Ada pernyataan menarik saat Ratu Tisha Destria ditanya oleh Najwa Shihab soal pandangannya tentang rangkap jabatan antara klub dengan kepengurusan PSSI. Secara tidak langsung ia mengatakan bahwa hal tersebut adalah wajar. Sekjen PSSI itu menjelaskannya lewat struktur amatir dan profesional.
“Jadi di dalam organisasi olahraga selalu ada dua struktur. Ada yang namanya amatir—atau di dunia olahraga disebutnya amateur [dan] gentlemen—ada yang namanya struktur profesional,” katanya dalam video Catatan Najwa tersebut.
Menurut Kazuo Uchiumi dalam penelitiannya yang berjudul The Essence of Amateurism, ia menjelaskan jika amatir adalah seseorang yang terlibat di olahraga hanya untuk kesenangan, bukan pekerjaan. Profesional adalah kebalikannya, yang mendapatkan bayaran.
Dalam perkembangannya, amateur mendapatkan hadiah (meski bukan dalam bentuk gaji) sementara gentlemen tidak mendapatkan hadiah.
“Kalau di olahraga amatir itu ada di atasnya profesional. Profesional itu ibaratnya orang-orang bayaran yang dibayar untuk mengerjakan sesuatu. Tapi amatir ini adalah voluntary work,” lanjut Tisha.
Pernyataan Tisha itu benar, tapi tidak sepenuhnya benar. Salah dalam beberapa hal, tapi juga tidak sepenuhnya salah. Tapi dari situ, kami atau khususnya saya, menjadi mengerti mengapa ada hal-hal yang tidak wajar dalam keanggotaan PSSI, khususnya terkait rangkap jabatan antara klub dengan kepengurusan PSSI.
PSSI: Dari Anggota, Oleh Anggota, Untuk Anggota
Apa yang Tisha katakan sejalan dengan ketika olahraga memasuki fase monopolisasi, di mana “amatir dikatakan murni/suci/bersih, sementara profesional tidak” yang kemudian membuat posisi amatir lebih mulia atau lebih baik daripada profesional yang terkesan hanya mencari keuntungan pribadi (uang).
“Nah, struktur di PSSI areanya amatir itu diwakili oleh badan legislatif dan eksekutif. Badan legislatif dan eksekutif berasal dari anggotanya sendiri,” lanjut Tisha.
“Dahulu ketika PSSI dibentuk, PSSI itu dibentuk oleh klub-klubnya: PSM Madiun, Persis Solo, PSIM Yogyakarta, saat itu ngariung untuk membuat yang namanya PSSI dan menunjuk representatif dari mereka, oleh mereka, untuk mereka, untuk menjadi pengurus. Jadi tidak ada masalah dengan itu.”
Maksud Tisha, struktur legislatif bersifat politis itu yang isinya dipilih oleh voters dari para anggotanya sendiri. Dari sini, Edy Rahmayadi harusnya paham bahwa ia menjadi Ketua PSSI berkat pilihan voters, bukan pilihan rakyat Indonesia. “Di exco kita contohnya, merupakan representatif dari anggota-anggota kita. Ada yang Ketua Asprov di situ, ada yang dari klub Liga 2, ada yang dari klub Liga 1, memang itu representatif dari anggotanya,” katanya.
Sementara struktur eksekutif yang dimaksud adalah yang bersifat administratif. Ketuanya adalah sekjen dari fungsi administratif itu dengan para bawahannya adalah pekerja bayaran biasa (bukan berasal dari anggota) yang mengurusi operasional keseharian.
Baca juga: Akar Kebencian Masyarakat Indonesia Terhadap PSSI
Najwa sempat bertanya dengan merujuk pada artikel Tirto, soal Menpora Imam Nahrawi yang merasa ada suatu yang bisa menjadi konflik kepentingan kalau kemudian rangkap jabatan ini dilakukan di PSSI.
Namun Tisha menjawab dengan tegas: “Pasti nggak ada kalau konflik kepentingan, karena hal itu sifatnya collective collegial (bersama-sama, bekerja tim, dengan maksud dan tujuan yang sejalan). Bisa dibayangkan dalam rapat exco kalau ada satu yang membela dirinya yang lain bagaimana? Kan, pasti ingin juga, kan? Semuanya kolektif.”
“Ini ibaratnya dalam satu RT/RW, kita ingin memilih ketua RT, ya pastilah datang dari RT tersebut, tak mungkin kita impor dari tempat yang lain,” katanya.
Amatir adalah Era, Bukan Konsep atau Struktur Olahraga
Apa yang Tisha katakan di atas ada benarnya. Kenapa ada ketua umum, sekjen, komite eksekutif, dll? Awal olahraga amatir adalah dari mereka, oleh mereka, untuk mereka.
Mereka berkumpul membentuk satu badan perkumpulan yang bukan PT. Jadi amatir ini memang berbeda dengan konsep yang berkembang di dunia saat ini, seperti misalnya PT.
Namun itu kebanyakan merujuk pada era olahraga, bukan konsep atau struktur olahraga.
Mungkin maksudnya Tisha adalah jika Indonesia itu sepakbolanya masih era berkembang, mungkin masih dekat dengan era amateurism and gentlemen in sport sebelum abad ke-19. Era tersebut adalah zaman ketika “pemain” jadi “wasit”, “wasit” jadi “pemain”. Itu adalah fase hidup olahraga.
Masalahnya, itu zaman dahulu. Masa Indonesia dan PSSI masih mau mengikuti zaman prasejarah? Jika memang Tisha merasa tidak ada masalah dengan cara prasejarah ini, maka tak heran PSSI mewajarkan jika misalnya Ketua Umum PSSI merupakan pembina PSMS Medan dan lain-lain.
Era amateur dan gentlemen itu, kan, sudah jadul. Padahal setelah era amatir, muncul era profesional, dan sekarang adalah komersialisme dengan teori good governance.
Jika amateur dipakai ke struktur PSSI sekarang, itu sama saja menyamakan PSSI dengan organisasi non-formal seperti karang taruna.
Sementara itu secara good governance, tidak baik jika ada “wasit” yang jadi “pemain”, seperti pada kasus Joko Driyono (Persija), Iwan Budianto (Arema FC), Edy Rahmayadi (PSMS Medan), juga Glenn Sugita di mana pemilik saham mayoritas Persib itu merupakan Komisaris Utama PT Liga Indonesia Baru, yang dipilih oleh PSSI.
Pentingnya Penerapan Good Governance yang Tidak Rangkap Jabatan
Memang exco di asosiasi negara sifatnya voluntary atau tak dibayar. Tapi itu bukan berarti orang PSSI boleh punya saham di klub.
Kalau di Inggris, penerapan good governance berwujud perekrutan “independent chairman” yang bukan dari orang dalam.
Bahkan di Inggris juga, misalnya pernah ada beberapa kejadian pejabat kesebelasan mundur dari kesebelasannya ketika menerima jabatan di FA (PSSI-nya Inggris). Salah satu contohnya adalah David Gill yang meninggalkan Manchester United untuk FA pada 2013, yang membuat jabatannya di United digantikan oleh Ed Woodward.
Baca juga: Perjalanan David Gill dari Man United ke FA, Kemudian ke FIFA
Perlunya menerapkan good governance di PSSI juga didukung oleh Amal Ganesha, pendiri Ganesport Institute, sebuah lembaga riset kebijakan olahraga.
“Konsep independent chairman ini bisa ditiru dari Inggris. Greg Dyke ketika dilantik jadi Ketua Umum FA, ia menyatakan mundur juga dari Ketua [Kesebelasan] Brentford, untuk menunjukkan independensi,” kata Amal yang merupakan master manajemen olahraga dari Coventry University.
Gill, Dyke, dan orang-orang Inggris sana sudah paham mengenai good governance. Seharusnya orang-orang kesebelasan yang menjabat di PSSI juga memahami hal yang sama.
Kesimpulannya, di sepakbola sekarang, era amateur sudah bergeser ke era profesional. Kemudian sekarang adalah era komersialisasi. Sekali lagi, ini adalah era, bukan konsep.
“Salah satu yang membuat PSSI tidak bisa berkembang adalah conflict of interest yang terlalu mengakar,” kata Amal.
Maka kalau memakai pengibaratan Tisha (yang bahkan pengibaratannya agak keliru): PSSI memang harus memilih ketua RT dari orang di luar RT-nya, tapi secara profesional dan independen.
Selama Masih Rangkap Jabatan, Apapun Pembenarannya, Pasti Ada Konflik Kepentingan
PSSI sebenarnya sudah lebih baik dibandingkan dengan kepengurusan terdahulu, tapi mereka harus mau berubah jika ingin sepakbola Indonesia tidak jalan di tempat. PSSI sebaiknya lebih inklusif, lebih terbuka, diiringi dengan peningkatan SDM di dalamnya, dengan begitu sepakbola kita (karena sudah sewajarnya) bisa bicara banyak di Asia.
“Permasalahan yang terjadi di PSSI sangat fundamental, yaitu ketertinggalan. Seorang ketua harusnya banyak mengurusi hal-hal strategis; bagaimana PSSI unggul dibandingkan asosiasi-asosiasi sepakbola di Asia Tenggara misalnya. Tapi PSSI selalu tertinggal karena stakeholder-nya tidak inklusif, alias terlalu eksklusif,” kata Amal.
“Salah satunya, ya, conflict of interest tadi. Beberapa tahun lalu, bahkan ada satu figur yang punya decisive influence di dua klub sekaligus dalam kompetisi elite yang sama, padahal ini jelas-jelas melanggar aturan AFC,” katanya.
Amal tak menyebut pasti siapa figur tersebut meski di Indonesia ada beberapa, tapi salah satunya adalah Gede Widiade yang sempat menjabat sebagai Presiden Persija, pemilik saham Bhayangkara FC, sekaligus CEO Persika Karawang. Sekarang, Gede Widiade tak lagi masuk dalam daftar pemilik saham Bhayangkara FC, namun sempat terlihat hadir pada acara Bhayangkara FC.
Aturan AFC yang dilanggar tepatnya adalah AFC Club Licensing Regulations, yang diturunkan langsung dari FIFA Club Licensing Regulations. Menurut dokumen itu, larangan kepemilikan atau keterlibatan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan klub lain jelas tertulis sebagai kriteria A (artinya wajib diikuti, tidak bisa tidak) pada part three, Article 11 soal legal criteria, pada bagian Ownership and Control of Clubs yang berada di halaman ke-52 pada dokumen tautan di atas. (Baca juga: Club Licensing Regulations Itu untuk Apa, Sih?)
Rangkap jabatan untuk dua-tiga klub sendiri kemudian menjadi wajar, bisa jadi, karena PSSI pun mewajarkan rangkap jabatan yang ada di internal PSSI sesuai dengan amateur and gentlemen yang dikatakan Tisha. Karena itu pula Gede Widiade selalu beralasan rangkap jabatannya di sejumlah klub dengan mengatakan "di Persija hanya sebagai pekerja profesional (di tempat lain amatir)" atau Joko Driyono yang mengatakan "proses alamiah dan rasional" ketika mengomentari dipilihnya Glenn Sugita (pemilik Persib) sebagai Komisaris Utama PT LIB.
Soal rangkap jabatan dan konflik kepentingan ini memang harus mulai ditinggalkan oleh PSSI, bukan malah terus dicari pembenarannya. Dengan pernyataan seperti itu di acara Catatan Najwa, Ratu Tisha pun sepertinya bukan sedang menjawab pertanyaan soal rangkap jabatan PSSI, melainkan sedang ngeles alias berkilah atas semua kegelisahan dan kekhawatiran publik soal rangkap jabatan pada stakeholder sepakbola Indonesia.
Apalagi ini juga masih soal rangkap jabatan di internal PSSI, bukan posisi politik seperti Edy yang juga menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara—yang juga dijawab Tisha dengan berkilah.
Komentar