Halaman Kedua dari artikel Polemik Ahok-Persija dan Anatomi Sepakbola Indonesia
Nasib Kesebelasan Internal
Posisi kesebelasan-kesebelasan internal menjadi persoalan lain yang juga tidak kalah peliknya. Dan ini mesti disikapi dengan kepala dingin, juga dengan melibatkan argumentasi yang komprehensif.
Perlu diketahui, kesebelasan eks-perserikatan dulunya bukanlah sebuah klub sebagaimana yang kita pahami sekarang. Persib, Persija, Persebaya, PSM, PSIM, dll., dulunya adalah sebuah (kon)federasi kesebelasan-kesebelasan di sebuah kota. Persib adalah (kon)federasi yang menaungi UNI, Sidolig, Setia, IPI, dll. Begitu juga UMS, dll bagi Persija atau Mitra, Bintang Timur, dll bagi Persebaya.
Itulah inti dari identitas perserikatan. Sesuai namanya, perserikatan, serikat, berserikat, berkumpul. Kesebelasan-kesebelasan di setiap kota itu berserikat dan berkumpul untuk kemudian berhimpun di bawah naungan (kon)federasi kesebelasan-kesebelasan yang dinamakan Persib, Persija, Persebaya, PSIM, PSM, PSIS, Persis, dll.
Perserikatan sendiri tidak punya pemain, sebab pemain dimiliki oleh kesebelasan-kesebelasan anggota. Merekalah yang membina, mendidik dan menjadikan seorang anak menjadi pemain yang siap pakai oleh (kon)federasi yang menaunginya. Pemain-pemain terbaik di kesebelasan-kesebelasan itulah yang kemudian direkrut memperkuat Persib, Persija, Persebaya, dll. Kesebelasan-kesebelasan anggota "menyetorkan" pemain sebagaimana kesebelasan ISL sekarang "menyetorkan" pemain kepada kesebelasan nasional Indonesia.
Ini konsep yang sangat unik dan (setahu saya) tidak ada padanannya di negara mana pun. Konsep perserikatan ini mewakili sejarah, identitas dan semangat sebuah generasi yang sedang tumbuh dan belajar mencintai tanah airnya di masa pergerakan dulu.
Perserikatan sesungguhnya prinsip-prinsip demokrasi dalam tata-kelola sepakbola. Perserikatan sebenarnya pengejawantahan semangat dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dalam bentuknya yang paling ideal, perserikatan bisa menjadi model yang boleh jadi sedang dirindukan oleh para suporter di Eropa sana yang sedang getol-getolnya mengkampanyekan "against modern football". Inilah model pengelolaan kesebelasan yang mungkin menjadi utopia bagi suporter-suporter di Eropa yang kesal dengan para pemilik baru yang dengan seenaknya menaikkan harga tiket, menghilangkan tribun berdiri dan dengan itu mengubah FC dari Football Club menjadi Football Corporate.
Ada tren di mana suporter memilih berserikat dan mendirikan sebuah kesebelasan sebagai perlawanan terhadap kepemilikan kesebelasan kesayangan mereka oleh konglomerat yang datang dari antah berantah. Ada AFC Wimbledon, ada FC United of Manchester, ada AFC Liverpool, ada juga Sheffield Eagles. Kesebelasan itu dibentuk oleh para suporter yang berserikat, dengan kata lain sebentuk perserikatan suporter.
Perserikatan, boleh jadi, merupakan konsep yang di kampung halamannya sendiri dianggap kuno dan dicemooh tapi boleh jadi dianggap sebagai perkembangan paling kontemporer di Eropa sana.
Kini, konsep dan tradisi ini terancam (dan bahkan sudah) tercabut oleh keharusan bagi setiap peserta ISL untuk berbadan hukum. Anehnya, instruksi untuk berbadan hukum ini semuanya diterjemahkan keharusan menjadi PT. Padahal tidak ada keharusan untuk menjadi PT, yang penting berbadan hukum jelas. Bisa yayasan, bisa pula koperasi, misalnya. Ini yang terjadi dengan Barcelona dan Real Madrid yang berbadan hukum koperasi.
Dari sinilah posisi kesebelasan-kesebelasan internal di hadapan PT yang mengelola eks-perserikatan menjadi rentan.
Di Bandung, misalnya. Sempat juga terjadi polemik mengenai porsi kepemilikan kesebelasan-kesebelasan internal dalam struktur kepemilikan PT Persib Bandung Bermartabat (PT PBB) yang menjadi pengelola Persib Bandung. Polemik itu sempat memanas, menjadi bola liar, dan sejauh ini belum ada kabar mengenai penyelesaiannya yang tuntas, clear, dan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Sayangnya, isu ini tidak berkembang menjadi diskusi yang menarik dan menyehatkan. Publik di Bandung banyak yang menganggap kesebelasan-kesebelasan internal ini tak lebih dari "manuver orang-orang yang tidak kebagian jatah". Banyak yang menganggap manuver tersebut sebagai rongrongan terhadap kondusivitas PT PBB dalam mengelola Persib. Ini tak bisa dilepaskan dari konteks politik sepakbola di saat itu yang sedang mengalami dualisme pengelolaan sepakbola.
Sempat terdengar argumen yang katakanlah menganggap mereka tidak tahu diri. Saat Persib kesulitan dana diam, saat sudah banyak sponsor baru menuntut hak. Begitu kira-kira argumentasinya.
Argumentasi itu ada benarnya, tapi tidak seluruhnya. Sebab, kesebelasan-kesebelasan internal umumnya memang tidak punya uang apalagi jika untuk mendanai kesebelasan profesional selama satu musim. Dari dulu juga tugas mereka memang tidak untuk setor uang, tapi sebagai akar tunjang sekaligus jantung hati perserikatan, terutama dalam memasok pemain.
Bisakah argumen semacam itu diutarakan saat kesebelasan-kesebelasan itulah yang dulu kontinyu memasok pemain? Bagaimana jika pemain-pemain yang dibina oleh kesebelasan-kesebelasan internal dan kemudian dipakai di ISL itu juga dihitung valuasinya?
Jangan heran jika kelak di kemudian hari ada kesebelasan-kesebelasan internal yang menolak menyerahkan pemainnya jika digunakan oleh Persib, Persebaya, PSMS, dll. Dan ini sudah dimulai dan telah muncul beberapa kali kasus demikian.
Soal hitung-hitungan uang akan juga dibalas dengan soal hitung-hitungan uang. Ini hukum besi ekonomi.
Memahami Anatomi Sepakbola Indonesia
Apa yang terjadi dengan Ahok dan Persija, sesungguhnya, juga menjadi persoalan di banyak kesebelasan eks-perserikatan lainnya. Ada banyak sengketa kepemilikan yang belum tuntas, jauh dari jelas, dan kebanyakan dibiarkan tanpa penyelesaian yang menyeluruh. Silakan cek kesebelasan-kesebelasan eks-perserikatan lainnya di Indonesia. Ini bukan eksklusif persoalan Persija saja. Kebetulan saja Persija yang paling ramai dibicarakan karena Ahok memutuskan untuk mempersoalkannya.
Maka jika polemik kepemilikan Persija ini akhirnya bisa tuntas, Persija pula yang mungkin bisa menjadi kesebelasan eks-perserikatan pertama yang bisa dengan bangga mengumumkan struktur kepemilikan sahamnya, lengkap dengan komposisi sahamnya, secara detail dan transparan, lengkap dengan cerita yang benderang mengenai proses kepemilikan Si X, Si Y, dll.
Ini bisa menjadi modal berharga bagi Persija untuk mengarungi industri sepakbola di masa-masa yang akan datang.
Mau masuk bursa saham? Sudah pasti itu mengharuskan kejelasan akta pendirian, perubahan akta, kejelasan komposisi saham, siapa saja yang punya, bagaimana persentasenya, hingga valuasi aset-asetnya. Untuk menjadi emiten di bursa saham, harus siap untuk terbuka dalam berbagai hal: dari struktur kepemilikan hingga valuasi aset dan neraca keuangannya.
Soal status hukum kepemilikan ini pula yang kini sedang melanda Persebaya ISL. Kabar terakhir, seperti dilaporkan oleh Jawa Pos kemarin (11 Januari), Persebaya masih bermasalah dalam soal status kepemilikan secara hukum. Gede Widiade, sebagai petinggi di Persebaya ISL, sudah membantahnya. Sepintas ini persoalan dualisme antara Persebaya ISL dan Persebaya 1927. Tapi jika diurut lagi, ini juga sedikit banyak ada kaitannya dengan persoalan yang lebih mendasar: di mana posisi pemkot dan kesebelasan-kesebelasan internal.
Kasus tuntutan kesebelasan-kesebelasan internal dalam tubuh eks-perserikatan juga sesungguhnya bukan persoalan yang eksklusif mendera Persib. Ini juga bisa terjadi di banyak kesebelasan-kesebelasan eks-perserikatan lainnya.
Sebab, secara historis, kesebelasan eks-perserikatan ini awalnya, dan hingga berpuluh-puluh tahun kemudian, sebenarnya adalah sebuah (kon)federasi sepakbola tingkat kota. Mereka dimiliki oleh kesebelasan internal dan dari kesebelasan-kesebelasan internal itulah para pemain tumbuh dan akhirnya dipakai di era Perserikatan atau era Liga Indonesia.
Sesungguhnya diskusi mengenai posisi kesebelasan-kesebelasan internal (juga posisi pemerintah kota/kabupaten/provinsi) merupakan subjek diskusi yang menarik. Ada kekayaan sejarah dan tradisi yang sayang sekali jika harus dibenamkan sekadar menjadi debat kusir soal bagi-bagi jatah.
Jika dilakukan dengan kepala dingin, kita bisa mendapatkan perspektif yang segar dan kaya mengenai anatomi sepakbola Indonesia yang memang unik, khas dan berbeda titik berangkatnya dengan negara-negara lain.
===========
Sumber gambar: inilah.com dan halaman muka Tabloid Bola edisi 22 Februari 1985. Teks "Sepakbola untuk Apa?" menarik jika diletakkan dalam konteks tulisan ini menjadi "sepakbola milik (si)apa?".
Komentar