Mereka kalah karena terkadang Xavi atau Iniesta atau Deco merebut bola ketika mungkin seharusnya tidak perlu merebut. Atau karena bola mulai bergerak dari sisi kanan dan melaju hingga akhir juga di sisi kanan. Atau karena orang ketiga jarang digunakan....
[Pep Guardiola, dalam ulasan taktikal terhadap laga Zaragoza vs Barcelona, di mana tim tamu kalah tipis 0-1]
Jika Barcelona-nya Guardiola kadang terlihat membosankan, itulah dampak dari penguasaan bola yang begitu "berlebihan". Ball possession, posesif. Di mana-mana, posesif memang berlebihan dan bukan hanya membosankan tapi juga menyebalkan.
Yang sering disalahpahami, penguasaan bola bagi Pep bukanlah tujuan. Ia sekadar metode untuk menguasai permainan. Dari ball possession ke play possession. Dan itu hanya bisa dilakukan, setidaknya dalam visi Pep, dengan terus meneruskan menghadirkan orang ketiga atau third man (atau kadang disebut juga ""orang bebas" alias free man).
Jika pemain yang sedang menguasai bola adalah orang pertama dan pemain yang mendekat untuk menerima/dikirimi umpan adalah orang kedua, maka orang ketiga adalah pemain yang mendekati keduanya, atau mendekati salah satu dari keduanya. Dia datang untuk memberi opsi ketiga jika orang pertama dan kedua terkunci rapat penjagaan lawan.
Dan jika ia telah menerima bola, dengan segera ia menjadi orang pertama, dan ia yang tadinya orang pertama bisa berubah menjadi orang kedua dan yang tadinya menjadi orang kedua bisa berganti peran menjadi orang ketiga. Atau bisa juga orang kedua dan orang ketiganya kemudian diisi oleh pemain yang lain.
Itu dan itu terus, begitu dan begitu terus. Dari situlah permainan bergulir, penguasaan bola dilakukan, dan akhirnya penguasaan permainan didapatkan.
Kehadiran orang ketiga harus dioptimalkan untuk memastikan bola akan tetap berada dalam penguasaan. Ia akan hadir di ruang kosong tak berpenghuni dan karenanya memiliki keluasan ruang untuk menerima umpan sekaligus mendapatkan keluasan waktu yang cukup untuk mengamati seantero lapangan. Keluasan ruang dan waktu itu memungkinkannya memikirkan akan dikemanakan bola yang di kakinya: dikirim ke kiri, atau ke kanan, atau ke depan, atau ke belakang, kembali menunda serangan atau langsung mengirim operan kunci berupa umpan lambung atau umpan terobosan.
Orang ketiga menjadi istimewa karena ia punya ruang dan waktu yang cukup, dengan asumsi ia memang tak terjaga, hal yang tak dimiliki oleh orang pertama atau orang kedua. Dan dalam keleluasaan ruang dan waktu itulah ia hadir bukan hanya untuk menerima bola jika ada rekannya yang kesulitan keluar dari penjagaan, tapi terutama untuk: memperkaya perspektif.
Jika bola adalah pakubumi kehidupan sepakbola, maka orang pertama dan orang kedua sedang larut di jantung kehidupan itu sendiri. Di tengah situasi larut itulah mereka (orang pertama dan kedua) cenderung sulit untuk melihat keluasan lapangan. Keduanya cenderung terkunci dalam situasi tertentu dan sukar melihat situasi yang lain.
Bayangkan anda di tengah hutan belantara, anda tak akan melihat hutan dan hanya melihat pohon-pohon, dahan dan ranting serta dedaunan. Hutannya sendiri, sebagai keutuhan atau kesatuan jutaan batang pohon, tak bisa anda hayati dan nikmati. Itulah sebabnya orang yang tersesat di belantara hutan rimba sukar untuk menolong dirinya sendiri, tapi membutuhkan orang lain, katakanlah itu tim SAR yang bukan hanya punya kemampuan melacak tapi -- ini yang terpenting -- punya perspektif yang utuh terhadap hutan belantara itu. Dari situlah rute penyelamatan bisa dibuat dan jalan keluar bisa dirancang.
Orang ketiga adalah tim SAR itu tadi yang dengan keluasan perspektifnya dalam mengamati belantara hutan rimba punya peluang membebaskan anda dari bekapan pohon-pohon raksasa, eh... para pemain lawan yang menjaga, maksudnya.
Dengan itulah anda bisa kembali bebas untuk bermain, dengan itulah penguasaan bola berlanjut, lalu penguasaan permainan dirayakan. Lagi dan lagi.
Jika diandaikan sebagai sebuah cerita, inilah sepakbola yang bentuknya menyerupai sebuah teks yang dengan lancar, mengalir, dan tanpa henti memindahkan pusat cerita dari "aku", ke "engkau" dan lalu "dia". Inilah teks yang membangun cerita dengan siasat literer menjadikan prononima (kata ganti) sebagai tokoh utama: dari orang pertama, ke orang kedua,Ã menuju orang ketiga -- dan kemudian orang ketiga itu berubah menjadi orang pertama, dan seterusnya dan selanjutnya.
Sampai di sini, tidak bisa tidak, saya teringat Gunung Jiwa, novel yang ditulis oleh Gao Xingjian.
Halaman Berikutnya: Tiki-taka sebagai taktik yang mengacak kata ganti (prononima)
Komentar