2023 baru saja dimulai, tapi sepak bola Indonesia sudah menghasilkan dua kabar buruk: timnas Indonesia gagal juara Piala AFF dan Liga 2 musim 2022/2023 dihentikan oleh PSSI. Sekilas, dua hal itu seperti tidak berkaitan. Padahal, dua hal tersebut punya benang merah.
Dulu pernah ada yang bilang “jika wartawannya baik, nanti timnasnya baik”. Yang lebih tepat: jika kompetisinya baik, nanti timnasnya baik. Argumentasinya jelas: pemain timnas adalah produk kompetisi. Jika kompetisinya bermutu, sangat mungkin pemainnya juga akan bermutu. Jika kompetisinya berjalan rapi dan terorganisir dengan baik, maka timnas juga kemungkinan bisa bermain rapi dan terorganisir. Timnas yang baik, yang mainnya rapi dan terorganisir saja belum tentu bisa membawa trofi, apalagi yang tidak?
Terakhir kali kita meraih gelar juara di level ASEAN adalah pada 1991, atau 32 tahun yang lalu, ketika Peri Sandria dkk berhasil menjuarai Sea Games. Pemain timnas di Piala AFF 2022 yang sudah lahir di tahun itu hanyalah Fachruddin Ariyanto (1989). Setelah itu, Indonesia puasa gelar.
Mengirim talenta terbaik ke luar negeri sudah. Gonta-ganti pelatih sudah. Naturalisasi pemain juga sudah. Apa yang belum? Jelas, memperbaiki kompetisi! Lain tidak!
Dan kalau bicara kompetisi, kita mutlak bicara tentang piramida. Kompetisi tidak bisa disederhanakan sebagai liga tertinggi atau top tier. Kalau kompetisi disederhanakan semata top tier, berarti sangat sedikit yang bermain bola. Asumsikan masing-masing klub Liga 1 memiliki masing-masing 30 pemain, berarti hanya 540 pemain saja yang tersedia. Matematika ini penting karena pertanyaan yang benar bukan “masak dari 250 juta penduduk tidak bisa mencari 11 pemain yang bagus”, melainkan “bisa apa timnas yang lahir hanya dari 540 pemain?”.
Dengan penduduk yang banyak dan wilayah yang luas, 540 pemain yang bermain di Liga 1 harus ditopang oleh beribu-ribu pemain yang berlaga di Liga 2 dan Liga 3. Bahkan, kalau kelak sepakbola Indonesia mempunyai kesempatan untuk berbenah, jumlah pelatih harus diperbanyak, akademi sepakbola distandarisasi, akar rumput diperkuat, bahkan kalau perlu jumlah kasta ditambah lagi, tidak lagi hanya tiga.
Dengan banyaknya jumlah pemain dan terstrukturnya piramida, maka persaingan antar pemain untuk mendapatkan tempat utama akan semakin ketat. Ketatnya persaingan itu akan meningkatkan level permainan individu, klub, maupun liga secara keseluruhan.
Dampaknya jelas: pemain yang tidak mampu menunjukkan level permainan di kasta tertinggi, akan berkutat di kasta bawahnya, dan pemain kasta bawah yang menunjukkan permainan apik, peluang untuk naik level pun sangat terbuka. Kualitas liga yang meningkat akan dengan sendirinya memancing klub-klub dari level liga yang lebih tinggi untuk merekrut pemain kita.
Piramida sepakbola Indonesia sangatlah pendek. Sudahlah pendek, masih pula kompetisi level dua dihentikan. Ini bukan lagi piramida sepakbola, tapi sekadar papan skor sepakbola. Ini juga bukan lagi kompetisi, karena sepakbola tanpa promosi dan degradasi adalah fun football.
Hari ini kompetisi kita acak-acakan. Liga 2 dan Liga 3 dihentikan, dan Liga 1 tanpa degradasi. Yang terkorbankan dari kompetisi macam ini tentu saja adalah timnas. Barangkali sampai Firaun bangkit lagi, sepakbola kita akan begini-begini saja.
Komentar