Scene terbaik dalam video-iklan berjudul Write the Future garapan sineas Alejandro Gonzalez Inarritu berlangsung setelah umpan Wayne Rooney kepada Theo Walcott berhasil dipotong Frank Ribery.
Roo (panggilan kecil Rooney) digambarkan sempat tercenung, lalu berurutan muncul gambaran suram: rakyat Inggris kecewa, indeks bursa dan pasar anjlok, tabloid-kuning memasang headline "England in Roo-Ins", lalu muncul Rooney menjadi tukang rumput, tinggal di lingkungan yang kumuh, lalu ia sendiri ke luar dari karavan dengan jenggot tak terurus serta tubuh yang gemuk. Membayangkan masa depan yang lusuh macam itu, Rooney langsung berlari cepat mengejar Ribery dan lantas melakukan tekel yang bersih. Gawang Inggris selamat. Lalu bermunculanlah gambaran indah: Rooney menerima medali dari Sang Ratu, tabloid memasang headline "Just Roo It", bayi-bayi dinamai Wayne, indek bursa dan pasar naik secara positif.
[embed]
Itulah scene terbaik dari video-iklan Inarritu, sineas yang melahirkan film Babel dan Amores Peros. Di situ waktu di kepala Roo digambarkan seperti "berhenti", terpotong dari sekuen sebelum dan sesudahnya, menjadi sebuah "momen" yang mandiri, yang dari sana Roo menyusun sejumlah pengandaian dan sekian kemungkinan, yang dari sanalah Roo lantas melakukan tindakan berdasar bayangan ringkas-tapi-padat atas sekian kemungkinan di masa depan. Di situ, sepakbola tak lagi hanya menjadi sekadar permainan, tapi sudah menjadi "sebuah kisah", setidaknya bagi seorang Wayne Rooney.
Bagi saya, scene semacam itu menarik jika diletakkan sebagai sebuah juxtaposisi antara sepakbola sebagai permainan dan sepakbola sebagai kisah. Sepakbola sebagai permainan bergantung pada peraturan, sebab (dengan argumen yang khas Johan Huizinga) tak mungkin kita membayangkan keberlangsungan permainan tanpa aturan-main.
Tapi sepakbola bukan cuma permainan, karena aturan main kadang dilanggar. Langgaran atas aturan-main (baik disengaja seperti saat Maradona bikin gol dengan tangan atau tidak disengaja seperti saat wasit Ali bin Nasser dari Maroko mengesahkan gol Maradona tadi) itulah yang berpeluang mengangkat level sepakbola sebagai permainan menjadi sebuah kisah.
Gol Tangan Tuhan, bagi saya, telah menjadikan sepakbola pensiun sebagai permainan karena telah membuat sebakbola terangkat levelnya menjadi sebuah kisah. Bukan semata karena gol itu mencederai aturan main, tapi karena gol itu membuat banyak hal yang sebelumnya berserakan seperti puzzle tiba-tiba bisa dirangkai sebagai satu kesatuan dan menjadikannya sebagai sebuah kisah yang tak pernah habis ditafsirkan.
Gol itu seperti gambaran Maradona sebagai pribadi yang paradoks di mana yang hitam dan iblis (pemadat dan tukang mabuk) dan yang putih dan yang malaikat (pahlawan bangsa Argentina) bertemu dengan utuh. Gol itu juga jadi contoh jatuhnya keluhuran permainan oleh perilaku curang tapi kemudian diangkat kembali secara gemilang oleh Maradona sendiri dengan gol solo-run hanya berselang beberapa menit kemudian, sekaligus menjadikan sengketa Malvinas antara Inggris dan Argentina menemukan elemen tambahannya yang dramatik.
Gol itu juga menjadikan sepakbola sebagai sebuah kisah karena tak henti-hentinya orang bisa menyusun pengandaian: seandainya gol itu dianulir apakah Maradona akan jadi "dewa sepakbola," apakah Argentina/Inggris akan jadi juara, apakah dan apakah lain-lainnya; (seperti orang bisa berandai: Zidane tidak menanduk Materazzi, Macbeth tidak membunuh raja, Anna Karenina tidak menabrakkan diri pada kereta atau Yudhistira tak menanggapi siasat Dorna untuk bermain dadu).
Untuk melahirkan sebuah karya masterpiece, seorang seniman terkadang harus membuat "sedikit kekacauan." Tentu saja sukar membayangkan seorang seniman bisa menghasilkan masterpiece jika ia dikungkung dalam aturan yang tak boleh dilanggar. Memang, seni tidak punya aturan-main seperti "misalnya" offside dalam sepakbola, kendati seni juga punya konvensinya sendiri, setidaknya konvensi-konvensi tertentu pada zaman tertentu. Tapi konvensi itu tak pernah mengikat dan itulah sebabnya selalu ada harapan munculnya invensi dalam seni atau kesusastraan, yang membuat sejarah seni atau kesustraan kembali bergerak untuk mencapai puncak-puncak yang baru.
Tapi moral cerita Gol Tangan Tuhan masih bisa digunakan untuk mengajukan pertanyaan: haruskah kita berharap agar selalu ada wasit yang (memimpin dengan) buruk atau adanya seorang pemain yang curang untuk membawa sepakbola ke level sebagai sebuah kisah?
Tanpa berharap pun kita tahu selalu akan ada kecurangan dalam sepakbola, tapi adakah kecurangan yang lebih "agung" dan "abadi" dari "Gol Tangan Tuhan"? Sejauh ini tidak ada.
Dan karena kecurangan adalah bagian intrinsik dari sepakbola (seperti halnya karakter dalam prosa, kata dalam puisi, nada dalam musik atau warna dalam seni rupa), bolehlah saya berharap kecurangan agung nan abadi dari Maradona itu punya tandingan. Sepakbola terlalu besar untuk hanya menyimpan sebiji kecurangan, agar kecurangan dalam sepakbola tidak dicacah hanya dalam pembagian antara Before Diego dan After Diego (seperti umat Gereja Maradona menghitung kalender yang dimulai dari tanggal kelahiran Maradona, akan halnya kalender Masehi dibagi dengan Before Cristus dan After Cristus).
Juga agar sepakbola tidak hanya mengenal satu tuhan yaitu tuhan(nya) Maradona tapi tuhan-tuhan yang lain karena akan menyedihkan jika sepakbola menjadi sebentuk monoteisme, lebih baik politeisme, toh ateisme dalam sepakbola sudah tak mungkin lagi setelah adanya Gol Tangan Tuhan itu.
Tentu saja kelalaian wasit atau kecurangan pemain membuka kemungkinan sepakbola menjadi sebuah kisah. Tapi kita tidak bisa melakukan selain hanya berharap, karena menyuap wasit atau pemain untuk tidak curang hanya akan membuat sebuah kecurangan tidak akan pernah sampai ke level Gol Tangan Tuhan, membuatnya kehilangan aspek magis dan mistik, sehingga yang muncul bukan lagi sebuah kecurangan agung layaknya sebuah masterpiece tapi kecurangan kelas rendahan yang tak ubahnya - pinjam istilahnya Milan Kundera - sebuah kitsch.
Lagi pula, menurut hemat saya, sepakbola tidak harus bergantung pada kelalaian wasit atau kecurangan pemain agar bisa menjadi sebuah kisah. Ada banyak ruang dalam diri sepakbola sendiri yang memungkinkan ia menjadi sebuah kisah.
Misalnya: gol yang sangat indah (seperti gol Basten ke gawang Dasayev di Piala Eropa 1988 yang menjadikan Basten sebagai perbandingan antara pemain bola dengan pebalet), keputusan wasit yang tepat (kartu merah kepada Rooney pada Piala Dunia 2006 yang sering jadi ilustrasi labilnya mental pemain Inggris yang dibesarkan oleh kemegahan showbiz sepakbola yang sering melahirkan para snobis, di mana Ronaldo yang memprovokasi keluarnya kartu merah itu juga bertingkah showbiz sekaligus snobis dengan mengedipkan mata ke arah rekannya di bench), perayaan sebuah gol (selebrasi Roger Milla di laga pembuka Piala Dunia 1990 yang bisa dibaca sebagai wellcome party bagi Afrika sebagai kekuatan baru dalam sepakbola) atau sebuah kematian yang datang di lapangan hijau (seperti dialami Marc Vivien-Voe atau David Longhurst yang membuat seorang penonton bisa tersentuh dengan arbitrernya maut). Dan lain-lain, dan sebagainya.
Saya menyebutnya sebagai "Kejadian" (bukan dalam pengertian Levenement-nya Alain Badiou). Itulah saat sebuah peristiwa atau insiden membuat waktu seperti berhenti atau dihentikan, di mana kita seakan mencopot "Kejadian" itu keluar dari "waktu-matematis" (dalam istilahnya Henry Bergson) yang linier dan kronologis, menjadikannya mandiri dan tak terkait dengan sekuen sebelum dan sesudahnya, dan dari sana hal-ihwal yang sebelumnya tidak terkait tiba-tiba mendekat sekaligus bisa ditautkan menjadi bagian dari sebuah kisah yang utuh.
Dan itu semua bisa muncul dengan aturan-main yang ditaati dengan patuh. Contoh terbaik lagi-lagi Maradona saat mencetak gol kedua ke gawang Peter Shilton beberapa saat setelah ia bikin Gol Tangan Tuhan. Gol solo-run itu bisa dianggap sebagai Kejadian, yang bisa kita copot dan pisahkan pisahkan dari adegan-adegan lumrah di menit-menit yang lain (kecuali barangkali dengan Kejadian Gol Tangan Tuhan), menjadikannya mandiri dan bisa terkait dengan banyak aspek, dari aspek teknis sampai non-teknis.
Gol yang secara resmi ditahbiskan sebagai Gol Abad-20 itu adalah totalitas penjumlahan dari semua potensi fisikal, mental dan kecerdasan manusia saat bermain yang dijajal sampai limitnya yang paling mungkin: dari soal penguasaan laju bola yang sering tak terduga layaknya pawang Kobra mengendalikan dengan seruling, mengukur hambatan dari gerak bola yang melaju di atas rumput dan pengukuran yang presisi atas kecepatan udara layaknya seorang fisikawan, gerak langkah kaki dan lenting tubuh yang sangat atletis layaknya penari balet, pengambilan keputusan yang tanpa cacat, wawasan terhadap ruang kosong layaknya seorang ahli geometri, hingga kepercayaan diri yang tak goyah oleh hadangan lawan atau teror penonton laiknya maestro seni-pertunjukan yang naik panggung untuk keseratus kalinya.
Bagi orang-orang tertentu, gol semacam itu bisa saja membawanya pada sebuah meditasi tentang tubuh: bisa dibawa sampai batas yang mana sebenarnya tubuh manusia ini? Itu sebuah pertanyaan tajam yang terus coba dijawab oleh saintis, filsuf, penari sampai para pelari.
Peristiwa 26 Februari 1976 di Senayan juga bisa dijadikan sebagai contoh bagaimana sepakbola bertiwikrama menjadi sebuah kisah. Saat itu, tim nasional Indonesia berhadapan dengan Korea Utara memperebutkan tiket ke Olimpiade 1976. Kedua tim berbagi skor 0-0 sehingga dilanjutkan dengan adu-penalti. Sayang sekali, Andjas Asmara gagal menaklukkan kiper An Se Uk, padahal kiper Rony Paslah baru saja menggagalkan eksekusi Kim Jong In. Kekalahan akhirnya datang saat eksekutor terakhir Indonesia, Suaeb Rizal, gagal menaklukkan An Se Uk.
Will Coerver, pelatih timnas waktu itu, berkata, "Saat Suaeb Rizal gagal mencetak gol, ribuan penonton termenung, terpaku selama kurang lebih lima belas menit."
Kegagalan Suaeb Rizal (juga Andjasmara dan Oyong Liza) membuat Senayan seperti dihadiahi keheningan dan kesunyian yang magis, membuat sepakbola Indonesia untuk pertama kalinya kenal dengan kata "seandainya," seraya pada saat yang sama membuat sepakbola pensiun sebagai sebuah permainan dan terangkat menjadi sebuah kisah, sebuah epik nasional (dihadiri 120 ribu penonton dan jutaan lain yang menyaksikannya di layar TVRI), yang sayangnya itu bukanlah epik kejayaan seperti dua gol Maradona, tapi epik tentang kegagalan.
Memang, Indonesia pernah menahan Sovyet 0-0 di Olimpiade 1956 di Melbourne, tapi tak ada rasa penasaran dan tak ada cerita yang tersisa untuk menjadikannya sebagai sebuah kisah "apalagi epik" karena di laga kedua dengan Sovyet toh Indonesia keok 0-4. Bahwa sejak gagalnya Suaeb Rizal itu sepakbola Indonesia mengalami kesunyian dan keheningan prestasi yang panjang pastilah itu menjadi penegasan betapa Kejadian 26 Februari 1976 itu memang sebuah kisah, "suatu epik kegagalan besar" yang terus membayang serupa hantu.
Bahwa hingga sekarang orang-orang masih banyak yang menganggap kisah kegagalan itu sebagai prestasi dan pers masih terus menyebutnya itu tak lebih sebagai garansi bahwa 26 Februari 1976 akan terus menjadi kisah yang diteruskan dari generasi ke generasi selayaknya folklore (seperti yang dilakukan Totot Indratno beberapa tahun lalu yang dengan semangat mengisahkan Kejadian itu pada saya dan beberapa orang lain).
Itulah Kejadian dan hal macam itu yang membuat sepakbola berpeluang menjadi sebuah kisah. Seseorang atau banyak orang akan mengingatnya lagi, mengenangnya, sebagai bagian inheren dari ingatan satu pribadi atau sebuah komunitas atau bahkan sebuah bangsa tentang suatu masa yang sebenarnya sudah jauh terlewat tapi tak pernah sungguh-sungguh pergi: itulah saat seorang penghayat sepakbola mengada bersama bola.
====================
Esai ini rilis pertama kali pada 11 Juni 2010 sebagai pembuka rangkaian artikel BOLA KULTURA di halaman Piala Dunia harian Jawa Pos.
@zenrs
Komentar