Mengharamkan Sepakbola!

Editorial

by Redaksi 46 44936

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Mengharamkan Sepakbola!

Sepakbola itu memang penuh marahabaya yang bisa mengorbankan nyawa, terutama jika anda tinggal di wilayah yang dikuasai pasukan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

13 remaja di Mosul, Irak, dikabarkan dieksekusi oleh militan ISIS karena kedapatan menonton pertandingan sepakbola Piala Asia 2015 antara Irak vs Yordania. 13 remaja yang tinggal di Distrik Al-Yarmouk ini dieksekusi di hadapan banyak orang yang dihadirkan untuk memberi peringatan kepada mereka betapa sepakbola merupakan hal yang dilarang oleh ISIS. 13 remaja tersebut dieksekusi dengan menggunakan senapan mesin di muka umum.

Jenazah mereka dibiarkan begitu saja karena orang tua dari ke-13 remaja tersebut takut untuk menguburkan jasad mereka. Jelang eksekusi, otoritas ISIS menyerukan bahwa remaja tersebut dieksekusi karena melanggar aturan agama dengan menonton sepakbola.

Baca: Pembelaan Eric Cantona untuk Kaum Muslim Sedunia

Sepakbola, sebagaimana banyak hal lain yang dianggap ciptaan orang-orang Barat di zaman modern (misal: film, televisi, hingga musik), tidak sedikit yang mengharamkannya, termasuk sudah jelas militan ISIS. Apa yang dilakukan ISIS terhadap 13 remaja itu memperlihatkan dengan telanjang salah satu perspektif dalam Islam ketika memandang sepakbola.

Saya teringat seorang rekan.  “Menurut kepercayaan keluarga saya, sepakbola adalah bagian dari sejarah kelam,” ungkapnya, “Maka, saya hanya bermain sepakbola di kampus.”

Rekan saya tadi berasal dari keluarga Muslim yang taat. Mereka, katanya, masih memegang teguh prinsip-prinsip Islam yang tak berubah sejak dulu. Soal sepakbola, rekan saya bercerita bahwa keluarganya melarang aktivitas tersebut. Ia merujuk pada peristiwa masa lalu, saat Husain bin Ali bin Abu Thalib dibunuh dalam peristiwa Karbala.

Kabarnya, Husain dibunuh oleh pasukan Ubaidullah bin Ziyad di padang Karbala. Kepalanya dipenggal, lalu diletakan di atas bejana dan dibawa ke hadapan Ubaidullah.

Rekan saya pun melanjutkan ceritanya. Sudah umum di keluarganya bahwa bermain bola—menendang-nendang bola—sama halnya dengan tidak menghormati kematian Husain. Bola diandaikan sebagai kepala Husain—yang pada akhirnya berkembang menjadi cerita bahwa kepala Husain ditendang ke sana ke mari.

Cerita tentang pertempuran Karbala memang banyak dirujuk, secara serius atau sambil lalu, dalam percakapan mengenai hukum sepakbola dalam Islam. Argumen rekan saya di atas, juga bukan hal unik, bisa didapatkan di berbagai tempat, tak terkecuali di Tulehu, kampung di Pulau Ambon yang terkenal banyak memasok pemain sepakbola profesional dan bahkan tim nasional Indonesia.

Dalam riset yang dilakukan Zen RS, managing editor Pandit Football Indonesia, di Tulehu kisah tentang pertempuran Karbala sempat menghambat perkembangan sepakbola di Tulehu. Ketika sepakbola masuk ke Tulehu pada dekade kedua abad 20, sekitar tahun 1915-an, sepakbola dengan cepat digemari oleh para pemuda di Tulehu. Mereka bermain bola dengan alat seadananya, kadang dengan kain yang digulung hingga jeruk. Mereka bermain di pantai atau jalan raya yang saat itu belum beraspal dan masih sangat jarang dilalaui kendaraan.

Akan tetapi, penentangan atas popularitas sepakbola akhirnya muncul. Sebagaimana sudah dituliskan Zen RS dalam novel Jalan Lain ke Tulehu, para pemuka agama di Tulehu, yang memang terkenal sebagai kampung yang sangat dipengaruhi oleh agama Islam, dan beberapa leluhur Tulehu bahkan berasal dari Hadramaut, sempat melarang permainan sepakbola ini. Argumennya sama: sepakbola mengingatkan mereka pada kisah pertempuran di Karbala, ketika kepala Husain ditendang-tendang oleh pasukan musuhnya.

"Beruntung" penentangan itu tak membuat anak-anak muda Tulehu menjauhi sepakbola. Mereka bersikeras menendang-nendang bola. Tak heran jika menjelang akhir dekade kedua abad 20 itu, sudah muncul kesebelasan di Tulehu dan mereka langsung bertanding dengan kesebelasan dari Kota Ambon. Apa jadinya jika penentangan itu dituruti? Mungkin sepakbola Indonesia tak akan mengenal nama-nama seperti Chairil Anwar Ohorella, Imran Nahumarury, hingga Ramdani Lestaluhu atau Alfin Tuasalamony.

Pikiran saya lantas melayang ke  Afrika pada Piala Dunia 2014 lalu. Saat itu, sebuah bom meledak di tempat nonton bareng pertandingan sepakbola di Nigeria. Sekitar 21 orang tewas dalam pertandingan Brasil menghadapi Meksiko tersebut. Militan Boko Haram dianggap bertanggung jawab atas aksi tersebut.

Boko Haram merupakan kelompok ekstrimis Islam yang mencoba memberontak di sejumlah wilayah di Nigeria. Soal sepakbola, pemimpin Boko Haram, Abubakar Shekau, pernah menegaskan bahwa sepakbola adalah musuh dari negara Islam yang hendak diperjuangkan kelompok tersebut.

Ledakan bom beberapa kali terjadi. Sebelumnya, bom meledak dalam partai final Liga Champions. Tiga orang terbunuh atas ledakan tersebut. Saking kesalnya dengan Boko Haram, timnas Nigeria amat bersemangat menghadapi timnas Bosnia di Piala Dunia. Bosnia dianggap sebagai representasi negara Islam karena mayoritas penduduknya Muslim. Sementara Nigeria sebanyak 50 persen menganut agama Islam, dan 48 persen Kristen. (baca: Sepakbola Haram di Nigeria)

“Sepakbola adalah (bagian dari) agama di Nigeria,” tutur Koordinator Timnas Nigeria, Emmanuel Attah, “Mengalahkan Bosnia tidak akan mengembalikan mereka yang sudah meninggal, tapi ini cara kami untuk mengatakan (kepada Boko Haram) ‘maaf atas kekalahan tersebut.”

Lain di Nigeria, lain di Somalia. Negara yang dikenal dengan perompaknya tersebut, tidak mengharamkan sepakbola. Kelompok Al-Shabaab yang memiliki hubungan dengan Al-Qaeda memainkan sepakbola yang menurut mereka “halal” karena sesuai dengan peraturan dan kaidah mereka.

Mereka mengenakan celana di bawah lutut dengan jersey lengan panjang menutupi sikut. Mereka dilarang melakukan perayaan kala mencetak gol. Kalau ada yang melanggar, hukumannya amat berat mulai dari hukuman dilarang bermain seumur hidup, cambuk, hingga potong lidah! (baca juga: Sepakbola Halal ala Militan Somalia)

Bagaimana perayaan ketika berhasil mencetak gol? Mereka meneriakkan “Allahu Akbar!”, dengan koor dari rekan mereka yang lain. Segala sesuatu harus dilakukan dengan kaffah atau menyeluruh, itu yang mungkin dipikir oleh militan Al Shabaab.

Jika Anda googling dengan kata kunci “Sepakbola haram”, maka akan banyak ditemukan postingan mengenai fatwa beberapa ulama soal sepakbola. Umumnya, mereka menganggap sepakbola haram karena ditemukan oleh orang non-muslim (kafir dalam istilah mereka). Selain itu, dalam Islam hanya dikenal tiga olahraga: berenang, berkuda, dan memanah (merujuk salah satu hadits).

Di Indonesia sendiri, pernah terjadi sepakbola diharamkan oleh ulama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tangerang pernah mengeluarkan fatwa mendukung pelarangan pertandingan sepakbola di Kota Tangerang, khususnya laga Persita Tangerang vs Persikota Tangerang yang memang sangat sering memicu kerusuhan dan perkelahian. "Saat ini pertandingan sepakbola sedikit manfaatnya dibandingkan dampak positifnya. Maka, kami mendukung bila pertandingan sepakbola di Kota Tangerang yang makin meresahkan ini dihentikan dan ditiadakan," kata  ketua fatwa MUI Kota Tangerang, KH Baijuri Khotib, pada 2012 lalu.

Isunya di Tangerang saat itu kurang lebih sama seperti yang menjadi wilayah garapan kepolisian yaitu faktor resiko keamanan. Jadi tidak seideologis apa yang dilakukan ISIS atau Boko Haram.

Baca juga beberapa tulisan kami terkait tema sepakbola dan dunia Islam:

Dua Bulan di Dubai, Pemain Kesebelasan dari Kamerun Jadi Mualaf

Pesepakbola Muslim, Bulan Puasa dan Piala Dunia

English Defence League & Kelompok Anti Islam di Sepakbola Inggris

Paus Undang Pemain Sepakbola Ternama Untuk Bertanding Demi Kedamaian di Gaza

Yaya Toure, Kanoute, Alkohol dan Palestina

Je Suis Palestine, Demi Kebebasan Hidup dan Bermain Bola


Kemarin sore, lini masa sempat dihebohkan dengan larangan “selfie” oleh Felix Siauw. Larangan ini mendapat cemoohan dari berbagai pihak, salah satunya Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada, Akmad Sahal. Lewat akun twitternya @Sahal_AS, kandidat doktor studi keagamaan Universitas Pennsylvania tersebut mencuit seperti ini, “Melarang hal yang boleh (mubah) itu terlarang!”. Ia melanjutkan, “Kata Imam Ghazali, di antara tanda-tanda ulama buruk: terlalu gampang beri fatwa tanpa mendalami dalil dan masalahnya.”

Apalagi jika itu berakibat mudahnya nyawa-nyawa melayang dengan sia-sia sebagaimana terjadi di Mosul dan Nigeria.

Eh, tapi... siapa tahu jika sepakbola diharamkan, maka peluang timnas Indonesia atau kesebelasan dari Indonesia (yang diwakili oleh kesebelasan Papua yang tak akan pernah mengharamkan sepakbola) untuk jadi juara di kancah Asia lebih besar karena tak ada lagi Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait dan kesebelasan-kesebelasan lokal mereka. Tapi repot juga, kalau mereka juga dilarang main bola, bisa-bisa Jepang dan Korea saja yang jadi juara. Mereka, kan, "kafir". Apalagi kalau Cina yang juara. Mereka, kan, komunis. Aduh....

Sumber gambar: photobucket.com

Komentar