Yanto Basna menjadi buah bibir banyak orang saat membela tim nasional Indonesia. Namun, namanya lebih lekat dengan cibiran. Di lini masa, khususnya setelah laga melawan Thailand, Yanto Basna kerap dihujat karena dianggap tidak layak membela tim nasional Indonesia yang berlaga di Piala AFF 2016.
Bagi saya, juga sepertinya bagi pendukung Persib Bandung dan Mitra Kukar, melihat permainan Yanto Basna memang cukup aneh. Permainan jebolan Diklat Ragunan ini tak seimpresif biasanya, seperti kala ia berseragam Persib atau Mitra Kukar. Tak mengherankan banyak yang kemudian mencemoohnya.
Di Mitra Kukar, yang meroketkan namanya, Yanto Basna sempat dianggap sebagai pemain asing. Penampilannya di Piala Jenderal Sudirman akhir tahun lalu memang di atas rata-rata pemain lokal. Ia pun kemudian diganjar penghargaan pemain terbaik turnamen tersebut. Penghargaan tersebut melengkapi gelar juara Mitra Kukar yang mengalahkan Semen Padang di final.
Saat Indonesia Soccer Championship (ISC) 2016 hendak bergulir, Yanto Basna bergabung ke Persib Bandung. Sempat kesulitan di awal musim, karena ditempatkan di pos bek kanan, perlahan-lahan Basna mulai menunjukkan potensinya. Setelah Purwaka Yudhi cedera dan pergantian pelatih (dari Dejan Antonic ke Djajang Nurjaman), Basna pun mulai menunjukkan potensinya. Ia kerap menjadi pemain terbaik laga Persib, setidaknya pilihan penonton.
Pelatih timnas Indonesia, Alfred Riedl, langsung kepincut dengan performa Basna. Ia tampak percaya diri memanggil pemain kelahiran Sorong tersebut. Bahkan ia rela tidak memanggil pemain Persib lain seperti I Made Wirawan, Tony Sucipto, Kim Kurniawan, Samsul Arif hingga Sergio van Dijk (karena aturan dua pemain per klub) demi memiliki Basna (dan Zulham Zamrun) di skuat tim nasional.
Pemanggilan Basna ini awalnya didukung oleh banyak pihak. Selain karena memiliki kemampuan yang cukup menjanjikan, Basna juga masih berusia 21 tahun. Pemain muda mendapatkan kesempatan di tim nasional senior jelas sangat baik untuk masa depan. Ia pun kemudian tampil impresif di beberapa uji tanding Indonesia sebelum Piala AFF 2016.
Tapi Basna tak mampu menjawab ekspektasi meski ia menjadi pemain andalan Riedl di Piala AFF 2016. Pemain yang juga menjadi bagian dari skuat SAD Uruguay ini kerap melakukan blunder. Beberapa gol yang bersarang ke gawang Indonesia seringkali tak lepas berkat kesalahan yang dilakukan Basna, walau secara sistem Indonesia memang masih perlu perbaikan. Inilah yang kemudian membuat Basna mulai dihujat sana-sini.
Sempat bingung sendiri, saya kemudian teringat pembicaraan saya dengan Yanto Basna sebelum Piala AFF bergulir. Kala itu, saya memang berada di tempat menginap para pemain dan staf pelatih timnas di daerah Tangerang yang menjadi tempat pemusatan latihan timnas. Tak hanya pada Basna, saya bertanya pada sejumlah pemain, juga termasuk asisten pelatih timnas Indonesia, Wolfgang Pikal, untuk mencari tahu langsung bagaimana Indonesia akan bermain di Piala AFF 2016.
Saat itu, saya mengorek-ngorek bagaimana pandangan pemain terhadap skema 4-4-2 yang diterapkan Riedl. Ketika bertanya pada Basna, saya tertarik menanyakan perihal teman duetnya di jantung pertahanan Indonesia, Fachrudin Aryanto. Beginilah jawaban Basna:
"Komunikasinya, Abang Fachrudin agak lebih pendiam. Makanya kalau main kan susah kalau gak ada komunikasi. Makanya kalau lagi main, kebanyakan saya yang lebih cerewet.”
Dengan melihat penampilan Yanto sekarang, saya baru menyadari makna dari perkataan Basna tersebut. Di timnas, ia terpaksa harus menjadi pemimpin di lini belakang karena Fachrudin tipikal bek yang pendiam. Ada beban berlebih di pundak Basna.
Loh, bukannya masih ada pemain senior lain di lini pertahanan yaitu Benny Wahyudi? Untuk menjawab pertanyaan ini, kebetulan, sungguh kebetulan, saya juga sempat menyinggungnya saat itu. Menurut Basna, Benny kesulitan berkomunikasi karena kewalahan dengan sistem Riedl.
"Masalah (komunikasi) dengan Benny tidak ada. Tapi terkadang agak susah karena gak ada pemain sayap yang bantu dia di belakang. Makanya setengah mati dia (di sisi kanan), saya juga akhirnya harus rajin bantu dia ke sayap," katanya waktu itu.
Seperti yang dibahas dalam beberapa analisis kami, skema 4-4-2 Riedl memang mewajibkan pemain sayap untuk membantu pertahanan. Namun, sisi kanan pertahanan Indonesia tak sebaik sisi kiri pertahanan. Rizky Pora yang mengisi sayap kiri, punya pengalaman bermain sebagai full-back kiri. Ini berbeda dengan Andik Vermansah yang bermain di sayap kanan. Andik lebih difungsikan sebagai pembantu serangan, ia pun tak memiliki kemampuan bertahan yang baik. Karenanya tak heran Benny cukup kerepotan di sisi kanan, tak seperti Abduh Lestaluhu yang bisa bekerja sama dengan baik bersama Rizky Pora.
Dari sini saya mengambil kesimpulan, Basna menghadapi situasi berbeda kala ia bermain di timnas dengan ketika ia bermain di klub. Di timnas, ia harus menjadi pemimpin di lini pertahanan. Sementara di klub, ia dikelilingi oleh para pemain senior yang bisa menggalang lini pertahanan, sehingga ia bisa bermain lepas dan fokus dengan permainannya sendiri.
Di Persib, ia bertandem dengan Vladimir Vujovic. Ada juga Tony Sucipto di kiri pertahanan. Kedua pemain ini adalah pemain yang gemar memarahi pemain Persib lain yang melakukan kesalahan. Sementara itu di Mitra Kukar, ia bermain bersama Zulkifli Syukur (kapten), Arthur Cunha, dan Zulchrizal Abdul Gamal. Ketiganya merupakan pemain senior yang kerap memberikan instruksi di lini pertahanan.
Di timnas, Basna harus menjadi Vujovic/Cunha atau Toncip/Zulkifli yang mengordinasi lini pertahanan. Ia yang biasanya dicereweti, justru harus mencereweti rekannya yang lain. Sementara dengan usianya yang masih muda, ia mungkin belum mencapai level tersebut. Dan tentunya tidaklah mudah bermain sambil memberikan instruksi pada rekan-rekannya yang lain.
Basna sendiri menjadi pemimpin di lini pertahanan Indonesia bermodalkan pengalamannya menjadi kapten di Sriwijaya FC U21 dan kapten timnas U-19 yang berlaga di turnamen Cotif (Spanyol). Hanya saja memberi instruksi pada pemain seusianya dengan memberi instruksi pada pemain senior sudah barang tentu akan berbeda.
Basna tampaknya memang memerlukan tandem yang lebih cerewet. Seperti Hansamu Yama misalnya, ia mendapatkan tandem Manahati Lestusen yang merupakan pemimpin di lini pertahanan PS TNI. Mungkin jika Manahati diduetkan dengan Yanto, permainan Yanto bisa lebih baik.
Tapi apapun itu, dari pemaparan saya di atas, saya cukup mewajarkan Basna tak bermain lugas seperti biasanya di timnas. Tapi dengan usianya yang masih muda, tentu saya berharap ia bisa menjadi Aples Tecuari baru di masa yang akan datang.
Oleh karena itu, baiknya hujatan padanya perlu kita rem. Perlu diingat, ia masih berusia 21 tahun dan merupakan aset masa depan timnas. Kritik boleh, tapi jangan sampai kebablasan. Hargai upayanya. Jangan sampai tanggapan miring tentangnya membuatnya semakin tidak fokus dalam menjalani kariernya, yang bisa menghambatnya untuk berkembang mencapai potensi terbaiknya.
Komentar