“Blunder di saat yang tepat terkadang lebih baik daripada kepintaran di saat yang salah,” kata pengarang Carolyn Wells.
Bayangkan jika tendangan Cristiano Ronaldo pada menit ke-53, dalam laga vs Wales di semifinal Euro 2016, dibiarkan lewat oleh Luis Nani. Namun Nani memutuskan menjatuhkan badan, lalu kaki kanannya menjulur mencoba menjangkau bola. Tendangan Ronaldo pun berbelok sedikit dan.... Gol.
Bayangkan jika sentuhan kaki Nani yang membelokkan laju bola itu tidak berbuah gol. Bukan tidak mungkin Cristiano Ronaldo akan mengamuk, setidaknya kesal, minimal memperlihatkan gesture tidak senang -- sesuatu yang sudah berkali-kali diperlihatkan Ronaldo selama Euro 2016 kala rekan-rekannya dianggap tak becus mengumpan.
Sentuhan Nani itu sah saja dianggap sebagai “blunder” jika tak berbuah gol. Namun sejarah mencatat, sentuhan itu menjadi gol. Keputusan Nani yang mungkin dibimbing oleh insting itu tak akan pernah dianggap sebagai blunder karena ujungnya memang menjadi gol. Inilah yang dimaksud Carolyn Wells sebagai “blunder di saat yang tepat”.
Ronaldo, si ambisius yang tak pernah bosan menendang bola dari jarak jauh, pernah kesal luar biasa kepada Nani. Pada laga uji coba melawan Spanyol, 17 November 2010, Ronaldo gagal mencetak gol kendati Portugal unggul luar biasa telak, 4-0. Pada satu kesempatan, bola hasil sepakan Ronaldo telah melewati Gerard Pique, Xabi Alonso, Charles Puyol dan bahkan Iker Casillas. Bola sudah 99,99% akan menjadi gol. Lalu Nani muncul dan menyundul bola tepat di garis gawang. Ronaldo gagal cetak gol karena Nani kemudian dianggap off-side.
Aksi Nani itu amat bodoh. Itu tindakan kekanak-kanakan, egoisme yang mendekati ketololan. Tidak diumpan saja bisa membuat Ronaldo kesal, apalagi ketololan yang membuat usahanya mencetak gol menjadi berantakan.
Apa yang dilakukan Nani dalam laga menghadapi Spanyol itu mewakili trade-mark yang melekat pada dirinya: dianggap berbakat, namun tak berkembang karena tak kunjung matang. Nani dinilai sangat buruk mengambil keputusan. Sering terlambat mengumpan, kadang berlama-lama membawa bola, dan jika pun mengumpan seringkali meleset jauh, cukup sering belum saatnya menembak ia sudah menembak bola. Dalam momen ketika ia salah mengambil keputusan, Nani bahkan bisa jauh lebih menyebalkan dibanding Ronaldo.
Orang sudah melupakan Nani ketika Euro 2016 dimulai. Tidak heran jika Portugal dianggap sebagai "one man team" karena (didakwa) hanya mengandalkan Ronaldo. Sialnya, Ronaldo tak segemilang di Real Madrid. Pencapaian Portugal hingga ke semi final, bahkan final, sering disindir sebagai kebetulan belaka, semata-mata disayangi keberuntungan.
Fakta membuktikan Portugal bukanlah “one man team”, justru karena peran Ronaldo sebagai penyelamat secara bergantian digantikan pemain lain. Setidaknya ada Renato Sanches yang menjadi mesin di lini tengah dan Ricardo Quaresma yang, dalam statusnya sebagai pemain pengganti, dua kali memberikan andil krusial: memberi asis kepada Ronaldo (vs Hungaria) dan mencetak satu gol (vs Kroasia).
Juga nama lain yang sangat patut disebut: Luis Nani!
Orang boleh mendebat, tapi nyatanya Nani memang bermain konsisten. Jumlah gol Nani sama dengan yang sudah dicetak Ronaldo (tiga gol) – lebih banyak dari Harry Kane, Wayne Rooney, Lewandowksi, Thomas Mueller, bahkan Zlatan Ibrahimovic. Tiga gol itu sudah menjadi pencapaian terbaik Nani bersama tim nasional. Di turnamen besar seperti Piala Eropa atau Piala Dunia sebelumnya, Nani hanya pernah mencetak satu gol (Piala Dunia 2014 kala menghadapi Amerika Serikat).
Tidak bisa tidak penjelasannya mesti dicari dalam konteks taktik yang digunakan Fernando Santos, manajer Portugal. Cukup mengejutkan Santos tidak menggunakan satu pun striker dalam formasi utama. Ia malah menjadikan Ronaldo dan Nani sebagai ujung tombak, dua pemain yang posisi alaminya pemain sayap. Santos memilih memarkir Eder di bench dan mencoba "peruntungan" membiarkan Nani dan Ronaldo bermain bebas di sepertiga akhir pertahanan lawan.
Sejauh ini hasilnya oke. Kombinasi Ronaldo-Nani telah menghasilkan 6 gol dari total 8 gol yang sudah dicetak Portugal. Artinya, 75% gol Portugal datang dari Ronaldo dan Nani. Belum menghitung 3 asis yang dihasilkan keduanya (2 asis Ronaldo, 1 asis Nani).
Barangkali justru Nani yang lebih tepat menjadi inspirasi Portugal saat ini, bukan Ronaldo. Sebab Ronaldo mewakili kecemerlangan dan kegemilangan, sementara permainan Portugal jauh dari gemilang dan cemerlang. Wajah Portugal di Euro 2016, sampai batas tertentu, lebih dicerminkan oleh Nani: tidak dianggap, cenderung disepelekan, namun justru dari sanalah Portugal (sebagaimana Nani) melejit. Tahu-tahu Nani sudah mencetak tiga gol, tahu-tahu Portugal sudah masuk final.
Ia bukan lagi pemain muda. Usianya sudah 29 tahun. Imajinasi, mungkin juga harapan, untuk menyamai level Ronaldo sudah terlampau sulit dikejar. Valencia, klub teranyar Nani, memang bukan kesebelasan kurcaci, tapi cukup jelas Valencia tak berada di level yang sama dengan Atletico Madrid, apalagi Real Madrid dan Barcelona.
Namun siapa tahu justru dalam kondisi yang semenjana itulah Nani bisa menikmati lagi sepakbola. Ia setidaknya mencetak gol lebih banyak bersama Sporting dan Fenerbahce (total mencetak 24 gol). Setidaknya, sejauh ini, Nani berhasil memberi konstribusi luar biasa bagi Portugal, justru saat ia tak sedang bermain untuk kesebelasan top Eropa. Justru dalam karir yang sedang biasa saja ia bisa mendekati level permainan Ronaldo, setidaknya secara statistik.
Saya kira, Nani tidak sulit beradaptasi dalam situasi semacam ini. Biar bagaimana pun, ia kenyang dengan kehidupan yang biasa saja, bahkan lebih pahit dari sekadar biasa saja.
Lahir dari keluarga yang berasal dari Cape Verde, di Afrika, Nani kecil sudah terbiasa berada dalam situasi yang sulit dan pahit. Sejak kecil ia sudah ditinggalkan ayahnya yang memutuskan kembali ke Afrika. Kemudian ibunya menyusul meninggalkan Nani karena memutuskan hidup di Belanda. Nani kecil terpaksa tinggal bersama kakaknya dalam situasi ekonomi yang terbilang pas-pasan. Dibandingkan kehidupan di masa kecil dan remajanya, karir sepakbola Nani yang tidak kelewat cemerlang sudah sangat amat lebih baik.
Awal 2015, saat sudah berseragam Sporting, Nani mencetak gol ke gawang Gil Vicente. Gol indah yang dicetak dari jarak 30 meter itu dirayakan Nani bukan gaya khasnya bersalto-ria. Nani justru berlutut, mengangkat kedua telunjuknya ke udara, sembari mengucurkan air mata. Ia menangis.
Nani tidak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya berkata: "Saya berpikir tentang diri saya dan segala sesuatu yang telah saya lalui. Ini hal yang sangat pribadi. Tidak ada yang tahu tentang ini.”
Hampir dipastikan Nani akan kembali menangis. Yang tidak kita ketahui saat ini adalah: tangisan itu karena kekalahan ataukah karena kemenangan? Senin dini hari nanti, semua orang akan tahu jawabannya.
Komentar