Pada malam natal 1915, di desa Laventie di utara Prancis, dua kubu serdadu dari Inggris dan Jerman yang saling berhadapan dalam jarak dekat mendekam di parit pertahanannya masing-masing. Tak ada pohon natal, tak ada kalkun panggang. Lantas terjadilah satu selingan pendek yang menyentuh dalam lembaran sejarah Perang Dunia I itu: salah seorang dari mereka -- mulanya dengan suara lirih -- menyanyikan lagu natal, lalu ada yang iseng menyapa. Lalu, ya, lalu... mereka semua bermain bola!
Bertie Felstead, serdadu Inggris sekaligus saksi mata peristiwa yang masih sempat merasakan udara abad-21, memberi kesaksian yang menyentuh. Katanya:
"Kami dipisahkan oleh jarak yang hanya sekitar 100 yard saat pagi hari Natal itu tiba. Seorang serdadu Jerman menyanyikan lagu All Through the Night, lalu para serdadu Inggris membalasnya dengan manyanyikan lagi Good King Wencelas. Pagi berikutnya, para serdadu saling menyapa. Hello Tommy... Hello Fritz. Serdadu Jerman yang memulai, mereka keluar dari paritnya dan berjalan menghampiri kami. Tak ada yang memerintahkan, tapi kami semua memanjat dinding pembatas dan bergabung dengan mereka. Beberapa dari mereka menghisap cerutu sekaligus menawari kami cerutu. Kami juga menawarkan sebagian dari yang kami miliki. Lalu kami mengobrol. Kami berbicara dengan bahasa campur aduk. Ada yang bicara dalam Inggris, Jerman, dan Prancis... sisanya dengan bahasa isyarat. Kami semua tidak takut ditembak karena kami semua telanjur berbaur satu sama lain."
Felstead tidak terlalu ingat lagi bagaimana bola yang dimainkan itu muncul. Tiba-tiba saja semua sudah berebutan bola. Ini bukan jenis pertandingan normal dengan seperangkat peraturan resmi yang ditaati satu sama lain. Mereka bermain begitu saja. "Saya masih ingat bagaimana salju teracak-acak. Tidak ada yang menjaga gawang," kenang Felstead yang wafat pada 22 Juli 2001.
Kata Felstead lagi, permainan sepakbola di antara dua kubu yang berseteru itu berlangsung hanya sekitar 30 menit.Lalu muncul suatu hiruk pikuk di antara mereka, disusul teriakan keras dari seorang perwira Inggris -- ya, teriakan yang sangat keras dalam pengertian denotasi maupun konotasi: "You came out to fight the Huns, not to make friends with them."
Tentu saja ini bukan satu-satunya "gencatan senjata spontan" antara Jerman dan Inggris pada Perang Dunia I. Pada 24 Desember 1914, terjadi "gencatan senjata spontan" di sekitar Ypres, Belgia. Lagi-lagi tentara Jerman yang memulai dengan mendekorasi fa ade parit perlindungan mereka dengan memasang lilin-lilin sembari menyanyikan lagu-lagu natal (adakah yang lebih puitis dari ini dalam adegan perang yang sesungguhnya, kawan?). Pihak Inggris menanggapinya dengan menyanyikan lagu-lagu mereka sendiri. Lalu satu sama lain saling mengucapkan salam natal. Tak hanya itu, satu sama lain lantas bertukar hadiah natal: ada yang berupa makanan kecil, cerutu, alkohol dan beberapa souvenir kecil seperti topi.
Gencatan serupa juga terjadi di beberapa tempat, beberapa bahkan berlanjut hingga momen perayaan tahun baru. Akhirnya kabar itu pun sampai ke telinga Jenderal Sir Horace Smith-Dorrien, komandan pasukan British Corps II. Dia bukan hanya marah, tapi juga mengeluarkan perintah yang melarang segala jenis komunikasi yang berlangsung secara ilegal dengan pihak Jerman.
Tapi setiap Jenderal memang tak mungkin bisa menjangkau dan mendengar suara hati para serdadu yang mesti mendekam di parit pertahanannya sepanjang malam di hari natal, saat orang-orang sedang berkumpul di depan perapian bersama keluarga terdekat dengan kalkun panggang yang besar nan lezat, saat musim dingin sedang hebat-hebatnya. Dengarlah bagaimana suasana dan suara hati Felstead saat ia mendengar lagu-lagu natal itu terbantun perlahan: "Mustahil perasaan Anda tidak tersentuh saat mendengarkan satu sama lain saling bernyanyi dalam situasi seperti itu."
Lalu mereka pun berbagi kegembiraan dengan bermain bola, sebelum seorang perwira Inggris berteriak keras: "You came out to fight the Huns, not to make friends with them."
Teriakan itu bukan hanya menghentikan permainan sepakbola, tapi menghempaskan para serdadu ke bumi yang keras dan menuntut terlalu banyak itu, mengkandaskan kegembiraan sederhana yang baru mereka nikmati hanya selama 30 menit itu. Pada akhirnya, mereka kembali ke parit pertahanannya masing-masing, kembali tiarap dan mengokang senjata dan menanti aba-aba untuk segera menghamburkan kembali peluru ke arah orang-orang yang beberapa waktu sebelumnya berbagi cerutu dan bermain bola sama-sama dengan mereka.
Teriakan keras tanpa kompromi perwira Inggris itu, juga sikap keras dan tanpa kompromi Jenderal Sir Horace Smith-Dorrien, adalah bukti tak terbantah bahwa perang tetap saja perang: barangkali dalam perang akan ada - pasti selalu ada -- selingan-selingan pendek yang menyentuh sudut-sudut terdalam kemanusiaan, tapi darah dan kematian toh tetap saja menjadi struktur dan plot utama sebuah peperangan.
Saya teringat kesaksian seorang serdadu Amerika yang terlibat dalam front pertempuran di Eropa pada Perang Dunia ke-2. Seperti yang saya saksikan di serial Band of Brothers, salah seorang dari mereka - kalau tak salah ingat-- kira-kira berkata: "Mereka (para tentara Jerman itu) dalam banyak hal sama seperti kami. Mereka mungkin senang memancing atau berburu. Tapi mereka melakukan apa yang diperintahkan, seperti halnya saya melakukan apa yang diperintahkan. Dalam situasi bukan peperangan, kami mungkin bisa saling bersahabat."
Tidak, tidak... tidak perlu situasi yang berbeda dari peperangan mereka bisa bersahabat. Dalam peperangan pun, sebenarnya, mereka bisa berteman, setidaknya bisa bermain bola, walau cuma 30 menit. Apa yang terjadi dengan Felstead, dkk., di pelosok desa Laventie menunjukkan bahwa itu bukan hal yang mustahil, setidaknya sejarah pernah mencatatnya, kendati barangkali hanya sekali.
Karena orang memang tak perlu apa-apa untuk bermain bola, tak perlu senjata, senapan, uang atau apa pun. Felstead sendiri - yang pada November 1998 mendapat lencana dari pemerintah Prancis-- mengaku tidak banyak berpikir ketika ikut menendang-nendang bola pada natal yang tak biasa itu. Ia hanya bilang, "Saya ikut bermain karena saya memang sangat menyukai sepakbola."
Ya, menyukai sepakbola, sebab tak perlu banyak alasan bagi seorang pecinta sepakbola jika ada bola di depannya selain menendangnya. Seperti kata Socrates, ini bukan Socrates yang filsuf itu tapi kapten timnas Brazil di Piala Dunia 1986, "Kau hanya perlu bola, hanya perlu sebuah saja..."
Maka bermainlah Felstead, karena toh setiap manusia sebenarnya - seperti dengan meyakinkan dipaparkan oleh Johan Huizinga dalam bukunya yang terkenal, Homo Ludens: A Study of the Play Element in Culture-- adalah mahluk yang bermain, homo ludens; dan peperangan adalah versi lain dari permainan. Sedihnya, kata Huizinga di halaman 201 bukunya itu, peperangan modern yang mengambil bentuk total-war telah terjerumus ke dalam "...old agonistic attitude of playing at war for the sake of prestige and glory."
Inilah yang menyebabkan Huizinga, pada halaman 90 buku yang sama, menyebut bahwa peperangan modern "telah memadamkan sisa-sisa terakhir elemen permainan" ("extinguish the last vestige of the play-element").
Felstead, dkk., mencoba menyalakan kembali sisa-sisa elemen permainan dalam peperangan itu, tapi upaya itu terlalu rapuh, dan langsung rontok hanya karena satu teriakan: "You came out to fight the Huns, not to make friends with them!"
Apa boleh buat....
Baca juga:
Setiap Hari adalah Hari Natal untuk FC Santa Claus
Sumber gambar: Myheartsisters.org
Komentar