Jagat media sosial gaduh kala sepakbola Indonesia masih belum kembali berjalan. Dari direncanakan kembali bergulir pada 1 Oktober, hingga 1 November berlalu pun tidak ada kepastian kompetisi sepakbola Indonesia digulirkan kembali. Bahkan satu per satu klub Liga 1 sudah meliburkan kembali para pemainnya.
Lantas pada Selasa (3/11) muncul surat edaran yang mengumumkan bahwa Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) memutuskan untuk menunda kembali lanjutan Liga 1 dan 2 2020. Dalam pengumumannya disebutkan bahwa sepakbola Indonesia baru akan kembali digelar pada Februari - Juli 2021. Liga 2020 pun akan berubah menjadi Liga 2020/21.
Para penggemar sepakbola Indonesia dibuat kecewa dengan keputusan tersebut. Banyak yang menilai bahwa seharusnya sepakbola Indonesia bisa digelar di tengah pandemi seperti negara lain.
Mudah menyebut keputusan penundaan ini akan membuat sepakbola Indonesia semakin tertinggal dari negara lain. Terlebih mayoritas negara-negara Asia Tenggara mampu melanjutkan liga, hanya Indonesia yang ditemani Brunei Darussalam yang tidak (bisa) melanjutkan liga. Namun, di kondisi seperti ini kita memang tidak bisa melihat masalah ini dari aspek olahraga saja.
Per 3 November 2020, World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa Indonesia berada di urutan ke-15 dunia terdampak virus corona dengan hampir 420 ribu kasus. Untuk negara Asia Tenggara, ada Filipina yang memiliki hampir 400 ribu kasus di peringkat ke-19. Setelahnya ada Singapura di peringkat 68 (58 ribu kasus), Myanmar di peringkat 73 (54 ribu kasus), dan Malaysia di peringkat 84 (34 ribu kasus). Dari sini sudah terlihat jelas bahwa Indonesia masih menjadi salah satu negara yang "rawan" dari virus corona.
Lalu kenapa Indonesia gak bisa kayak Filipina yang tetap menjalankan liganya? Toh, mereka juga kasusnya cukup tinggi.
Perlu diketahui, Filipina tetap menggulirkan liganya dengan penyesuaian kompetisi yang sangat ekstrem. Dihentikan sejak Maret, liga mereka kembali digulirkan per 29 Oktober lalu dengan format liga menjadi home tournament (di National Training Center, Manila) dan setiap tim hanya bertemu satu kali. Berakhir pada 12 November, liga hanya berlangsung selama dua pekan.
Liga Filipina yang biasanya diikuti oleh 7 tim, kali ini hanya diikuti 6 tim. Green Archers United, Philippine Air Force, dan Global FC memilih mundur karena diterpa krisis finansial. Sebagai gantinya tim yang baru dibentuk pada 2019, Maharlika Manila FC, dan skuad Timnas Filipina U22 asuhan Scott Cooper, ikut kompetisi.
Filipina bisa melakukan ini karena jumlah kesebelasannya sangat sedikit. Karena jumlah sedikit, para klub pun bisa mendapatkan bantuan dari operator liga untuk sejumlah akomodasinya. Dan sejatinya pihak operator liga Filipina pun cukup kesulitan menerapkan hal tersebut.
"Hanya ada sedikit pemasukan tapi biaya pengeluaran tetap meroket," kata manajer Tim Nasional Filipina, Don Palami, via Strait Times. "Semua tim berada di satu hotel, swab tes dilakukan secara reguler, dan ada sejumlah pengeluaran yang biasanya tidak dikaver oleh PFL, kini harus dibiayai oleh PFL."
Di Indonesia ada 18 klub Liga 1 dan 24 klub Liga 2 yang siap berkompetisi untuk musim 2020. Jika PFL melanjutkan kompetisi tanpa memedulikan kompetitifnya liga, tidak dengan klub-klub Indonesia. Pada 13 Oktober lalu 18 klub Liga 1 sepakat dilanjutkan bahkan siap menanti kapanpun waktunya. Dibukanya kembali bursa transfer menunjukkan bahwa setiap klub diberikan kesempatan untuk mempertahankan atau meningkatkan tingkat kompetitif skuad mereka, akibat adanya sejumlah pemain (asing) yang memutuskan untuk tidak kembali ke tim. Operator liga pun memutuskan tetap melangsungkan liga dengan sistem home and away.
Kompetisi yang tetap panjang, apalagi terpusat di Pulau Jawa yang memiliki daerah-daerah `Zona Merah`, inilah yang membuat liga Indonesia tidak memungkinkan digelar. Meski digelar tanpa penonton, pihak kepolisian tidak memberikan izin. Karena bagaimanapun, animo penonton sepakbola Indonesia sangatlah tinggi sehingga tak ada jaminan para penonton akan mematuhi aturan tidak ke stadion dan polisi enggan mengambil resiko itu.
Pilkada diizinkan, kok sepakbola enggak?
Di Pilkada, kampanye para bacalon menjadi sesuatu yang juga bisa mengundang banyak orang seperti pertandingan sepakbola. Bahkan sempat beredar video yang memperlihatkan kampanye berbalut konser musik dengan kerumunan massa. Namun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri sebetulnya melarang hal tersebut.
Pada fase kampanye yang dimulai per 26 September hingga 5 Desember, KPU hanya mengizinkan para bacalon untuk kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, dialog, penyebaran bahan kampanye kepada umum atau pemasangan alat peraga dan/atau kegiatan lain. Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2020 pun menyebutkan pelarangan 7 kegiatan kampanye yang berpotensi mengundang banyak massa, salah satunya konser musik. Ada hukuman bagi para pelanggarnya.
Karena alasan di atas, Pilkada menjadi hal yang dianggap bisa dilakukan dengan mematuhi protokol kesehatan sehingga mendapatkan izin dari kepolisian. Selain itu, periodenya lebih singkat karena Pilkada akan digelar pada 9 Desember, sementara Liga 1 direncanakan bergulir pada 1 Oktober 2020 hingga 28 Februari 2021.
Ya terus apa gak malu sama liga lain yang bisa tetep jalan di tengah pandemi? Di kita kasus tinggi karena penduduknya juga banyak!
Masalah utama sebetulnya terletak pada penanganan pemerintah Indonesia terhadap Covid-19 ini. Kita bandingkan dengan Myanmar dan Malaysia, yang kasusnya termasuk lima besar tertinggi di Asia Tenggara tapi liga mereka tetap jalan.
Myanmar sejak Januari sudah membentuk komite khusus untuk mengantisipasi virus corona, dipimpin oleh Menteri Serikat dan Kerjasama Internasional dan Menteri Kesehatan dan Olahraga. Sejak 1 Februari, mereka langsung melarang penerbangan masuk dari Tiongkok, negara pertama terjangkit virus corona. Di Indonesia, Menteri Kesehatan kita belum menganggap serius bahaya virus corona pada Januari-Februari, dan penerbangan dari luar negeri masih dibuka bebas.
Liga Myanmar yang bergulir per Januari terus berlanjut. Namun liga langsung dihentikan setelah satu kasus terkonfirmasi pada 24 Maret. Liga dilanjutkan pada Agustus pun karena pada periode Maret hingga Agustus, kasus positif Covid-19 di Myanmar masih di bawah 50 orang. Pada periode tersebut, di Indonesia kasus positif sudah lebih dari 100 ribu kasus.
Liga Myanmar telah selesai per 1 Oktober silam, semua pertandingan digelar di Yangon sejak restart. Pada periode tersebut, kasus Covid-19 mulai melonjak, dengan rekor 1.052 kasus pada 24 September. Kini Myanmar memasuki second wave setelah kasus positif sempat turun drastis dari 1.461 kasus pada 9 Oktober ke 888 kasus pada 14 Oktober.
Malaysia, sementara itu, juga punya penanganan virus corona yang lebih baik dari Indonesia. Begitu dua orang meninggal dikonfirmasi akibat virus corona pada 17 Maret, Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin, langsung menerapkan lockdown selektif pada wilayah-wilayah `Zona Merah`. Beberapa hari sebelum itu, liga Malaysia sudah lebih dahulu dihentikan.
Pelonggaran lockdown selektif dilakukan per 1 Mei, di mana saat itu tidak lebih dari 1.000 kasus positif dimiliki Malaysia. Kasus positif harian pun terus menurun, dari 235 kasus tertinggi per hari pada 23 Maret sampai 31 orang kasus baru pada 28 April atau H-3 pelonggaran lockdown selektif. Di Indonesia, selama bulan April kasus baru per hari mencapai 400an orang dan terus menanjak.
Setelah pelonggaran lockdown selektif, Liga Malaysia kembali dilanjutkan. Semua pertandingan digelar tanpa penonton. Berjalan lancar, liga berakhir pada 31 Oktober. Yang perlu menjadi catatan, pada periode 4 Juni sampai 6 September, kasus baru positif Covid-19 di Malaysia tidak pernah lebih dari 20 orang per hari. Di Indonesia, bulan Juni menjadi bulan pertama rekor harian mencapai angka seribu orang.
Kasus positif melonjak jelang liga Malaysia berakhir. Dampaknya tim Sabah FA yang diarsiteki Kurniawan Dwi Yulianto gagal bertanding karena wilayahnya terkena lockdown selektif. Alhasil Sabah FA dinyatakan kalah WO pada laga terakhir Liga Super Malaysia dan putaran pertama laga Piala Malaysia melawan UiTM.
Di Malaysia, kini rekor tertinggi kasus harian mencapai 823 orang pada 25 Oktober. Tapi yang perlu digarisbawahi, peningkatan tersebut menunjukkan bahwa Malaysia mulai memasuki second wave bahkan third wave untuk pertarungan mereka melawan Covid-19. Sementara kita masih belum melewati first wave. Sedihnya lagi kurva kasus positif dan meninggal tak kunjung landai. Sebelum pihak kepolisian tak mengizinkan liga digelar pada 1 Oktober, Indonesia menciptakan rekor baru kasus harian pada 25 September dengan 4.823 kasus baru.
*
Dari perbandingan-perbandingan di atas, sebetulnya cukup beralasan pihak kepolisan masih belum mengizinkan liga Indonesia digulirkan kembali. Di negara lain kasus virus corona sempat melandai dan mulai memasuki gelombang kedua bahkan ketiga. Di Indonesia, gelombang pertama pun belum lewat.
Maka rasanya kita memang tidak bisa memandang penundaan liga Indonesia ini hanya dari aspek keolahragaan. Ancaman dari Covid-19 di negara kita sangat nyata dan belum menunjukkan tanda-tanda akan membaik.
Betul bahwa keputusan penundaan liga merugikan banyak pihak, membuat nasib para pemain dan pelatih jadi tak menentu, membuat sepakbola Indonesia semakin tertinggal dari negara lain. Tapi situasi ini memang tidak bisa dihindarkan.
Opsi terbaik saat ini memang sebisa mungkin menekan kasus positif harian secara berkala dengan tidak menggelar kegiatan-kegiatan yang mengundang massa, di mana melarang pertandingan sepakbola (bisa menjadi) salah satunya. Toh, terbukti di negara tetangga pun kasus melonjak terjadi setelah liga digulirkan kembali. Percuma juga jika Liga Indonesia kembali dilanjutkan tapi di tengah jalan berpotensi terjadi kasus seperti yang dialami Sabah FA, di mana hal itu bisa menambah masalah baru bagi sepakbola Indonesia, yang bisa mengakibatkan liga kembali mengalami penundaan.
Komentar