Asia telah menjadi pasar potensial bagi sepakbola Eropa. Penetrasi berupa penjualan merchandise maupun politik penggunaan pemain asal Asia di klub, lazim digunakan. Tapi, sepakbola tengah hangat-hangatnya di negeri adidaya, Amerika Serikat. Mereka lebih dahulu menyelenggarakan Piala Dunia sebelum Asia.
Anda mungkin akan kesulitan menghitung jumlah klub yang mengadakan pertandingan pra-musim ataupun kompetisi persahabatan di Amerika Serikat. Belum lagi, sejumlah pemain bintang yang mendedikasikan akhir karirnya di klub-klub Amerika.
Pun dengan jumlah pertumbuhan suporter sepakbola Amerika yang begitu masif. Atmosfer pertandingan sepakbola di Amerika tak begitu jauh dengan di Inggris. Para suporter berperilaku begitu mirip dengan suporter Inggris
Jurnalis Wall Street Journal, Jonathan Clegg, menuliskan keresahannya atas perilaku suporter sepakbola Amerika. Ia menuliskan dalam artikelnya yang berjudul: âThe Problem with American Soccer Fansâ.
Clegg tumbuh sebagai suporter sepakbola di Inggris, tempat di mana katanya sepakbola modern ditemukan. Di Inggris, ia telah menyaksikan berbagai hal buruk. Kerusuhan yang diakibatkan sepakbola menjadi hal yang lazim ditemui. Di stadion, ia sering mendengarkan chant kasar dan menghina kelompok suporter lain.
Selama bertahun-tahun, ia merasakan gejolak amarah, rasa sedih, dan rasa malu akan hal itu. Tapi, kecintaanya terhadap sepakbola tidak pernah redup.
Akhir-akhir ini, ia menemukan sebuah hal menakutkan yang tidak bisa ditoleransi lagi pada permainan sepakbola: fans Amerika!
âSaya tidak iri pada penggemar di Amerika yang baru saja terbangun oleh pesona yang oleh seluruh dunia telah lama dikenal sebagai permainan indah. Welcome to the party,â begitu sindirnya.
Sepakbola memang bukan permainan favorit paling utama di Amerika. Ia masih kalah pamor oleh Rugby, Baseball, dan Bola Basket.
âMasalahnya adalah Anda begitu terobsesi pada sepakbola. Dalam perhitungan saya, mereka (fans Amerika) mungkin saja menjadi yang paling asil, berlebihan, dan menjadi penggemar yang paling konyol di planet ini.â
Ia merujuk pada suporter yang menyebut sepakbola sebagai âFootballâ di Amerika, bukan âSoccerâ. âMereka akan berbicara panjang lebar tentang poin penting dari formasi 4-4-2 dan dengan bangga menggantungkan syal di leher mereka (padahal) ketika suhu di luar mencapai 90 derajat,â tulisnya.
Ia mengeluhkan apa yang dilakukan fans Amerika tersebut sebagai âkepura-puraan yang rumitâ. Kefanatikan fans Amerika lebih cocok disebut sebagai bentuk peniruan terhadap fans Inggris.
Ia mencontohkan penggunaan syal sebagai bentuk yang paling nyata. Meski suhu di luar begitu panas, para penggemar ini masih dengan setia mengalungkan syal di lehernya. Clegg menganggap fans Amerika tidak kreatif dengan meniru lagu-lagu yang biasa dikumandangkan suporter Inggris. Bahkan, perilaku di tribun pun ikut ditiru.
âBeberapa waktu yang lalu, saya pergi ke bar untuk menonton partai final Liga Champions. Saya berdiri di samping penggemar sepakbola yang mengenakan jersey replika Arsenal. Syal tim terpasang di lehernya dengan (sepatu boot) Dr. Martens (di kakinya). Ia tampak (sebagai pria yang) lahir di Holloway Road (dekat Stadion Emirates). Padahal, ia (berasal) dari Virginia.
Ia menganggap hal itu sebagai ekspresi yang tidak asli dari sebuah fans sepakbola. Ini lebih mirip sebagai elaborasi dari dua kebudayaan.
âBukankah kami (Inggris) berperang (dengan Amerika) sehingga Anda tidak seharusnya mencontoh cara berperilaku dari London?â
Berbeda dengan di Inggris yang menganggap sepakbola sebagai permainan kelas menengah, sepakbola di New York disukai agar dianggap berkualitas sebagai kaum intelek, dan sebagai masyarakat yang kosmopolis. Ia menganalogikannya sebagai berlangganan majalah New Yorker dan menonton film-film karya Wes Anderson: The Grand Budapest Hotel (2014), Moonrise Kingdom (2012), Fantastic Mr. Fox (2009), Bottle Rocket (1996); film-film tersebut memiliki rating di atas 7 di IMDB.
Clegg sepertinya sangat bersungguh-sungguh dalam menjaga âkeaslianâ sepakbola yang telah tercemar oleh istilah-istilah tidak lazim di sepakbola Amerika. Istilah outside back sebagai pengganti fullback, serta istilah PKs untuk penalties.
Peniruan oleh fans Amerika menurut Clegg malah bisa menghambat perkembangan identitas sepakbola Amerika sendiri.
âSalah satu kebahagiaan sepakbola adalah melihat bagaimana budaya yang berbeda terlihat. (Bagaimana mereka) menafsirkan dan merayakan permainan dengan cara mereka sendiri.â
Sebuah hal yang terdengar familiar bukan? Bagaimana Jonathan Clegg begitu murka melihat bagaimana fans Amerika berperilaku. Tidak terbayang jika ia datang ke Indonesia dan menyaksikan fenomena suporter casual dengan jaket tebal di negara tropis.
Tidak salah memang, hanya saja, kita bisa memikirkan apa yang menjadi inti tulisan Clegg dalam artikel tersebut: Kebahagiaan sepakbola adalah melihat bagaimana budaya yang berbeda bisa terlihat, ditafsirkan, dan dirayakan dengan caranya sendiri-sendiri.
Sumber gambar: wsj.com
[fva]
Komentar