Sebagai penulis, Etgar Keret punya banyak alasan untuk marah, mengamuk atau bahkan bersikap liris. Ia berasal dari Israel, negara yang sekarang dikecam oleh banyak pihak akibat perseteruannya dengan Palestina. Etgar Keret tak hanya berasal dari Israel, kedua orang tuanya adalah orang-orang yang selamat dalam tragedi Holocaust. Atas asal-usulnya ini, Etgar jelas memiliki alasan untuk marah ataupun bersikap liris dalam setiap tulisannya.
Namun Etgar bukanlah penulis yang demikian. Dibandingkan memaki-maki, menyindir ataupun meratap â penulis kelahiran 20 Agustus 1967 ini lebih memilih untuk berbicara melalui humor dalam cerita pendek, grafik novel dan naskah-naskah filmnya.Â
Pada 1992, Etgar menerbitkan antologi cerpen pertamanya yang berjudul Pipelines. Walaupun buku pertamanya ini tidak mendapat sambutan meriah, ia berhasil menerbitkan antologi cerpen keduanya yang berjudul Missing Kissinger pada 1994. Sepuluh tahun berselang, Keret berhasil menyelesaikan antologi cerpen The Bus Driver Who Wanted to be God and Other Stories yang ditulis dalam bahasa Inggris. Untuk diketahui, cerpen "Sepatu" bisa ditemukan di dalam antologi ini.
Kami beberapa kali menayangkan cerita pendek bertemakan sepakbola. Semuanya naskah asing yang sengaja kami alih bahasakan untuk untuk memperkaya perpektif kita terhadap sepakbola. Beberapa cerpen yang sudah kami tayangkan di antaranya:Esse est Percipi cerpen karya Jorge Luis Borges
Efek Socrates cerpen karya Mal Pet
Karya-karyanya sudah diterbitkan oleh New York Times, The Guardian, The Paris Review dan Zoetrope membuat Etgar sebagai penulis Israel yang terkenal di kalangan anak muda Israel. Sebagai penulis, Etgar juga menggeluti dunia perfilman. Film yang ia buat, Skin Deep memeroleh penghargaan pada sejumlah festival film internasional dan mendapat âOscarâ versi Israel.
Jika memperhatikan petikan wawancaranya sewaktu berpartisipasi dalam Ubud Writers and Reader Festivals 2010, hal yang paling menarik dari kepenulisan Keret adalah kegigihannya untuk menghidupi apa yang melekat pada kaum Yahudi sejak dulu. Menurutnya, humor adalah bagian dari tradisi Yahudi. Dalam kesehariannya mereka terbiasa bercanda dan menertawakan banyak hal, termasuk hal-hal yang dianggap sakral dan tidak pantas ditertawakan seperti kematian.
Bagi Keret, humorlah yang merekatkan orang-orang Yahudi. Mereka tidak mengolok-olok untuk saling menjauhkan tetapi untuk mendekatkan. Lewat setiap tulisannya, Keret sedang menunjukkan bahwa sebagai manusia ia memang berhak marah terhadap banyak hal termasuk negaranya. Namun sebagai penulis, ia juga menunjukkan kalau amarah itu bisa diluapkan dengan cara yang menyenangkan, lewat humor yang hangat.
Cerpen "Sepatu" memperlihatkan dengan baik bagaimana selera humor Keret yang jernih, tenang sekaligus bernuansa cerah. Cerpen ini dibuka dengan cara gelap nan hitam: trauma Yahudi bernama Holocaust dijlentrehkan sedemikian rupa. Si bocah yang jadi tokoh utama pun sempat hanyut dalam ingatan kolektif bangsa Yahudi itu. Ia bahkan masih sungkan menggunakan sepatu adidas karena sepatu bikinan Jerman itu, yang merupakan bangsa yang melahirkan NAZI yang amat brutal kepada Yahudi, mengingatkannya kepada derita kakeknya yang nyaris mati di kamp konsentrasi NAZI.
Untuk membaca cerpen "Sepatu" karya Etgar Keret, hasil terjemahan Marini Saragih, sila membacanya DI SINI.
Tapi semuanya melumer saat si bocah sudah berada di lapangan sepakbola. Ia yang awalnya sungkan memakai adidas, tiba-tiba saja lupa dengan omong-omong tentang holocaust. Ia bermain dengan penuh semangat, riang dan penuh kegembiraan. Ia bahkan berhasil mencetak beberapa gol.
Sepakbola, sekali lagi, menjadi "sebuah dunia tersendiri" yang membuat dunia sebenarnya yang sulit, pelik dan absurd mendadak hilang. Semua dari kita yang pernah menyuntuki sepakbola di masa kecil, pasti juga pernah mengalami apa yang dirasakan si bocah dalam cerpen "Sepatu" itu: begitu kaki menginjakkan lapangan, maka semua-muanya menjadi tidak penting, yang pokok hanya bola, bola dan bola -- PR dari guru, tugas mengepel di rumah, dll., menjadi terlupakan begitu saja.
Inilah sihir sepakbola yang, dalam eksplorasi Keret, bahkan bisa membuat seorang bocah berdamai dengan ingatan kolektif yang buruk, mengerikan dan berdarah.
Keret berhasil menulis cerpen yang asyik mengenai bagaimana anak-anak menyikapi dunia yang kadang disesaki oleh politik ingatan yang mematikan. Melalui cerpen itulah, juga melalui aktivitas sepakbola dalam latar cerita, Keret memperlihatkan sikapnya dalam memandang sejarah: jangan dilupakan, tapi jangan pula melahirkan dendam baru yang tak berkeputusan. Sejarah, bagi Keret, mesti disikapi dengan rileks dan disertai dengan humor.
Jangan heran jika, menurut beberapa laporan, Keret tidak terlalu disukai kalangan zionis garis keras. Ia dianggap terlalu lembek dan kurang nasionalis.
Komentar