub tidak memberi penjelasan urgensi dari penambahan staf yang signifikan. Investigasi dari The Times semakin membuka masalah finansial Aston Villa dengan mengungkap bahwa rasio gaji terhadap pendapatan klub (76,8%) berada di atas batas yang direkomendasikan UEFA yaitu sebesar 70%.
Hal ini menunjukan adanya kesalahan pengambilan kebijakan keuangan. Tentu saja penyebab mendasar dari pengeluaran Aston Villa yang membengkak adalah belanja pemain. Situasi diperparah karena pemain yang didatangkan tidak berkelanjutan sehingga mayoritas hanya membebani gaji saja. Laporan dari Bleacher Report tahun 2009 menyebutkan bahwa tiga musim pertama Lerner menjabat (2006-2009) ia telah menginvestasikan 125 juta paun untuk pemain baru. Jika ditinjau lebih jauh, total investasi Lerner mencapai 270 juta paun yang terdiri dari 62,6 juta paun untuk akuisisi, 108 juta paun dalam bentuk ekuitas, dan 97 juta paun dalam bentuk pinjaman. Laporan keuangan tahun 2009 sebenarnya menunjukan adanya peningkatan modal mencapai 25 juta paun. Namun, tidak seperti banyak pemilik lainnya, pembiayaan tersebut tidak digunakan untuk memperbaiki lapangan, baik melalui perluasan atau pembangunan stadion baru, melainkan untuk menyediakan dana bagi manajer untuk mengontrak skuad baru dengan gaji yang jauh lebih tinggi.
Kesalahan arah kebijakan keuangan Lerner berdampak jauh hingga menimbulkan utang. Utang bersih Aston Villa yang dilaporkan pada tahun 2009 telah meningkat sebesar 18% dari £72,3 juta menjadi £85,2 juta. Hutang bersih per 31 Mei 2009 terdiri dari £84,5 juta surat hutang dan £9,2 juta pinjaman bank dan cerukan dikurangi dengan £8,5 juta kas. Menurut ulasan The Times, hanya empat klub yang memiliki utang lebih banyak daripada Villa yaitu Manchester United, Liverpool dan Arsenal, dan Portsmouth.
Permainan tanpa Organisasi dan Struktur yang Jelas
Masalah yang dialami Aston Villa tidak hanya muncul di luar lapangan, tapi juga di dalam lapangan. Ketika Randy Lerner mengambil alih kepemilikan Aston Villa, Martin O’Neil yang bertangung jawab sebagai pelatih kepala. Kombinasi Lerner dan O’Neil di tiga hingga lima musim pertama menunjukan hasil positif dengan tiga kali finis di zona Eropa.
Meski demikian, masa-masa tersebut tidak berlangsung lama. Setelah berakhir di peringkat keenam pada musim 2009/2010, Aston Villa mengalami penurunan drastis. Hal ini ditandai dengan menurunnya produktivitas dan diperburuk dengan lini pertahanan yang mudah kebobolan. Tercatat mulai dari musim 2010/2011 hingga 2015/2016 (musim terdegradasi), selisih gol Aston Villa selalu negatif. Dampaknya, Aston Villa kembali menjelma jadi tim penghuni papan bawah.
Salah satu penyebabnya adalah kepergian Martin O’Neil pada Bulan Agustus tahun 2010. O’Neil yang telah memimpin Aston Villa dalam 190 pertandingan dan tiga musim berutur-turut membawa publik Villa Park merasakan kompetisi Eropa pergi bersamaan dengan hengkangnya pemain andalan mereka, James Milner, ke Manchester City. Lerner gagal mendapatkan pelatih yang mampu meneruskan O’Neil. Tercatat ada lima pelatih yang menukangi Aston Villa sebelum terdegrasi. Hanya Paul Lambert yang mampu bertahan cukup lama menjabat, yaitu dari Juni 2012 hingga Februari 2015. Sisanya, tidak pernah bertahan lebih dari 50 pertandingan.
Gerrard Houllier - Perancis - 40 Pertandingan
Alex McLeish - Skotlandia - 42 Pertandingan
Paul Lambert - Skotlandia - 115 Pertandingan
Tim Sherwood - Inggris - 28 Pertandingan
Remi Garde - Perancis - 23 Pertandingan
Musim 2015/2016 merupakan titik terendah Aston Villa secara permainan di lapangan. Mulai dari aspek infividu hingga kolektif. Dari sisi individu, penampilan Brad Guzan di bawah mistar mendapat sorotan paling tajam. Ia mencatatkan presentase penyelamatan di bawah rata-rata kiper lain. Statistik unik terlihat setiap Aston Villa unggul, penampilan Guzan menjadi lebih buruk dengan presentase penyelamatan di bawah 40 persen. Ketika memiliki penjaga gawang yang rentan, pertahanan Villa tidak mampu menjadi “penyaring” serangan yang solid. Struktur pertahanan sangat mudah terdisorganisasi yang menyebabkan timbulnya banyak celah. Maka tidak heran jika pada musim ini Aston Villa kebobolan 76 gol.
Dari sisi serangan, Aston Villa termasuk salah satu yang terburuk pada musim 2015/2016. Mereka menjadi tim terburuk ketiga dalam melepaskan tembakan tepat sasaran (shots on target). Tidak hanya itu, mereka juga sangat kesulitan masuk ke dalam kotak penalti lawan yang dibuktikan dengan presentase tembakan dari luar kotak penalti yang mencapai 48,1%. Rendahnya produktivitas Aston Villa dipengaruhi oleh perginya Christian Benteke ke Liverpool. Praktis mereka hanya bisa mengandalkan Jordan Ayew dan Gabriel Agbonlahor. Alhasil hingga akhir musim, Aston Villa hanya mencetak 27 gol.
Komentar