Jika sudah membicarakan sepakbola Indonesia saat ini, maka hanya carut-marut yang hampir pasti kita temukan. Dari segala permasalahannya, Liga Indonesia diputuskan untuk diundur selama hampir dua bulan, dan bahkan bisa lebih dari itu.
Kemudian mari kita berkaca kepada akar masalah sepakbola di Indonesia saat ini, maka kita akan menemukan memang banyak kesebelasan di Indonesia yang tidak sesuai standar yang telah ditentukan dalam Club Licensing Regulations (CLR) dari FIFA dan juga AFC.
Selain itu, dilaporkan juga kesebelasan banyak yang tidak membayar pajak serta gaji pemain yang belum terbayarkan dan tertunggak selama beberapa bulan.
Variasi dari permasalahan ini juga menyebabkan efek domino yang jika harus kami tulis semua di sini, mungkin baru tiga jam lagi Anda selesai membaca semuanya. Sangat kacau memang.
Baca juga tulisan kami di kolom #AboutTheGame di Detik Sport:Â Memahami Club Licensing Regulations dan Manfaatnya untuk Sepakbola Indonesia
Betapa sulitnya kesebelasan di Indonesia memenuhi standar yang sebenarnya demi kebaikan mereka sendiri, dan pada akhirnya untuk kebaikan kita semua: saya, Anda, dia, dan banyak orang lagi yang terlibat maupun yang tidak terlibat di sepakbola Indonesia.
Jangan malu juga sebenarnya, karena masalah ini pernah melanda beberapa negara, bahkan negara maju seperti Jepang. Saat itu banyak kesebelasan yang dinilai tidak sesuai standar dan tidak bisa memberikan jaminan bahwa mereka bisa berkompetisi sesuai peraturan yang berlaku, sehingga banyak kesebelasan yang bangkrut atau merjer.
Namun, jika kita mau berkaca, Jepang mungkin sekarang sudah terlampau maju, jadi mari kita lihat ke negara yang "senasib" dengan kita. Boleh lah kita tengok Vietnam.
Sekilas sepakbola di Vietnam
Sama seperti di Indonesia dan sama-sama berada di Asia Tenggara, sepakbola adalah olahraga yang paling populer di Vietnam. Federasi sepakbola Vietnam awalnya dijalankan oleh Vietnam Football Federation (VFF) yang sekarang memiliki liga utama dengan nama V.League 1.
Jika melihat kasus terbaru tentang Vietnam, yaitu pada kualifikasi Liga Champions AFC ketika juara ISL Persib Bandung digunduli 4-0 oleh peringkat ke dua Liga Vietnam, Hà N?i T&T. Sementara juara VâLeague 1 pada tahun 2014 adalah Becamex Bình D??ng.
V.League dicetuskan pada tahun 1980 dengan status liga semi-profesional yang kemudian dikenal dengan nama Vietnamese National A1 Football Cup.
Tujuh belas kesebelasan berpartisipasi dalam kompetisi yang dibagi menjadi tiga grup dan dilakukan dengan format kompetisi piala, dengan pemenang dari masing-masing kualifikasi grup melaju ke babak Championship.
Format ini berlanjut sampai 1995 ketika liga melakukan perubahan ke format liga yang lebih tradisional.
Liga sepakbola di Vietnam berubah status menjadi profesional di musim 2000/01. Pada musim itu juga nama V.League mulai dipakai. Dalam musim perdana V.League, hanya terdapat 10 kesebelasan akibat dari pelaksanaan standar yang ketat (selanjutnya akan kami bahas lebih detail).
Selama dekade berikutnya, liga tumbuh menjadi 14 kesebelasan dan sampai saat ini jumlah tersebut masih bertahan. Namun, bukannya tanpa hambatan, perjalan sepakbola Vietnam untuk sampai kepada sekarang ini sangatlah panjang dan berliku. Berikut kami akan menuliskan beberapa masalah yang sempat mereka hadapi.
Korban tewas
Keterikatan Vietnam terhadap sepakbola tidak selalu menjadi hal yang positif. Kadang fanatisme berlebihan bisa mengakibatkan bencana. Contohnya pada Agustus 1999, dilaporkan empat orang tewas dan 150 luka-luka dalam perayaan di jalanan setelah Vietnam menang 2-0 atas Myanmar di babak grup SEA Games.
Banyak yang terluka dalam balapan motor illegal di Ho Chi Minh City tersebut. Ketika polisi berusaha membubarkan kerumunan, mereka malah dilempari batu.
Kemudian pada April 2003, Associated Press melaporkan dari Danang bahwa 18 orang dituduh menusuk penjaga gawang Do Ngoc The sehari setelah ia membawa timnya menang atas Song Lam Nghe An 1-0.
The (ini bukan typo, tapi namanya memang seperti itu) adalah penjaga gawang kesebelasan Danang. Ia ditikam setelah ia keluar dari sebuah diskotek dan dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk menjalani operasi.
Seolah tidak belajar pada kasus tahun 1999, pada Desember 2008 Reuters melaporkan bahwa sedikitnya empat orang tewas selama malam perayaan di jalanan setelah Vietnam memenangkan gelar internasional pertamanya.
Tiga orang tewas dalam kecelakaan lalu lintas yang kembali terjadi di Ho Chi Minh City, dan seorang lainnya dilaporkan terbunuh di Ba Ria-Vung Tau. Pada saat itu, Vietnam mengalahkan Thailand dengan agregat 3-2 untuk memenangkan kejuaraan Piala AFF 2008.
Dalam pesta kemenangan yang antara lain dihabiskan dengan mengibarkan bendera, menyanyikan lagu, memukul-mukul panci dan wajan, dan menyusuri jalan-jalan sambil kebut-kebutan menggunakan sepeda motor, telah terjadi 183 kasus luka-luka, termasuk 63 diantaranya terjadi dalam kecelakaan lalu lintas.
Perjudian sepakbola
Pada pertengahan 2000-an, pasar taruhan sepakbola Vietnam diperkirakan bernilai sekitar 1 miliar dolar AS per tahun. Pihak berwenang menemukan 348 kasus yang melibatkan 1.554 orang yang bertaruh selama Piala Dunia di Jerman pada tahun 2006.
Kasus suap dan penyimpangan lainnya yang melibatkan sepakbola dan perjudian adalah masalah yang sudah mengakar di Vietnam.
Sebelumnya, pada tahun 2000, sepakbola dan judi gila-gilaan terjadi di Vietnam setelah negara tersebut kecanduan Euro 2000. Perjudian hampir merupakan hobi nasional di Vietnam. Meskipun illegal, kasus perjudian telah merakyat sampai ke kalangan siswa dengan nilai taruhan seperti secangkir kopi atau sarapan semangkuk mie
Perjudian sering membuat polisi menjadi sasaran empuk bagi suap dari taruhan. Sebagian besar perjudian memang mereka taruhkan pada pertandingan asing, bukan di liga lokal mereka.
Sementara kasus perjudian di liga nasional mulai berkembang sejak tahun 2001 lewat judi online.
Akhirnya pada Oktober 2002, polisi Vietnam menangkap tiga orang yang diduga kuat menjalankan dan memimpin sindikat perjudian illegal. Sindikat menjalankan judi melalui ponsel mereka dengan perjudian yang paling populer untuk pertandingan-pertandingan Liga Primer Inggris, Serie A Italia, La Liga Spanyol, dan Liga Champions UEFA.
Polisi mengatakan, setiap hari mereka bisa menghasilkan antara 35 sampai 55 juta dong (atau 2.300 sampai 3.700 dolar AS) dari perjudian sepakbola. Sejak saat itu, polisi terus melakukan penangkapan terhadp bandar judi sepakbola di Vietnam.
Sampai tahun 2008, dilaporkan polisi sudah menangkap lebih dari 350 bandar judi sepakbola yang juga terus tumbuh di Vietnam.
Setelah melakukan perang terhadap judi sepakbola, akhirnya pada Agustus 2013, Majelis Komite Nasional Vietnam menyetujui keputusan pemerintah pada taruhan berbasis bisnis untuk balap kuda, balap anjing, dan juga sepakbola internasional, dengan syarat taruhan minimal senilai 10.000 dong dan maksimal 1 juta dong (50 dolar AS) per hari.
Ketua Majelis Komite Nasional, Nguyen Van Hien, mengatakan bahwa angka-angka ini masuk akal karena 10.000 dong hanya cukup untuk membeli seikat kangkung. Namun, ke depannya ia menyarankan untuk meningkatkan tingkat minimal menjadi 50.000 dong dan jumlah maksimal menjadi 5 juta dong per hari untuk menghindari judi ilegal yang nilainya jauh lebih besar dari yang telah ditetapkan.
Tujuannya dilegalkannya perjudian ini adalah untuk menarik investasi (seperti kasino) dan menciptakan lapangan hukum untuk mencegah kejahatan sosial, terutama dalam taruhan sepakbola.
Dengan demikian, keputusan ini lebih bertujuan untuk sosial ketimbang target anggaran. Khusus untuk kasus perjudian ini, mungkin yang menjadi pengecualian untuk dicontoh oleh Indonesia. Bayangkan jika pemerintah Indonesia melakukan hal serupa, pasti negara ini tambah kacau.
Pengaturan skor sebagai konsekuensi dari judi sepakbola
Masalah perjudian yang mengakar memiiki konsekuensi tersendiri bagi negara Vietnam. Kasus pengaturan skor juga menjadi semakin marak akibat dari banyaknya kepentingan dalam perjudian sepakbola.
Pada pertengahan 2000-an, puluhan wasit, pelatih, pemain, dan ofisial ditangkap atas tuduhan pengaturan pertandingan. Pada bulan Januari 2006, ditemukan kasus bahwa kesebelasan lokal menyuap wasit dan lawan mereka sehingga mereka bisa promosi, memenangkan kejuaraan, atau tidak harus terdegradasi.
Sejak Agustus 2005, polisi setempat memang telah menemukan sekitar 50 wasit lokal, dewan direksi, dan pelatih yang terlibat korupsi dari beberapa kesebelasan.
Pada tahun 2005, 14 orang termasuk beberapa wasit dan pelatih dituduh terlibat suap selama V.League musim 2004/05. Diperkirakan perputaran uang lebih dari satu miliar dolar AS secara ilegal terjadi, dengan 200 juta ditransfer ke negara-negara asing dan daerah, terutama Hong Kong, Cina, Macau, dan Singapura.
Kemudian pada Desember 2006, terjadi skandal pengaturan pertandingan yang melibatkan delapan pemain di tim nasional U-23 Vietnam. Mereka dituduh menerima suap dari sindikat judi untuk pengaturan skor pertandingan melawan Myanmar selama SEA Games di Filipina.
Pengadilan memutuskan bahwa saat bermain melawan Myanmar, para pemain sengaja untuk menahan selisih gol kemenangan Vietnam tertahan pada angka satu gol. Sebagai imbalannya, mereka telah dijanjikan total 15.000 dolar AS oleh bandar judi.
Tidak berhenti sampai di situ, pada 2007 sebanyak tujuh wasit dan dua pejabat olahraga dinyatakan bersalah dalam kasus pengaturan skor dengan nilai suap mencapai 8.440 dolar AS.
Pada gelaran Piala AFF 2014 yang lalu juga bahkan sempat ada indikasi pengaturan skor pada laga Vietnam melawan Indonesia.
Langkah Vietnam memperbaiki sepakbola
Setelah banyak kasus di atas ditambah musim yang kacau akibat tuduhan korupsi wasit dan VFF yang tidak mau buka-bukaan terhadap kasus tersebut, 6 kesebelasan (??ng Tâm Long An, Hoà ng Anh Gia Lai, Hanoi ACB, Vissai Ninh Binh, Khatoco Khánh Hoa, dan Lam Son Thanh Hoa) mengancam untuk meninggalkan liga dan berencana untuk membentuk liga baru untuk tahun 2012.
Kasus kontroversial juga datang dari sponsor liga, EximBank, yang menyatakan niatnya untuk membatalkan kesepakatan sponsor liga. Para pejabat liga kemudian bergegas untuk menyelesaikan masalah, dengan mempekerjakan wasit asing untuk musim 2012.
Setelah pertemuan pada 29 September, perwakilan dari VFF, 14 kesebelasan V.League 1, dan 14 kesebelasan V.League 2 mengumumkan pembentukan VPF atau Vietnam Professional Football Joint Stock Company untuk mengelola V.League.
VFF tetap akan memiliki saham sebesar 36 persen di perusahaan baru tersebut, dan sisanya akan dimiliki oleh kesebelasan.
Dari musim 2012, kekuatan dalam mengatur liga dipindahkan dari VFF ke VPF. Nama V.League juga sempat berubah menjadi Super League, meskipun tidak lama setelah itu nama V.League kembali dipakai pada musim selanjutnya. Sementara divisi di bawahnya diberi nama V.League 2.
Pada saat yang sama, banyak kesebelasan menderita masalah keuangan dan sponsor, Akibat gagal memenuhi persyaratan untuk liga, banyak kesebelasan yang menarik diri atau bergabung (merjer) dengan kesebelasan lain.
Saat itu VPF memang melaksanakan seleksi ketat untuk V.League dengan syarat dana jaminan mencapai 25 miliar rupiah dari masing-masing kesebelasan. Hal ini menyebabkan jumlah kesebelasan di masing-masing divisi berkurang secara drastis.
Sampai saat ini, V.League 1 berjumlah 14 kesebelasan, sementara V.League 2 memiliki 8 kesebelasan.
Kesulitan dalam pemenuhan syarat ini menyebabkan banyak kesebelasan yang memangkas anggaran, terutama dengan memakai pemain muda (U-19) dan lebih mengembangkan pembinaan pemain (akademi).
Saat ini VPF dikelola oleh kalangan profesional dan jauh dari interupsi politik. Kasus pengaturan skor juga terus diurus oleh polisi.
Kesimpulan
Vietnam telah menunjukkan bahwa mereka memang kesulitan dalam memenuhi standar tinggi untuk mengikuti liga. Tapi mereka berusaha keras untuk bisa memenuhi standar itu. Kasus demi kasus seakan tak pernah berhenti mencuat. Hanya saja, sekali lagi, mencuatnya kasus demi kasus itu juga diikuti dengan penyelesaian yang serius. Wasit, pemain dan pengurus kesebelasan yang tersangkut kasus judi dihukum, bukan hanya oleh federasi sepakbola, tapi juga melibatkan kepolisian.
Liga mereka juga beberapa kali berubah format, tapi dengan itulah mereka terus mencari format yang ideal. Jumlah klub naik turun, tapi itu dampak dari rasionalisasi pengelolaan sepakbola. Krisis keuangan hingga tunggakan gaji,  sebagaimana terjadi di Indonesia, mereka coba selesaikan dengan menyesuaikan format kompetisi. Tak ada kengototan yang berlarut-larut untuk mempertahankan jumlah peserta kompetisi.
Guna menghindari kebangkrutan di tengah kompetisi, mereka menerapkan aturan tegas soal garansi simpanan uang yang harus disetorkan sebuah kesebelasan untuk menjamin bahwa kebutuhan pokok (gaji pemain, dll) tidak akan tertunggak. Dan mereka menerapkan itu dengan tegas.
Tentu saja liga di Vietnam masih jauh dari ideal, tapi mereka memperlihatkan keseriusan yang cukup lumayan. Keadaannya mungkin tidak terlalu jauh berbeda dengan sepakbola di Indonesia, tapi keseriusan yang lumayan itulah yang agak membedakan Vietnam. Beda tipis itulah yang agaknya bisa menjelaskan kenapa, setidaknya, Vietnam pernah juara Piala AFF (2008) -- sementara kita tak pernah sama sekali.
Tulisan ini adalah refleksi dari apa yang sudah terjadi di Vietnam dibandingkan dengan yang sekarang terjadi di Indonesia. Untuk lebih jelasnya, kami sudah banyak menuliskan masalah sepakbola Indonesia yang terjadi akhir-akhir ini pada tulisan-tulisan berikut:Kepastian Jadwal Liga sebagai Hal Krusial
Polemik Persija-Ahok dan Anatomi (Pengelolaan) Sepakbola Indonesia
Sebab PSSI dan PT Liga Indonesia Memang Harus Ditantang Pihak Luar
Kedaulatan Sepakbola: Polemik BOPI-PT Liga dalam Tinjauan Hukum Olahraga
Komentar