Akal Sehat dalam Tiga Kejadian Bersama Boaz

Editorial

by Zen RS 33586 Pilihan

Zen RS

Board of director | Panditfootball.com

Akal Sehat dalam Tiga Kejadian Bersama Boaz



Ini merupakan halaman kedua dari esai Akal Sehat dalam Tiga Kejadian Bersama Boaz

Akal sehat dalam debut Boaz bersama Merah Putih

Saya ada di Gelora Bung Karno ketika Boaz melakoni debutnya bersama kesebelasan nasional. 12 Oktober 2004, Boaz turun sejak menit pertama saat Indonesia menjamu Arab Saudi di kualifikasi Piala Dunia 2006.

Entah ide apa yang merasuki Peter Withe, orang Inggris yang saat itu melatih Indonesia, yang memutuskan dengan berani menurunkan Boaz Solossa di kesebelasan nasional senior di laga penting dan jelas tidak mudah (siapa yang akan bilang Arab Saudi sebagai lawan mudah?). Boaz saat itu baru berusia 18 tahun, masih bocah ingusan. Dan lebih dari sekadar bocah ingusan, Boaz saat itu belum punya pengalaman bermain di level senior di tengah kompetisi tertinggi tanah air.

Ya, Boaz saat itu mencuat namanya sebagai pemain terbaik dan top skor Pekan Olahraga Nasional 2004 yang berlangsung di Sumatera Selatan. Boaz bahkan belum memperkuat Persipura. Sekali pun belum pernah. Tepat satu dekade kemudian, Evan Dimas melakukannya lagi: tak pernah tampil di laga resmi dalam kompetisi tertinggi Indonesia bersama kesebelasan senior (Persebaya), hanya latihan dan ujicoba, Evan tampil bersama kesebelasan senior Indonesia di bawah arahan Riedl jelang Piala AFF 2014 yang hasilnya luluh lantak itu.

Barulah setengah tahun setelah debut di GBK itu, tepatnya lima bulan, pada 5 Maret 2005, Boaz baru mencicipi iklim kompetisi tertinggi di tanah air. Hari itu, Boaz diturunkan oleh Persipura di laga pembuka Liga Indonesia musim 2005 kala menghadapi Persegi Gianyar.

Tentang debut Boaz bersama Persipura, simak esai kami yang lain:

Yang Tak Patah Meski Pernah Patah



Tapi Boaz memperlihatkan betapa dirinya sudah sangat layak bermain bersama Ellie Aiboy atau Ponaryo Astaman. Diturunkan untuk beroperasi di sisi kiri, dalam formasi dasar 4-3-3, Boaz berkali-kali membelah sisi kanan pertahanan Arab Saudi dengan kecepatan tinggi dan dribling-nya yang liat. Bahu membahu dengan abangnya, Ortizan Solossa, yang ditempatkan di posisi fullback kiri, Boaz membuat Arab Saudi tak nyaman meninggalkan sisi kanan pertahanannya.

Atmosfir di GBK saat itu tidak terlalu ramai. Kalau saya tak salah ingat, suporter yang hadir tidak lebih dari 30% kapasitas stadion. Terhitung sepi, dan menjadi terasa makin sepi karena ukuran GBK yang besar dengan atap-atapnya yang tinggi. Tapi atmosfir stadion terasa menghangat tiap kali Boaz menerima bola di sisi kiri penyerangan.

Awalnya, tak banyak yang mengetahui Boaz. Tentu saja ada beberapa orang yang sudah mendengar nama Boaz karena capaian yang diraihnya di PON 2004 sebulan sebelumnya. Beberapa surat kabat juga memberi porsi yang lumayan saat Boaz dipanggil Withe. Tapi hampir bisa dipastikan hanya sedikit yang pernah benar-benar melihat bagaimana Boaz bermain dan hari itu menjadi hari pertama kami menyaksikan seorang bocah dengan badan yang terlihat agak ringkih sedang mulai menorehkan kalimat pertama dalam buku sejarah sepakbola Indonesia.

Kami tak banyak berharap, tepatnya saya tak banyak berharap, karena apa yang bisa diharapkan saat Indonesia menghadapi Arab Saudi? Lagi pula, Indonesia sudah tertinggal 1-0 di menit 8 karena kecerobohan Ismet Sofyan yang tak bisa mengantisipasi seorang pemain Arab Saudi. Kesuraman bertambah empat menit kemudian, pada menit 12, ketika Arab Saudi memperbesar keunggulan. Kesialan bertambah, jelang turun minum, karena Ismed Sofyan harus keluar lapangan karena diusir wasit menyusul pelanggaran keras.

Apa yang bisa diharapkan saat menghadapi Arab Saudi, tertinggal 0-2, dan mesti bermain 10 orang? Semua orang yang ada di GBK, kendati mungkin ada di antaranya yang menyaksikan keajaiban Man United saat mencetak dua gol di injury time di final Liga Champions 1999 sekali pun, niscaya tak akan banyak berharap.

Tapi justru dalam situasi 10 pemain itulah Boaz memperlihatkan mutunya. Mungkin karena merasa sudah unggul dalam urusan mencetak gol dan jumlah pemain, Arab Saudi bermain lebih berani, sehingga ada banyak ruang-ruang yang menganga di pertahanan Arab. Dan dari situlah Boaz mengobrak-abrik pertahanan Arab Saudi.

Dalam catatan saya, Boaz setidaknya berhasil empat kali melepaskan diri dari kawalan pemain Arab, dan dari situlah ia mengirimkan umpan-umpan silang yang sangat berbahaya. Satu umpan silang yang sangat matang ia buat di akhir babak pertama, namun sayang gagal dimanfaatkan Ilham Djayakesuma. Satu umpan silangnya yang lain, di awal babak kedua, sangat akurat mengarah kepada Ilham dan kali ini dia tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Gol. 1-2.

Pertandingan seakan baru saja dimulai kembali. Untuk pertama kalinya Arab Saudi�menyadari ada yang "tak beres" dengan sisi kiri penyerangan Indonesia. Dan bagi kami yang ada di tribun penonton, rasanya ada yang berbiak dalam hati tiap kali Ponaryo atau Ortizan mengirimkan umpan panjang ke sisi kiri penyerangan. Rasanya, ada sesuatu yang bisa agak sedikit diharapkan tiap kali bola berhasil dikejar oleh si bocah ingusan asal Papua itu.

Saya masih ingat, ada satu momen di mana Boaz lagi-lagi berhasil mengelabui pemain Arab Saudi, dan kemudian bersicepat dengan lawan hingga ujung lapangan dan kemudian mengirimkan umpan silang. Lagi-lagi akurat. Kurniawan yang masuk menggantikan Ilham menerima umpan silang itu, tapi sayang sekali Kurniawan gagal mengubah umpan itu menjadi gol (saya lupa itu sundulan atau tendangan).

Ah, andai saja itu jadi gol! Betapa kami mungkin akan berdiri dan berteriak dan saya -- seperti biasanya jika adrenalin sudah terpacu-- akan berlari turun ke bagian bawah untuk menggoyang-goyangkan pagar pembatas sembari berteriak.

Tapi, tentu saja, tak ada pengandaian dalam sejarah. Dan, memang, tidak banyak yang bisa dilakukan saat menghadapi Arab Saudi dengan 10 pemain. Di menit 80, Arab berhasil mencetak gol lagi. 1-3. Atmosfir stadion kemudian agak meredup, dan -- seingat saya-- determinasi Boaz kemudian menurun di sisa 10 menit terakhir.

Saya keluar dari stadion dengan hati yang biasa saja, tapi sejak itu saya tahu bahwa ada satu nama yang kelewatan jika diabaikan: Boaz Solossa. Saya menuju tempat saya bekerja, sebuah galeri seni rupa di Jakarta Pusat, dengan pikiran yang jernih: memang kelewatan mengabaikan Boaz, tapi saya tahu tak mungkin berharap banyak pada dia seorang sebab sepakbola adalah dimainkan sebelas lawan sebelas.

Saya ingat pelanggaran Ismed yang membuatnya diusir dari lapangan. Pelanggaran yang tak perlu. Dan mengingat pelanggaran macam itu, saya harus tahu diri: pelanggaran Ismed itulah cermin sepakbola Indonesia, bukan Boaz, sebab Boaz hanyalah sebuah pengecualian.

Di titik itu, akal sehat yang akhirnya memutuskan. Boaz, dengan demikian, sekali lagi, ialah batu tapal kematangan saya dalam memahami sepakbola Indonesia.

Halaman selanjutnya: Akal Sehat pada momen pembantaian di GBK

Komentar