Perdebatan mengenai liga sepakbola mana yang paling kompetitif sudah menjadi perdebatan yang reguler. Namun, arah dari perdebatan ini seolah menunjukkan jika hanya La Liga Spanyol, Bundesliga Jerman, Liga Primer Inggris, Serie A Italia, dan Ligue 1 Prancis saja yang masuk ke dalam “liga yang paling kompetitif”.
Penyebutan kelima liga sepakbola di atas, bukan kebetulan juga, menunjukkan besarnya koefisien nilai liga secara berturut-turut berdasarkan perhitungan UEFA (per 25 Juli 2017). Jadi, bisa kita simpulkan jika La Liga adalah liga terbaik di Eropa.
Jangan heran juga jika kelima liga di atas adalah liga-liga yang disiarkan di Indonesia karena, mungkin, dianggap sebagai lima liga terbaik di Eropa dan bahkan dunia.
Tapi lagi-lagi, pernyataan tersebut juga tidak sepenuhnya menjawab perdebatan liga mana yang paling kompetitif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “kompetitif” memiliki arti “persaingan”.
Kata "kompetitif" ini menjadi polemik. Tak perlu jauh-jauh, di kolom komentar Twitter atau Facebook Pandit Football, perdebatan ini kerap muncul dan sampai sekarang selalu terjadi secara reguler.
Dengan berbagai alasan, para pendukung saling mengkalim jika liga mereka adalah liga yang paling kompetitif dan selalu dihubung-hubungkan dengan status liga terbaik. Pengerucutan yang paling sering muncul adalah antara Liga Spanyol dengan Liga Inggris.
Padahal liga yang kompetitif tidak selalu adalah liga yang terbaik. Di situ letak salah kaprah yang umum kita temui.
Salah kaprah pertama: liga kompetitif adalah liga terbaik
Untuk menentukan liga mana yang terbaik, kita bisa langsung melihat koefisien dari UEFA di sini. Penentuan ini memang tidak sesulit perhitungan koefisien. Tapi sederhananya, kita bisa melihat dari prestasi kesebelasan di dalam liga tersebut jika mereka berlaga di tingkat kontinental (Liga Champions UEFA, Copa Libertadores CONMEBOL, dll) ataupun dunia (Piala Dunia Antarklub FIFA). Selain prestasi, kita juga bisa menilai aspek finansial, terutama hak siar, untuk menentukan apakah liga tersebut adalah liga terbaik
Itulah kenapa umumnya kita menganggap, jika dalam aspek prestasi, La Liga adalah liga terbaik di dunia karena dihuni oleh kesebelasan-kesebelasan terbaik (tepatnya dua kesebelasan terbaik dunia: Barcelona dan Real Madrid) di mana mereka bisa menunjukkannya dengan berprestasi di kompetisi Eropa seperti Liga Champions.
Namun, perdebatan liga yang kompetitif tidak selalu bisa dijawab dengan ada atau tidaknya kesebelasan yang jago di dalamnya. Masalahnya lagi, kesebelasan yang berlaga di Liga Champions sudah pasti adalah kesebelasan jagoan di liga mereka masing-masing, bahkan meskipun musim sebelumnya ada di peringkat keenam dan lolos ke Liga Champions lewat “jalur belakang”.
Sedangkan dalam aspek finansial, terutama hak siar, ada anggapan umum jika Liga Primer adalah liga terbaik di dunia karena kesebelasan-kesebelasan di dalamnya memiliki kondisi keuangan yang sehat dengan pemasukan rata-rata per musim yang sangat tinggi.
Dari hal-hal di atas, pada dasarnya liga yang kompetitif belum tentu jago (jika disejajarkan dengan jagoan dari negara lainnya) atau juga memiliki kondisi finansial yang baik. Sebaliknya juga, kesebelasan yang jago atau tajir belum tentu bermain di liga yang kompetitif. Jadi, dua hal ini tidak selalu memiliki hubungan sebab-akibat.
Salah kaprah kedua: liga kompetitif adalah liga paling menghibur
Menghibur atau tidaknya sebuah liga sebenarnya tergantung kepada preferensi orang yang menilainya. Misalnya bagi pendukung Barcelona, mereka bisa saja terhibur karena Barcelona mampu mendominasi dan membantai Eibar. Bagi pendukung Manchester United, semembosankan apapun permainan “Setan Merah”, mereka umumnya terhibur-terhibur saja asalkan kesebelasan jagoan mereka menang. Tidak ada standar yang jelas dari “terhibur” ini.
Tapi jika hiburan menjadi patokan, maka kita bisa melihat dari efek siaran langsung pertandingan. Di Indonesia saja, meskipun lima liga di atas (La Liga, Bundesliga, Liga Primer, Serie A, dan Ligue 1) disiarkan secara reguler, baik di televisi terestrial, satelit, berbayar, maupun berbasis internet, tapi hanya pertandingan-pertandingan yang melibatkan kesebelasan besar saja yang cakupan tontonan dan beritanya luas.
Sebagai contoh umum, banyak yang berkata jika penonton Indonesia lebih rela menonton Swansea City melawan Southampton di Liga Primer daripada Las Palmas melawan Celta de Vigo di La Liga. (Selengkapnya: Liga Spanyol Tak Akan Setara dengan Liga Inggris)
Selain preferensi pribadi, hiburan dari sebuah liga juga bisa dipetakan dari rata-rata jumlah gol, jumlah penonton, keberadaan pemain bintang, dan cakupan media yang membahasnya.
Ini mungkin bisa menjawab mengenai liga yang paling menghibur, tapi tidak serta-merta menjawab perdebatan liga yang paling kompetitif. Hal ini disebabkan karena, kembali, liga yang menghibur belum tentu adalah liga yang memiliki tingkat persaingan (kompetitif) tertinggi, dan sebaliknya.
Unsur persaingan (kompetitif) yang paling utama: jarak perbedaan poin
Liga yang “tidak kompetitif” berarti liga yang “tidak ada persaingan” di dalamnya. Oleh karena itu, anggapan jika liga yang tidak kompetitif berarti adalah liga yang buruk, liga yang tidak berprestasi, dan liga yang tidak menghibur, itu adalah anggapan yang keliru.
Kita biasanya bisa melihat daftar juara yang tidak didominasi oleh satu atau dua kesebelasan dalam jangka waktu tertentu untuk menganggap jika liga tersebut memiliki tingkat persaingan yang tinggi.
Akan tetapi, gelar juara juga tidak selalu bisa menjadi jawaban yang memuaskan. Oleh karena itu, kita bisa melihat ke hal-hal yang lebih rinci lagi, yaitu jarak perbedaan poin di antara kesebelasan-kesebelasan yang berkiprah di dalamnya.
Dari sini kita bisa melihat jika kompetisi dengan sistem liga adalah salah satu sistem yang paling bisa dilihat unsur persaingannya karena setiap kesebelasan bertemu dengan masing-masing kesebelasan di dalamnya, umumnya dua kali dengan setara pula, yaitu kandang dan tandang.
Jika acuan kita adalah perbedaan poin yang ketat sampai akhir musim, kita mungkin bisa melihat Ligue 2 Prancis (divisi di bawah Ligue 1) sebagai yang terkompetitif pada musim 2016/2017, karena pada pekan terakhir bahkan peringkat keenam masih bisa menjadi juara.
***
José Mourinho yang pernah menjadi manajer di La Liga dan Liga Primer misalnya saja pernah berkata: “Aku tidak menikmati [menjuarai La Liga] karena aku memenangi gelar dengan sebuah rekor di Spanyol; 100 poin dan 121 gol. Namun, kami hanya bermain tiga atau empat pertandingan [penting] sepanjang musim.” (Selengkapnya: Liga Spanyol Terlalu Mudah)
Bagaimana mungkin Real Madrid hanya bermain “tiga atau empat pertandingan” sementara La Liga memiliki 20 kesebelasan (artinya akan ada 38 pertandingan)? Mungkin yang dimaksud Mourinho dengan “tiga atau empat pertandingan” adalah pertandingan-pertandingan yang melibatkan kesebelasan besar saja, misalnya Barcelona dan Atlético Madrid.
Andaikan benar begitu, sebetulnya belum tentu juga kesebelasan selain Barcelona, Real, atau Atlético adalah kesebelasan yang buruk. Belum tentu misalnya jika Sevilla (peringkat keempat La Liga 2016/2017), Eibar (10), Las Palmas (14), sampai Granada (20) adalah kesebelasan yang lebih buruk daripada Liverpool (peringkat keempat Liga Primer 2016/2017), West Bromwich Albion (10), Crystal Palace (14), dan Sunderland (20).
Perdebatan yang masih berlangsung sampai sekarang ini memang tidak ada pembuktiannya.
Namun, secara definitif, kita bisa memiliki tiga kriteria dalam perdebatan liga sepakbola, yaitu liga terbaik, liga yang paling menghibur, dan liga yang paling kompetitif.
Oleh karena itu, liga yang kompetitif belum tentu adalah liga terbaik yang menghasilkan jagoan. Liga yang kompetitif belum tentu pula liga yang menghibur, memiliki banyak bintang, banyak golnya, banyak penontonnya, sering diliput media, dan memiliki kondisi finansial yang baik dan merata.
Jangan salah kaprah lagi. Liga yang kompetitif adalah liga yang bisa menghasilkan persaingan yang ketat, yang bisa dilihat dari perbedaan poin di klasemen antara satu kesebelasan dengan kesebelasan lainnya.
Bisa jadi, liga-liga di Asia Tenggara, termasuk Liga 1 atau Liga 2 di Indonesia, atau A-League Australia adalah liga yang lebih kompetitif. Itu semua mungkin terjadi karena kita sudah benar-benar paham apa arti kata “kompetitif”, yaitu “persaingan”.
Selain faktor persaingan, tidak ada lagi yang mampu mendefinisikan liga yang paling kompetitif, kecuali kita memang mau terus salah kaprah atau hanya sekadar mendebatkan sesuatu yang tidak ada pembuktiannya yang bisa memuaskan semua pihak.
Komentar